Filolog: Pesantren sebagai Benteng dan Pengarus Utama Islam Nusantara
Rabu, 15 Juli 2020 | 13:00 WIB
Jakarta, NU Online
Peradaban Islam di Nusantara ini seringkali dipandang sebagai peradaban Islam pinggiran, bukan peradaban Islam arus utama. Hal tersebut tampak dalam pembahasan berbagai literatur, baik karya cendekiawan Arab maupun Barat.
Seolah-olah, ada peradaban Islam di Nusantara terpisah dari narasi besar sejarah peradaban Islam di wilayah belahan dunia lainnya. Padahal, pemikiran Islam di Nusantara memiliki hubungan yang erat dengan wilayah lainnya.
Filolog Khazanah Islam Nusantara Ahmad Ginanjar Sya'ban menjelaskan, hubungan itu terjalin erat di pesantren yang hadir bukan hanya sebagai episentrum pendidikan karakter bangsa Nusantara. Akan tetapi, juga sebagai benteng pengetahuan keislaman dan aksara Nusantara.
"Pesantren juga pusat terpenting bagi penjaga peradaban aksara, ingatan kolektif bangsa Nusantara," katanya dalam Pidato Kebudayaan yang digelar oleh Pusat Studi Pesantren, Rabu (15/7).
Lebih lanjut, Ginanjar menyampaikan bahwa pesantren memiliki kiprah yang luar biasa sebagai penjaga peradaban aksara Nusantara. Ia hadir sebagai penyambung lokus tradisi pendidikan Islam layaknya Timur Tengah, Andalusia, Eurasia, dan wilayah lainnya.
Pesantrenlah yang menyambungkan antara Aceh dengan Istanbul, Banten dengan Makkah, Demak dengan Samarkan, Makassar dengan Madinah, Pasai dengan Andalus, Madura dengan Kaukasia, Betawi dengan Hadramaut, Minangkabau dengan Maghrib, Pattani dengan Krimea, dan seterusnya.
Jembatan silaturahim antara wilayah Nusantara dan wilayah Islam lainnya, menurut dia, bukan hanya hubungan kontak politik dan ekonomi. Lebih dari itu, para ulama membangun jembatan yang disebut sebagai jaringan keilmuan atau sanad. Hal ini masih dapat dijumpai di pesantren-pesantren tradisional hingga sekarang.
"Terbangun dengan kokoh, terikat dengan erat oleh jaringan keilmuan, oleh tradisi yang disebut isnad, baik antara tokoh ulamanya, maupun karyanya," terang Dosen Fakultas Islam Nusantara (FIN) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) itu.
Kitab-kitab yang telah ditulis oleh para ulama ratusan tahun silam sampai saat ini masih ditulis ulang, dikaji, dipelajari, diterjemahkan, hingga dikomentari di pesantren.
Karya Imam al-Ghazali, misalnya, yang ditulis 1000 tahun lalu masih bisa dijumpai, dipelajari, diajarkan, dilestarikan, ditulis ulang, diterjemahkan dalam bahasa aslinya di pesantren-pesantren tradisional.
"Karya tersebut bukan hanya dipelajari dalam bahasanya, tetapi juga dibahasakan sesuai dengan pemahaman dan maksud sang pengarang," ujarnya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Musthofa Asrori