Jakarta, NU Online
Peneliti di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Yusuf Suharto menyampaikan bahwa asas perkawinan adalah monogami.
"Ada yang berpendapat, sebagai monogami terbuka. Artinya dalam keadaan dan syarat tertentu seorang suami dengan izin pengadilan dan persetujuan isteri pertama dapat mengawini wanita lain sebagai isteri kedua, ketiga dan keempat. Izin pengadilan diberikan kepada suami yang akan beristri lebih dari satu apabila memenuhi syarat fakultatif dan syarat kumulatif," ujar Yusuf Suharto saat mengisi seminar daring Dinamika Politik Hukum Perkawinan di Indonesia pada Kamis (5/11/2021).
Ia menambahkan bahwa tiga kiai pendiri NU semuanya juga monogami. "Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah, dan Kiai Bisri Syansuri itu menikah lagi karena istri sebelumnya meninggal dunia," kata Yusuf Suharto dalam acara yang diadakan oleh Program Studi Hukum Keluarga Islam (Prodi HKI) Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah (UIN Satu) Tulungagung tersebut.
Dari sekuler ke religius
Pria asal Banyuwangi ini kemudian mengisahkan fragmen sejarah perjuangan politik para ulama, sebagai bagian tanggung jawab moral kepada masyarakat, termasuk dalam soal perkawinan.
"Kiai Bisri Syansuri salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama, ketika itu menolak rancangan Undang-Undang Perkawinan yang bercorak sekular itu. Alhamdulillah, ikhtiar Kiai Bisri dengan mengumpulkan para kiai dan dibawa ke forum Syuriyah PBNU, membawa hasil. Beberapa draft sekuler yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tidak jadi diundang-undangkan, atas jasa para kiai tersebut," ujar anggota tim penulis buku Biografi KH. Bisri Syansuri ini.
Sebelumnya ia menjelaskan politik hukum adalah kebijaksanaan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Politik hukum dapat juga dijelaskan bagaimana politik memengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Jember, Khoidin juga mengatakan bersyukur bahwa pengaturan tentang perkawinan telah beralih dari masa penjajahan yang bersifat sekuler menuju undang-undang yang religius di masa kemerdekaan.
"Sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan 1974, perkawinan hanya dipandang dari hubungan keperdataannya saja. Hal itu diatur dalam Pasal 26 KUH Perdata yang menyatakan: UU hanya memandang soal perkawinan dalam hubungan perdata. Artinya nilai religius dan hal-hal sakral dalam perkawinan tidak diperhatikan," ujar pria kelahiran 1963 ini.
"Dulu undang-undangnya sekular, sekarang sudah religius. UU No 1 Tahun 1974 (berbunyi) Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga} yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Itu artinya perkawinan harus didasarkan pada Ketuhanan YME, yaitu berdasarkan agama, dengan tujuan membentuk keluarga, yang didasarkan pada ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita," ujarnya.
Selain itu ia mengatakan bahwa Belanda melegalkan perkawinan sesama jenis, dan ini tentu ditolak oleh masyarakat Indonesia. "Karena itu dalam UU Perkawinan maupun HKI (Kompilasi Hukum Islam), perkawinan itu antara laki perempuan, bukan lelaki dengan lelaki, dan bukan perempuan dengan perempuan,” kata Khoidin.
Dekan Fakultas Syariah Universitas Jember, Muhtadi menjelaskan tujuan webinar agar mahasiswa mendapatkan wawasan tambahan seputar politik hukum perkawinan di Indonesia. "Misalnya tentang batasan minimal usia perkawinan perempuan yang semula 16 tahun, dalam UU no 01 tahun 1974, kemudian direvisi dalam UU no 16 tahun 2019, menjadi minimal 19 tahun," kata Muhtadi.
Pewarta: Kendi Setiawan
Editor: Alhafiz Kurniawan