Nasional

Doa Bersama

Jumat, 31 Agustus 2012 | 07:01 WIB

Rezim Orde Baru menghadapi akhir otoritarianismenya dengan mengurai dan membubarkan simpul-simpul gerakan sosial. Mereka melakukannya untuk memecah simpul gerakan sosial dengan cara diciptakannya keretakan sosial. Dengan demikian sangat mudah terjadi konflik sosial yang bersifat horizontal. 
<>
Sejak tahun 1997 hingga 1999 terjadi banyak konflik antara kelompok dan bahkan kemudian konflik antaragama. Seringkali konflik ini tidak disadari oleh masyarakat di sekitar tempat itu sendiri, bahkan seringkali para pelakunya juga tidak sadar bahwa dirinya bisa bertindak brutal, misalnya melakukan pembakaran tempat ibadah, merusak pertokoan, rumah dan sebagainya. Padahal selama ini mereka saling hidup rukun, saling bantu membantu, tetapi tiba-tiba digiring pada konflik yang tidak mereka kehendaki.

Berbagai pengalaman konflik yang memakan banyak korban fisik dan psikologis itu mulai mereka sadari bahwa konflik tersebut tidak semata karena adanya ketegangan antarkelompok atau antaragama, melainkan adanya pihak luar yang mengadu domba.

Sering kali konflik terjadi setelah masuknya orang tertentu dari luar yang mengobarkan permusuhan. Atau sekelompok orang dari luar yang melakukan serangan terhadap suatu kelompok, sementara orang yang ada sekitar tempat tersebut hanya bisa menonton atau sebagian terprovokasi.

Pada awalnya, kejadian demi kejadian semacam itu memunculkan kecurigaan antarkelompok dan antaraagama, sehingga bisa mengarah pada konflik horizontal yang lebih luas. Adanya konflik horizontal itulah yang dikehendaki para pembuat skenario kerusuhan tersebut.

Tujuannya, agar mereka tidak melakukan konflik yang sifatnya vertikal, yakni melawan pemerintah orde baru yang sudah mulai goyah dan kehilangan legitimasi.

Untuk menepis rasa saling curiga di kalangan masyarakat dan antar agama dan sebagai usaha untuk merajut kohesifitas sosial, maka para kiai NU yang dipimpin oleh Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid mengadakan acara do’a bersama. 

Doa bersama ini dihadiri oleh wakil dari masing-masing agama, mulai dari Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu bahkan beberapa agama lokal seperti Kaharingan, Sunda Wiwitan dan sebagainya. Dengan adanya forum ini, kelompok minoritas merasa terlindungi oleh kelompok mayoritas Islam, yaitu NU, sehingga kelompok ini mendapatkan jaminan keamanan dengan demikian konflik bisa dihindari dan kesatuan Negara bisa dipertahankan.

Doa bersama yang dimulai di level pimpinan PBNU, kemudian dikembangkan di berbagai daerah. Kelompok Islam puritan Islam sangat mengutuk tindakan ini karena dianggap sebagai bentuk kemusyrikan yang mencampurdukkan antar kepercayaan agama. 

Tetapi sebagai kelompok Islam terbesar NU menganjurkan tindakan ini, demi menciptakan kerukunan bersama. Para ulama NU menempatkan ini sebagai forum kerukunan sosial, bukan pelaksanaan ritual agama, karena mereka berkumpul dan berdoa sesuai dengan agama mereka masing-masing. 

Sejak saat itu  kalangan antaragama mulai terbiasa menjalankan doa bersama, yang selama ini dianggap tabu atau minimal sama-sama merasa risi, tetapi sejak saat itu telah menjadi kebiasaan, tanpa harus merasa terintimidasi dan merasa tercemari keyakinan agama mereka. (Abdul Mun’im DZ)











Terkait