Berpikir Saintifik ala Imam Ghazali menurut Gus Ulil Abshar Abdalla
Jumat, 30 September 2022 | 20:30 WIB
Ketua Lakpesdam PBNU KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) mencontohkan Imam Ghazali sebagai sosok yang memiliki kerangka berpikir saintifik.
Jakarta, NU Online
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil) sangat optimis bahwa NU akan menjadi organisasi yang modern tetapi tidak akan kehilangan ciri khas tradisinya.
Salah satu ciri dari kemodernan adalah mampu mempelajari ilmu pengetahuan atau sains, melahirkan teknologi, dan yang tak kalah dari itu adalah memiliki kerangka berpikir yang saintifik. Gus Ulil lantas menjelaskan kerangka berpikir santifik ala Imam Ghazali.
Secara umum, berpikir saintifik adalah upaya memahami bahwa alam raya ini sebagai sebuah tatanan yang teratur karena diatur oleh hukum-hukum yang pasti. Secara sederhana, jika seseorang memanaskan air maka air tersebut akan mendidih.
Di alam raya juga berlaku hukum Archimedes, yakni sebuah benda yang dicelupkan seluruhnya atau sebagian dalam zat cair, akan mengalami gaya ke atas yang besarnya sama dengan berat zat cair yang dipindahkan oleh benda tersebut. Hukum alam seperti ini berlaku di mana-mana, di seluruh alam raya ini.
“Nah yang khas pada Imam Ghazali adalah memang alam raya itu bekerja melalui aturan-aturan yang pasti. Tetapi aturan-aturan yang pasti ini bekerja karena kehendak Allah. Jadi hukum-hukum yang pasti itulah yang kemudian menimbulkan hukum kausalitas. Kalau ada A, maka ada B. Itu hukum sebab akibat,” jelas Gus Ulil, kepada NU Online, saat ditemui di kediamannya, beberapa waktu lalu.
Dalam pandangan Imam Ghazali, hukum sebab akibat itu tidak bekerja dengan sendirinya, tetapi ada yang menyebabkan hukum itu bekerja, yaitu Allah. Gus Ulil kembali mencontohkan soal air yang mendidih itu dengan perspektif Imam Ghazali.
“Memang air itu mendidih karena dipanaskan sekian derajat, sesuai dengan hukum alam, tetapi penyebab mendidihnya air yang hakiki adalah Allah, tetapi Allah adalah dzat yang bekerja melalui hukum sebab akibat. Jadi sebab yang hakiki adalah Allah, dan sebab yang sekunder adalah hukum alam ini,” ungkap Pengampu Ngaji Ihya Ulumiddin secara virtual itu.
Pandangan Imam Ghazali itu tentu berbeda dengan cara berpikir saintifik murni ala sains modern yang tidak ada aspek ilahiahnya. Mereka mengatakan alam bekerja secara otomatis melalui hukum-hukumnya sehingga tidak ada intervensi dari Allah. Dengan kata lain, Allah tidak punya pengaruh apa-apa terhadap alam raya ini.
“Kalau pandangan kita, seperti Al-Ghazali itu, Allah adalah pencipta sebab yang hakiki. Tetapi Allah bekerja di alam raya melalui hukum alam. Tidak sembarangan. Itulah teori Al-Ghazali mengenai sains,” katanya.
Gus Ulil berharap, cara berpikir saintifik itu ditanamkan kepada anak didik atau santri di pesantren-pesantren, tetapi dengan kesadaran penuh bahwa di balik sains ada Allah yang menyebabkan hukum alam bekerja.
“Jadi seimbang, ada dimensi ilahiah tetapi juga ada dimensi natural. Ada dimensi transcendental yaitu Allah, tapi ada dimensi alam qadrati, yaitu alam raya ini. Ada hukum alam tapi juga ada Allah yang menyebabkan hukum alam bekerja,” jelas Gus Ulil.
Tantangan NU ke depan adalah mengembangkan cara berpikir saintifik, sehingga tidak melulu menjelaskan segala sesuatu melalui hal-hal di luar nalar atau keramat. Menurut Gus Ulil, manusia tidak punya intervensi terhadap keramat, karena keramat itu merupakan hak Allah secara penuh.
“Tapi kalau kita sebagai manusia, harus bekerja melalui hukum-hukum alam ini. Makanya kita harus sekolah teknologi, harus belajar mengenai informatika, teknologi industri, untuk mengetahui tentang hukum alam ini,” pungkasnya.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Syakir NF