Di Depan Petinggi Polri, Gus Yahya Serukan Perdamaian Global dan Kehidupan Harmonis Antarkelompok
Kamis, 6 Maret 2025 | 14:30 WIB

Gus Yahya saat menyampaikan pidato dalam acara pertemuan dengan Densus Antiteror 88 di Mabes Polri, Jakarta, pada Kamis (6/3/2025). (Foto: TVNU/Miftah)
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menegaskan pentingnya pemahaman yang lebih mendalam tentang upaya hidup berdampingan secara damai, terutama dalam konteks global yang semakin kompleks serta kehidupan harmonis antarkelompok.
Hal itu diungkap Gus Yahya di hadapan para petinggi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam acara Senior Level Meeting Densus Anti Teror 88 di Mabes Polri, Jakarta, pada Rabu (5/3/2025).
Gus Yahya menjelaskan bahwa pemahamannya tentang ajaran agama, terutama Islam, tidak hanya didapat dari pembelajaran agama sejak kecil, tetapi juga melalui kajian mendalam mengenai sejarah Islam, syariat, dan berbagai aspek lainnya.

Gus Yahya juga menegaskan bahwa interpretasi kitab-kitab agama yang dijadikan pegangan oleh kelompok ekstremis, ISIS misalnya, adalah sah berdasarkan kajian keagamaan yang ada, meski ia tidak membenarkan kekerasan.
Karena itu, salah satu fokus utama dalam perjuangan PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya saat ini adalah mencari landasan yang lebih tegas dan pasti tentang alasan umat manusia harus hidup dalam kedamaian.
"Kami memfokuskan diri untuk mencari landasan yang lebih tegas, yang lebih pasti, tentang kenapa kita harus hidup berdampingan secara damai dan tidak menyulut konflik dan permusuhan antarkelompok," katanya.

Lebih lanjut, Gus Yahya mengungkapkan bahwa konflik antarkelompok identitas sebenarnya adalah fenomena yang berlangsung selama ribuan tahun dalam sejarah peradaban umat manusia.
Namun, aspirasi untuk hidup damai dan berdampingan dengan perbedaan mulai muncul setelah Perang Dunia II dengan lahirnya Piagam PBB.
"Piagam PBB yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip antara lain prinsip tentang perbatasan-perbatasan internasional yang definitif ini juga sesuatu yang baru, yang nyaris unpresedented bahwa ada sistem untuk menetapkan perbatasan-perbatasan internasional untuk menentukan batas kedaulatan negara-negara. Sebelumnya ini nyaris ya tidak tidak dianggap sebagai sesuatu yang fundamental di dalam pergaulan internasional," jelasnya.

Gus Yahya menegaskan bahwa alasan yang paling pasti dan mendasar adalah konsensus internasional yang dituangkan dalam Piagam PBB. Sebab di dalamnya menegaskan prinsip-prinsip perdamaian, kesetaraan, dan kebebasan dari diskriminasi. Karena itu, semua identitas ras, suku, bangsa, dan agama harus dicopot demi kemanusiaan.
Dalam konteks global saat ini, aspirasi untuk hidup damai dan bebas dari diskriminasi menjadi hal yang mendesak untuk diterima dan dijadikan landasan bersama dalam pergaulan internasional.
"Dunia mengalami trauma dari akibat perang besar-besaran dengan korban yang luar biasa, khususnya pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang kemudian mendorong tumbuhnya aspirasi yang kuat untuk membangun satu tatanan internasional yang dapat mencegah konflik," terangnya.