Nasional

Cepat Emosi Bikin Anak Muda Gampang Membunuh, Ini Faktor-Faktornya

Kamis, 25 Juli 2024 | 16:30 WIB

Cepat Emosi Bikin Anak Muda Gampang Membunuh, Ini Faktor-Faktornya

Ilustrasi. (Foto: Freepik)

Jakarta, NU Online

Fenomena meningkatnya kasus pembunuhan yang melibatkan anak muda memang menjadi perhatian serius. Berdasarkan data Kompas, sekitar 65 persen pelaku pembunuhan di Indonesia adalah anak muda berusia 19-35 tahun. Banyak dari kasus ini dipicu oleh alasan sesaat atau emosi sesaat.


Dosen Sosiologi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Moh Faiz Maulana menilai perilaku cepat emosi yang membuat anak muda mudah melakukan pembunuhan adalah hasil dari interaksi kompleks antara berbagai faktor struktural, lingkungan sosial, dan kondisi individu.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Pertama, masalah struktural yang ada di masyarakat, seperti tingginya angka pengangguran. Ketidakmampuan menemukan pekerjaan yang layak membuat banyak anak muda merasa frustrasi dan putus asa.


“Hal tersebut dapat membuat mereka (anak muda) kehilangan kepercayaan diri, tujuan, dan makna hidup yang sering kali memicu reaksi emosional yang ekstrem di lingkungan sosial mereka,” kata Faiz kepada NU Online, Kamis (25/7/2024).


Persoalan lain yakni inflasi yang terus meningkat turut memperburuk keadaan, hal ini menambah beban anak muda sehingga mental dan emosional mudah terguncang.


“Ketika biaya hidup semakin tinggi, memenuhi kebutuhan dasar menjadi semakin sulit. Kondisi ekonomi ini pada akhirnya menciptakan ketegangan yang tak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari anak muda, tentu ini akan menambah beban mental dan emosional yang mereka hadapi di kehidupan sosial,” tambahnya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Selain itu, kesempatan kerja yang terbatas dan sering tidak sesuai dengan ekspektasi juga menjadi masalah krusial. Tingkat pendidikan yang rendah turut memicu tingkat stres dan kecemasan yang tinggi, yang pada gilirannya dapat mendorong perilaku agresif.


“Hal ini saya lihat juga dapat memicu tingkat stres dan kecemasan yang tinggi, yang pada gilirannya dapat mendorong perilaku agresif,” terangnya.


Faiz menuturkan,untuk menangani masalah ini perlu memahami akar persoalan di atas, tentu juga dengan pendekatan yang holistik, yang melibatkan banyak hal, dan banyak pemangku kepentingan.


“Pemerintah perlu lebih berpihak pada masyarakat dalam membuat kebijakan dalam hal apapun. Di sisi lain juga melakukan evaluasi dari kebijakan yang sudah ada, yang tidak mengakomodir kepentingan masyarakat,” lanjut Faiz.


Pendidikan dan pengaruh media sosial

Faiz menambahkan bahwa selain faktor struktural, faktor pendidikan juga berperan penting. Pendidikan mempengaruhi kedewasaan mental dan intelektual, yang berdampak pada kemampuan anak muda mengendalikan emosi.


“Misalnya faktor pendidikan yang kurang. Ini tentu berpengaruh pada kedewasaan mental dan intelektual yang berdampak pada mampu tidaknya mereka mengendalikan emosi. Kurangnya pendidikan dalam aspek ini membuat mereka lebih rentan terhadap tindakan kekerasan,” ungkap Faiz.


Lingkungan sosial juga memainkan peran penting, terutama jika kekerasan menjadi norma dalam lingkungan tersebut. Anak muda yang tumbuh dalam lingkungan semacam ini menganggap kekerasan sebagai cara yang dapat diterima untuk menyelesaikan konflik


“Lingkungan sosial juga punya peran penting. Karena di sana mereka akan dibentuk, misalnya dalam suatu lingkungan sosial kekerasan sering kali menjadi norma, pada akhirnya ini juga akan turut membentuk perilaku agresif,” bebernya.


Di sisi lain, pengaruh media terutama media sosial juga sangat signifikan. Pengetahuan tentang agresivitas dan kekerasan sering kali diperoleh melalui media sosial, yang pada akhirnya membentuk tindakan anak muda.


“Pengetahuan tentang agresivitas dan kekerasan seringkali didapat dalam media sosial yang pada akhirnya membentuk tindakan anak muda,” katanya.


Keluarga turut berperan penting. Keluarga yang tidak harmonis atau kurang mendukung dapat membuat anak muda merasa kesepian dan tidak didukung, yang pada akhirnya dapat memicu perilaku agresif.


“Keluarga yang tidak harmonis atau kurang mendukung dapat membuat anak muda merasa kesepian dan tidak didukung yang pada akhirnya dapat memicu perilaku agresif,” pungkas Faiz.


Salah satu kasus pembunuhan oleh anak muda terjadi di Samarinda Timur pada tahun 2023. Seorang remaja berusia 17 tahun membunuh temannya sendiri. Pelaku, TS, mengaku telah menganiaya korban, Muhammad Alfarizi alias Alfa (19), hingga tewas.

 

Korban kemudian dimasukkan ke dalam karung dan dibuang di parit. Kejadian ini terungkap setelah keluarga korban melaporkan Alfa hilang dan berhasil melacak pelaku menggunakan ponsel korban.