Buku Sejarah Kesultanan Nusantara Siap Diterbitkan Puslitbang Kemenag
Selasa, 21 November 2017 | 12:01 WIB
Buku sejarah Kesultanan Nusantara dalam waktu dekat akan diterbitkan oleh Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi (LKKMO) Balitbang Diklat Kemenag RI. Buku tersebut merupakan kumpulan hasil penelitian yang dilakukan beberapa tahun silam.
Kepala Puslitbang LKKMO Choirul Fuad Yusuf mengatakan hal itu ketika berbicara sebagai narasumber pada Seminar “Penerbitan Buku Sejarah Kesultanan Nusantara.” Seminar sehari tersebut dihelat di Hotel Sofyan Betawi Jl Cut Meutia No 9 Jakarta, Selasa (21/11).
“Dalam kurun waktu empat tahun, sejak 2009 hingga 2013, telah dikaji dan ditulis sejumlah kerajaan Islam di Nusantara. Paling tidak, 18 kesultanan. Jika ditambah dengan 2015 dan 2016 yang enam kerajaan, maka total 24 buah,” tegas Choirul Fuad.
Jumlah 18 sejarah kesultanan tersebut, lanjut dia, meliputi Kerajaan Balok (Bangka Belitung), Kerajaan Balanipa-Mandar (Sulawesi Barat), Kesultanan Ternate (Maluku Utara), Kesultanan Banggai-Palu (Sulawesi Tengah), Kesultanan Melayu Jambi, Kerajaan Islam Paksi Sekala Brak (Lampung), Kesultanan Riau-Lingga (Kepulauan Riau), Kesultanan Melayu Deli (Sumatera Utara), Kesultanan Sambas (Kalimantan Barat).
“Lalu, Kerajaan Islam Hitu-Ambon; Kesultanan Serdang (Sumatera Utara); Kesultanan Cirebon (Jawa Barat); Kerajaan Inderapura (Sumatera Barat); Kesultanan Sumbawa (NTB); Kasunanan Surakarta (Jawa Tengah), kesultanan Bone (Sulawesi Selatan), Kesultanan Peurleuak (Aceh Timur), dan Kesultanan Passer (Kalimantan Timur),” papar Fuad.
Pria kelahiran Purwokerto Jawa Tengah ini berharap, buku sejarah Kesultanan Nusantara tersebut bisa diterjemahkan ke Bahasa Inggris. “Penerjemahan ini perlu dilakukan agar sejarah kita bisa dibaca tidak hanya masyarakat kita namun juga warga dunia,” tegasnya.
Sebelumnya, Kepala Bidang Litbang Khazanah Keagamaan Puslitbang LKKMO, Acep Aripudin, yang memoderatori diskusi memerinci, untuk tahun 2015 dan 2016, ada enam kesultanan di seluruh Indonesia yang telah diteliti. “Enam kesultanan tersebut adalah Kesultanan Bima, Sumenep, Sintang. Ketiganya tahun 2015. Lalu, Kesultanan Sukapura, Mataram, dan Dharmasraya pada 2016,” ujar Acep.
Selain Choirul Fuad Yusuf yang didaulat sebagai narasumber, seminar ini menghadirkan dua narasumber lain, yakni Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Dr Muhammad Iskandar, dan Dosen Sejarah UIN Sunan Gunung Djati Bandung Dr Moeflich Hasbullah.
Dalam paparannya, M Iskandar mengatakan bahwa penelitian tentang kesultanan Nusantara ini penting untuk dikaji. Meski demikian, perlu diperjelas terkait perbedaan antara kerajaan dengan kesultanan.
“Saya beberapa kali melihat teman-teman peneliti belum membedakan antara kerajaan dengan kesultanan secara jelas. Padahal keduanya beda. Jika kerajaan itu pra Islam, maka kesultanan pasti Islam,” tandas Iskandar.
Sementara itu, Moeflich Hasbullah memberi masukan agar dalam penulisan sejarah lokal musti merujuk kepada sumber-sumber lokal. Selain itu, penulisannya juga perlu diberi catatan kaki. “Sebab, ini tulisan ilmiah. Jika ada kesamaan dengan tulisan di sebuah blog atau website, meski tulisan sendiri, harus diberi catatan kaki,” pungkas Moeflich. (Musthofa Asrori/Abdullah Alawi)