
Tim Lembaga Falakiyah PCINU Taiwan melakukan rukyatul hilal penentuan awal Ramadhan 1446 Hijriah (Foto: PCINU Taiwan)
Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memiliki sejumlah aturan dalam mengumumkan awal bulan Hijriah. Hal ini didasari atas Al-Qur'an, hadits, dan pandangan para ulama yang diramu menjadi sebuah keputusan dalam forum tertingginya, yakni muktamar.
Pada Muktamar Ke-20 NU d Surabaya (Jawa Timur) pada 8-13 September 1954/10-15 Muharram 1374 H menghasilkan keputusan bahwa pengumuman awal bulan Ramadan dan Syawal berdasarkan hisab tidak diperbolehkan.
"Pengumuman awal Ramadan dan Syawal berdasarkan hisab mendahului penetapan atau siaran Kementerian Agama RI hukumnya tidak boleh. Nahdlatul Ulama mengharap pemerintah melarang praktik pengumuman yang lebih awal tersebut," demikian bunyi keputusan tersebut.
Apabila ternyata Pemerintah menetapkan awal bulan Ramadan dan Syawal hanya berdasar hisab (bukan berdasar pada rukyatul hilal atau istikmal), maka penetapan tersebut tidak wajib diikuti oleh warga NU. Hal tersebut diputuskan pada Munas Allim Ulama NU di Situbondo (Jawa Timur) pada tanggal 18-21 Desember 1983 M/13-16 Rabiul Awal 1404 Н, yang kemudian dikukuhkan kembali pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo (Jawa Timur) pada tanggal 8-12 Desember 1984 M/15-19 Rabiul Awal 1405 H.
Selanjutnya, terkait pelaksanaan puasa Ramadan dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), warga NU diimbau untuk menyimak pengumuman dan penetapan pemerintah melalui Kementerian Agama Republik Indonesia (RI).
"Jika penetapan pemerintah berdasarkan rukyatul hilal atau istikmal, warga Nahdlatul Ulama wajib mengikuti dan menaatinya. Jika hanya berdasarkan hisab, warga Nahdlatul Ulama tidak wajib mengikuti dan menaatinya, dan hendaknya melaksanakan puasa Ramadlan atau melaksanakan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) pada hari berikutnya," demikian yang tertuang dalam keputusan Munas Alim Ulama NU di Cilacap (Jawa Tengah) pada tanggal 15-18 November 1987 M/23-26 Rabi ul Awal 1408 H Keputusan.
Baca Juga
Delapan Hal yang Membatalkan Puasa
Dalam keputusan Munas Alim Ulama NU di Cilacap tersebut juga disampaikan bahwa penetapan awal Ramadan dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) oleh kadi atau penguasa yang diberlakukan kepada masyarakat (itsbatul am) dapat dibenarkan jika berdasarkan rukyatul hilal atau istikmal. Dal keputusan Munas tersebut juga tertulis bahwa rukyatul hilal yang dilakukan pemerintah sudah cukup sebagai pelaksanaan dari fardu kifayah bagi seluruh Umat Islam Indonesia. Rukyatul hilal disalah satu tempat di Indonesia yang diterima oleh pemerintah bisa digunakan sebagai dasar penetapan awal Ramadan dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) di seluruh wilayah Indonesia walaupun berbeda matla'-nya.
Selain itu, umat Islam Indonesia dan pemerintah Indonesia dilarang berpedoman pada rukyatul hilal internasional, sebab negara Indonesia tidak berada dalam kesatuan hukum dengan negara yang mengalami rukyat.
Hal tersebut tercantum dalam keputusan Muktamar ke-30 NU di Kediri (Jawa Timur) pada tanggal 21-27 November 1999 M/12-18 Sya'ban 1420 H, yang berbunyi:
"Umat Islam Indonesia maupun Pemerintah Republik Indonesia tidak dibenarkan memedomani rukyatul hilal internasional (global) karena Indonesia tidak berada dalam kesatuan hukum (al balad al-wahid) dengan negeri yang mengalami rukyat." Selanjutnya, masih tetap mengacu pada Muktamar ke-30 tahun 1999, Rukyatul hilal akan digelar di seluruh Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah hukum.
Sementara itu, aturan tentang batasan-batasan dalam rukyatul hilal tertulis dalam keputusan Muktamar ke-34 NU di Bandar Lampung (Lampung) pada tanggal 22-25 Desember 2021 M/17-20 Jumadal Ula 1443 H. Keputusan tersebut di antaranya:
a Imkän rukyah menjadi syarat penerimaan kesaksian rukyatul hilal apabila sekurang-kurangnya lima metode falak qath'iy yang berbeda menetapkan bahwa hilal tidak mungkin terlihat, maka ketetapan tersebut menjadi acuan dalam menolak kesaksian rukyatul hilal.
b. Rukyatul hilal tidak lagi fardlu kifayah atau sunnah ketika menurut ilmu falak ternyata hilal berada di bawah ufuk. Karena tujuan rukyatul hilal untuk memastikan terlihatnya hilal sedangkan hilal menurut minimal lima metode falak qath'i tidak mungkin terlihat.
c. Apabila menurut minimal lima metode falak qath'iy (posisi) hilal di atas ufuk dan dipastikan terlihat tetapi tidak seorang pun yang menyaksikan hilal dan ketika bulan berjalan digenapkan (ikmäl) akan mengakibatkan bulan berikutnya berumur hanya 28 hari, maka ilmu falak dapat digunakan acuan dalam menafikan ikmal.
Terkait peran Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) terhadap istbat pemerintah ialah aktivitas rukyatul hilal yang diselenggarakan dan dikoordinasikan oleh Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) hasilnya akan dilaporkan ke Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk kemudian disampaikan dalam forum sidang itsbat Kementerian Agama Republik Indonesia.
Namun, NU juga dapat menerima hasil rukyatul hilal dari organisasi/institusi lain di luar NU, selama hasil rukyatul hilal tersebut berlangsung dalam wilayah hukum Indonesia dan dijalankan sesuai dengan prosedur. Hasil sidang itsbat dan atau rukyatul hilal tersebut kemudian akan menjadi landasan bagi Ikhbar PBNU.