Nasional

Gus Baha Kisahkan Dialog Ringan Allah dengan Nabi Musa

Senin, 9 Agustus 2021 | 12:30 WIB

Gus Baha Kisahkan Dialog Ringan Allah dengan Nabi Musa

Rais Syuriyah PBNU KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha). (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Bahauddin Nur Salim (Gus Baha) mengatakan bahwa dalam Al-Qu’an, Allah SWT terkadang suka bertanya hal yang ringan-ringan. Contohnya saat Tuhan pemilik langit dan bumi itu berkomunikasi dengan Nabi Musa as yang berstatus kalīmullah, yaitu setiap nabi yang jika punya problem berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
 
“Saking terkenalnya Nabi Musa sering munajat, sampai ketika beliau sakit gigi, itu langsung berbicara kepada Allah SWT,” ungkap Gus Baha, dalam Istighotsah dan Refleksi Kemerdekaan ke-76 RI bertajuk “Munajat untuk Indonesia Sehat dan Ekonomi Bangkit” yang dihelat secara daring oleh Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (Hebitren) di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, Ahad (8/8) malam.
 
Kiai asal Kragan, Narukan, Rembang itu pun mengisahkan secara renyah dialog Nabi Musa dengan Tuhannya yang terekam dalam Al-Qur'an. 
 
“Ya Allah, saya ini sakit gigi”. 
 
Jadi, tidak ke dokter, tidak ke tabib, tapi langsung ke Allah SWT. Lalu oleh Allah SWT dikasih tahu, “Coba kamu ngunyah rumput ini, jenis ini”. 
 
Setelah dikunyah, Nabi Musa sembuh.
Suatu saat Nabi Musa sakit gigi lagi. Tidak lagi konsultasi dengan Allah, tapi langsung mencari rumput itu, kemudian dikunyah, dan malah tambah sakit.
 
Nabi Musa bertanya, “Ya Allah, ini sesuai resep pertama, tapi kenapa tambah sakit?”
 
“Dulu kamu percaya Aku punya kekuatan menyembuhkan, sekarang percaya kamu kepada rumput. Silakan kamu minta sembuh dari rumput,” jawab Allah.
 
Akhirnya semenjak itu, lanjut Gus Baha, jadi syariat bersama bahwa ikhtiar harus hasbiyallah wa ni’mal wakīl. Meskipun tawakal harus tetap ikhtiar. Karena di semua cerita-cerita itu, Nabi Musa tidak disuruh langsung berdoa, tapi disuruh ikhtiar yaitu dengan mengunyah rumput tertentu yang menjadi obat sakit.
 
“Tapi di balik itu semua ada hal-hal dahsyat yang Allah SWT itu berbicara atau cara memperlakukan seorang kekasih-Nya itu ringan sekali, rileks sekali. Sehingga banyak kiai-kiai kita yang rileks,” kata kiai yang identik dengan baju putih itu.
 
Lebih lanjut, Gus Baha memberi contoh lain, yaitu kebiadaban Fir'aun yang dengan bengisnya menindas Bani Israil, kaum Nabi Musa. Tetapi ketika Allah pertama memanggil Nabi Musa, pertanyaannya ringan sekali, “Wa tilka biyamīnika mụsā (Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?),” [QS. Thāha: 17]. 
 
“Kamu membawa apa?” tanya Allah, yang tentunya sudah tahu.
 
“Ini Gusti, saya membawa tongkat,” katanya.
Terus kata Allah, “untuk apa?”
 
Qāla hiya 'aṣāy, atawakka`u 'alaihā wa ahusysyu bihā 'alā ganamī wa liya fīhā ma`āribu ukhrā, Dia (Musa) berkata, “Ini adalah tongkatku, aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun-daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain.” [QS. Thāha: 17].
 
“Ya banyak lah, Gusti, fungsinya tongkat ini: untuk menghalau kambing saya ketika menggembala, untuk merontokkan daun-daun supaya dimakan kambing saya, dan masih banyak lagi kepentingan yang lain,” kata Nabi Musa, seperti ditirukan Gus Baha. 
 
