Depresi Picu Orang Nekat Bunuh Diri, Begini Cara Mencegahnya menurut Psikolog
Rabu, 28 September 2022 | 20:00 WIB
Orang yang melakukan bunuh diri, hakikatnya bukan karena ia ingin mati tapi karena ingin mengakhiri rasa sakitnya.
Jakarta, NU Online
Belakangan ini, kejadian bunuh diri di sejumlah kota Indonesia bermunculan pemberitaan media massa. Di antara penyebabnya dikabarkan lantaran mengalami depresi.
Psikolog dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta Maryam Alatas menjelaskan, keinginan bunuh diri yang dialami seseorang berpotensi besar dipicu oleh oleh gangguan psikologis, salah satunya depresi.
“Orang yang melakukan bunuh diri, hakikatnya bukan karena ia ingin mati tapi karena ingin mengakhiri rasa sakitnya. Depresi adalah salah satu penyebab seseorang melakukan bunuh diri,” ungkap Maryam kepada NU Online, Rabu (28/9/2022).
Ia menyampaikan, sedikitnya terdapat beberapa simtom yang muncul ketika seseorang mengidap depresi, antara lain, merasa putus asa, tidak berguna, dan tidak memiliki harapan, serta perubahan suasana hati yang ekstrem.
Selain itu, adanya perubahan pola makan, pola tidur, dan menjauhkan diri dari lingkungan sosialnya, seperti keluarga atau teman hingga pikiran tentang kematian yang berulang serta ide bunuh diri yang berulang.
“Bisa tidak nafsu makan atau malah makan lebih banyak dari biasanya menjadi sulit tidur. Bisa juga mulai mengatakan bahwa dirinya ingin mati saja,” ungkap Maryam.
Orang dengan gangguan psikologis tersebut, lanjut Maryam, perlu mendapatkan support dari orang terdekat, salah satunya dengan membuka dialog untuk membangun percakapan ke arah yang lebih positif.
“Orang terdekat, dalam hal ini baik keluarga atau teman. Perlu memberikan support, misalnya dengan bertanya mengenai kabar dan keadaannya. Katakan bahwa kita siap untuk mendengarkan keluh kesahnya, kapanpun ia butuh bercerita,” terang Maryam.
Ketika ruang komunikasi dengan orang lain kian terjalin, Maryam menyarankan untuk membujuk penderita menemui profesional seperti psikolog agar mendapat penanganan lebih lanjut.
Menemui ahli, sambung Maryam, menjadi hal penting ketika seseorang mengalami beberapa ciri gangguan mental, alih-alih hanya membaca sumber informasi dari internet.
Menjadikan internet sebagai satu-satunya rujukan, dinilainya terlalu riskan. Pasalnya, seseorang dikhawatirkan untuk melakukan self-diagnose (mendiagnosis diri sendiri). Padahal, untuk menentukan satu diagnosis atas gangguan mental, membutuhkan rangkaian pemeriksaan.
“Seperti observasi, wawancara sampai tes psikologi. Tidak hanya berdasarkan ciri-ciri saja,” jelasnya.
Untuk itu, ia mengimbau masyarakat untuk menghindari informasi dari internet dan media sosial sebagai acuan utama.
“Hindari menjadikan gangguan yang diderita orang lain sebagai acuan untuk mendiagnosa diri sendiri. Dan, jangan ragu untuk mengunjungi psikolog,” ungkapnya.
Pelayanan kesehatan mental di Indonesia
Maryam menilai, fasilitas pelayanan kesehatan mental di Indonesia terus mengalami kemajuan. Sejauh ini, kata dia, layanan kesehatan mental bisa diakses mulai dari Puskesmas sampai rumah sakit.
Pelayanan kesehatan mental masyarakat telah dijamin oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan kesehatan perorangan mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
“Ini artinya, seluruh peserta JKN-KIS bisa memperoleh manfaat dari program ini sesuai indikasi medis,” ujar Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, seperti dilansir dari laman resmi BPJS.
Adapun berkas yang harus disiapkan sebagai persyaratan antara lain, kartu BPJS Kesehatan atau KIS, fotokopi kartu BPJS Kesehatan atau KIS, fotokopi KTP, fotokopi Kartu Keluarga, hasil diagnosis dokter, serta surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat 1 untuk faskes tingkat lanjut (jika dibutuhkan).
Pasien bisa mendapatkan akses pengobatan secara gratis. Akses pengobatan yang disediakan seperti, rehabilitasi medis dan konseling dengan psikolog di fasilitas kesehatan, sesuai indikasi medis dan diagnosis dokter.
Pewarta: Nuriel Shiami Indiraphasa
Editor: Syamsul Arifin