Cerminan Kehidupan Rumah Tangga yang Baik, Berperilaku Terpuji kepada Pasangan dan Keluarganya
Senin, 14 Agustus 2023 | 19:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pernikahan memang bukan hubungan yang main-main. Menikah, berarti tak hanya menyatukan dua orang yang mencintai, tapi juga menyatukan dua keluarga yang berbeda. Mereka yang tadinya tak memiliki keterikatan darah, kini menjadi keluarga karena hubungan pernikahan.
Hal itu disampaikan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Putri KHAS Kempek, Nyai Tho’atillah Ja’far kepada NU Online, Senin (14/8/2023).
“Menikah sejatinya tidak hanya menjalin komitmen secara individu antar pasangan. Menikah adalah sebuah proses pengembangan pohon keluarga menjadi lebih luas dan kokoh demi kemaslahatan dan keberlangsungan peradaban umat manusia,” kata Nyai Tho’ah, sapaan akrabnya.
Ia mengatakan, setelah mengucapkan akad, setiap orang sebenarnya tidak hanya telah menikahi satu orang pasangannya, akan tetapi dengan puluhan orang di belakangnya yang tercatat sebagai bagian dari keluarga, kerabat, dan sahabat.
“Pada akhirnya, menikah menjadi semacam deklarasi berdirinya sebuah kelembagaan baru yang sudah barang tentu menghadirkan tantangan untuk bisa saling menghargai, menghormati, dan menyayangi, setiap anggota di dalamnya dengan karakter, sikap, dan watak yang secara kodrati beragam dan berbeda-beda,” katanya menerangkan.
Anggota Majelis Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu lantas mengutip hadits Nabi saw, yang mewanti-wanti umatnya agar mematangkan akhlaknya terlebih dulu sebelum memasuki jenjang pernikahan.
“Itu berlaku bukan hanya untuk orang yang dicinta sebagai pasangannya, tetapi keseluruhan keluarganya,” jelas Nyai Tho’ah.
Ia kemudian mengutip sebuah hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah sebagai berikut:
خيركم خيركم لأهله، وأنا خيركم لأهلي
Artinya, “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik sikapnya terhadap keluarga. Dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR Ibnu Majah)
Bersikap baik terhadap istri, menurutnya, sudah dijelaskan oleh para ulama ahli hadits. Mereka menyimpulkan sabda Nabi saw tersebut bahwa istri adalah orang pertama dari keluarga suami yang harus disikapi secara mulia.
Tetapi secara lebih luas lagi, terang dia, kata ahlun (keluarga) dalam hadis itu bisa bermakna bahwa setiap pasangan, baik suami maupun istri, sama-sama menerima tanggung jawab untuk mampu mengharmonisasi keluarga yang berada di belakangnya.
“Tentu, dengan sikap-sikap dan komunikasi yang bermuatan atau berprinsip penuh pada akhlak mulia,” terang dia.
Teks hadis itu juga, menurutnya, menekankan makna yang universal dan resiprokal. Pesan utama dari teks tersebut adalah perilaku yang baik terhadap keluarga sebagai ukuran dan standar moral seseorang dalam Islam, baik laki-laki maupun perempuan.
“Lebih luas lagi, kesadaran untuk berlaku baik dalam pembentukan lembaga baru ini perlu disadari dan miliki semua orang yang terlibat di dalamnya. Sebagai sebuah lembaga dan organisasi, setiap orang harus mengerti dan memahami tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya masing-masing,” jabarnya.
Selanjutnya, ia menekankan bagi keluarga di luar pasangan yang berikrar (suami-istri) mesti memahami betul zona kerjanya masing-masing. Ada ruang yang memang patut menjadi area bersama untuk saling memberikan nasihat kebaikan secara terbuka dengan menerapkan semangat demokrasi, ada juga wilayah privat yang memang tidak bisa dimasuki setiap anggota organisasi.
Ia mengungkapkan dari situlah sikap kesalingan menjadi penting, tidak hanya menjadi amanat antara suami dan istri, begitu pula setiap anggota keluarga besar di belakang setiap pasangan.
“Prinsip saling menghargai, menghormati, dan menyayangi adalah amanat yang harus ditunaikan secara bersama-sama,” ucapnya.
“Sebab pernikahan merupakan bagian dari maqashid syariah (tujuan disyariatkannya Islam) dalam bentuk hifz al nashl (menjaga keberlangsungan manusia/keturunan) dengan sakinah, mawaddah, rahmah, dan penuh kesalingan,” tandas dia.
Artikel ini merupakan hasil kerja sama antara NU Online dan Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kemenag RI.