Sehingga para mufassir, lanjutnya, mengatakan bahwa psikologi seorang rakyat yang bertemu presiden, gubernur, apalagi ajudan bertemu pimpinannya itu pasti takut. Cara menghilangkan ketakutan itu diajak berbicara atau ngomong yang ringan-ringan.
 
“Saya tidak bisa membayangkan kalau saya ketemu Mbah Maimoen terus ditanya, Baha, kekiaianmu reputasinya sudah kayak apa? Yang sudah kamu pinterkan berapa? Yang sekarang jadi Ahlussunnah berapa? Itu pasti saya gagap. Sama seperti gubernur ditanya menteri dalam negeri atau ditanya atasannya lagi tentang prestasi, pasti gagap,” kata kiai kelahiran 29 September 1970 itu, memberi analogi.
 
Sehingga kadang di Indonesia ini kalau antarpejabat bertemu, acaranya makan makan dan kadang bicara yang ringan-ringan. “Itu sebetulnya bukan hal yang salah karena dalam kecapekan seperti ini, hal-hal yang ringan itu adalah obat, adalah solusi,” imbuhnya.
 
Sehingga, Nabi Musa tidak ditanya, “kamu jadi nabi reputasimu apa?,” tetapi ditanya yang ringan-ringan.
 
Hal itu juga, lanjut Gus Baha, yang kadang-kadang Nabi Muhammad kalau ditanya, “ayyul Islāmi khairun, Rasụlallah? (Islam yang terbaik itu gimana, ya Rasulallah?)”
 
Jawabannya Nabi unik, kadang hanya jawab, “ith’amuth tha’ām wa ifsāus salāmala manarafa waman ta’rif.” Ya Islam yang baik itu ya pokoknya memberi makan. Kalau ketemu teman mentraktir makan.
 
Lalu, masih menurut Gus Baha, di balik keriangan, ketenangan, atau hal-hal yang sederhana ini, terjadi fiqih yang luar biasa: ketika ahli fiqih berkata senyum itu sunnah karena tidak wajib, tidak fardu ‘ain, tetapi konsekuensi hukumnya bisa menjadi wajib.
 
Ia mencontohkan, seseorang yang punya istri salehah tentu butuh bahagia. Yang istri kita, misalnya, judes, yang bukan istri kita malah ramah dan murah senyum. Maka ini ada persaingan antara halal dan haram. Dan yang haram ini bisa menang hanya bermodal senyum. Yang halal karena bengis bisa kalah.
 
“Sehingga dalam konteks tertentu maka yang dikatakan nabi senyum itu sunnah, itu tidak dimaknai ulama sunnah dalam arti tidak wajib. Tapi sunnah dengan arti perilakunya orang-orang saleh untuk kompetisi itu pasti senyum. Karena tak terbayang kalau yang saleh, yang baik itu bawaannya menjadikan orang lain lari. Sementara yang batil menjadikan orang lain tertarik. Ini jangan sampai terjadi,” tegas sang pakar tafsir Al-Qur’an.
 
Gus Baha mengingatkan, tidak usah membayangkan, misalnya, komunitas bandar narkoba saat bertemu anak buahnya makan-makan dengan rileks. Sementara yang saleh-saleh pelit. Sehingga orang kapok berteman orang saleh karena pelit lalu mencari teman orang batil karena dermawan.
 
“Begitu juga di perdagangan. Kita ingin produk halal ini menjadi inspirasi kita, menjadi mental kita. Sehingga berkahnya produk halal ini kita tidak butuh lagi produk yang haram. Wa aghnīna bihalālikaan harāmik. Semoga dengan halal-Mu, ya Allah, kita tidak butuh lagi (yang) haram,” pungkasnya.
 
Kontributor: Ahmad Naufa Khoirul Faizun
Editor: Syamsul Arifin