Faqih fi mashalihi-l-khalqi adalah sebutan tentang identitas ulama yang memahami dan mengenal dengan baik kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia. Sebutan ini diangkat oleh Imam al-Ghazali dalam bukunya yang terkenal, Ihya Ulumiddin.
<>
Dalam karya tersebut yang sering dijadikan rujukan oleh orang-orang pesantren, disebutkan bahwa setiap ulama adalah orang yang abid (ahli ibadah), zuhud (tidak serakah), mengerti ilmu-imu akhirat, pengetahuannya diabdikan untuk Allah, peka, jeli, dan paham benar akan kemaslahatan makhluk (faqihun fi mashalihi-l-khalqi).
Predikat ulama seperti ini kemudian diaktualisasikan dalam konteks ke-NU-an oleh KH Sahal Mahfudh (kini Rais Am PBNU), dalam berbagai tulisan, kiprah dan juga dalam gagasannya tentang fiqih sosial.
Peranan ulama sebagai faqihun fi mashalihi-l-khalqi sudah ditunjukkan oleh Kiai Sahal sejak tahun 1980-an, yang menggagas program pemberdayaan masyarakat melalui pesantren, kerjasama Pesantren Maslakul Huda, kajen, pati, yang beliau bina, bersama dengan LP3ES dan P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) Jakarta.
Program berbasis masyarakat bawah tersebut menginspirasikan sebuah pergumulan para kiai dan kaum santri dengan masyarakatnya, untuk terlibat dalam masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat. Kiai atau ulama sebagai motivator dan pemberi inspirasi dan solusi.
Di samping memberikan motivasi keagamaan maupun sosial, sekaligus mereka mampu mempengaruhi masyarakat untuk menumbuhkan dinamika yang tinggi dalam meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya, di bidang material maupun spiritual, untuk mencapai keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara dimensi ruhiyah dan waqi’iyah.
Dengan peran seperti ini, para ulama berupaya sekuat tenaga untuk menjaga kehormatan dan kemandirian bangsa, serta melakukan perbaikan terhadap umat.
Menurut Kiai Sahal, program penguatan dan pengembangan masyarakat ini merupakan bagian dari komitmen sosial-kebangsaan ulama.
Selanjutnya, hal itu akan menjadi bahan tambahan khazanah ilmu pengetahuan kaum santri. Karena dengan bergumul dengan program-program sosial tersebut akan menambah wawasan pemikiran sehingga menambah kepekaan kaum santri terhadap masalah-masalah sosial yang ada di sekitarnya.
Kepekaan seperti ini yang ditunjukkan Kiai Sahal dalam forum-forum bahsul masail (pembahasan masalah-masalah sosial-keagamaan) di lingkungan pesantren dan pengurus NU dari berbagai tingkatan. Dalam forum ini para warga NU mengadukan masalahnya, bukan hanya tentang soal-soal keagamaan, tapi juga problem-problem ekonomi, sosial, bahkan politik.
Kompleksitas persoalan yang dihadapi masyarakat di tingkat akar rumput tersebut, langsung direspons oleh sang kiai dengan berbagai kiat dan pendekatan keulamaannya. Kiai Sahal tidak langsung begitu saja mengolah jawaban-jawaban tersebut secara hitam putih, yang bisa langsung saja dicomot dari teks-teks yang ada.
Berkat kekayaan khazanah keilmuan yang dimiliki, Kiai Sahal malah sempat menulis sebuah risalah tentang ushul fiqih dalam bahasa Arab. Ia melihat satu persoalan dari berbagai kemungkinan dan warna-warninya. Kiai Sahal memakai alat pendekatan dan analisis yang juga tidak tunggal, sebelum diambil keputusan fiqhiyah yang manusiawi terhadapnya, dari karakter faqihun fi mashalihi-l-khalqi ini.
Jelaslah apa yang seharusnya dilakukan oleh para ulama pengasuh pesantren dan pengurus NU dalam rangka membina umat dan bangsa ini. Bukan saja membina dalam kehidupan beragama, melainkan juga kehidupan sosial-ekonomi, serta membina kehidupan berbangsa dan bernegara menuju tercapainya cita-cita baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur yang berkeadilan sosial. (Ahmad Baso)