Nasional

Gus, Saya Minta Maaf

Sabtu, 21 Desember 2013 | 12:00 WIB

Sesekali saya mencoba untuk memungut serpihan-serpihan tentang masa lalu yang sudah lama terlewati. Dalam proses pemungutan itu, saya berusaha untuk memilih dan memperkirakan serpihan mana yang layak untuk diceritakan di sini.
<>
Sekian banyak serpihan yang saya seleksi, ada satu yang membuat saya tertarik untuk kembali mengamatinya. Saya amati serpihan itu, saya genggam erat, saya renungi, entah kenapa timbul penyesalan dalam hati sanubari saya. Serpihan itu, mengingat akan sekolah tempat saya belajar dulu, al-Ma’arif namanya.

Pesantren al-Ma’arif satu-satunya pesantren NU di tanah kelahirannya saya, Bukittinggi. Di sinilah saya diajari untuk mencium tangan orang tua, ustadz, bahkan senior. Beberapa kali teman saya pernah dimarahi lantaran tidak mencium tangan orang tuanya ketika datang ke pesantren. Pimpinan pesantren saya, termasuk pengurus NU wilayah Bukittinggi. Tak heran jika pesantren ini sarat dengan atribut-atribut NU. Bayangkan, mulai dari warna karpet asrama, musola, jendela, dinding sekolah, mobil, dan atap garasinya, semuanya berwarna hijau. Bahkan, kami pernah ditegur gara-gara membeli  selendang berwarna biru untuk tim shalawat.  Karena biru bukan NU.

Pimpinan pesantren saya itu memang NU tulen. Ia pencinta Gus Dur. Tiap ceramah dan menasehati kami, acapkali ia menyebut nama Gus Dur. Saya masih ingat, beliau mengatakan, “Gus Dur itu hebat, meskipun “buta” tapi bisa hafal  semua nomor telepon.”

Waktu Gus Dur jadi Presiden, bukan main senang hatinya. Laik anak kecil ketemu mainan. Saking cintanya terhadap Gus Dur, ia menangis ketika menyaksikan Gus Dur melambaikan tangan dengan memakai celana pendek ketika keluar istana. Saya membatin, “Kayak cewek aja, masak gitu aja nangis.” Astagfirullah, saya sangat menyesal.

Sekalipun ustadz saya pencinta Gus Dur, tiap kali dia berbicara tentang Gus Dur sering kali saya remehkan dalam hati. Saya tidak terlalu suka dengan Gus Dur kala itu. Apalagi saya tidak pernah baca bukunya. Sekitar tahun 2005 saya meninggalkan pesantren NU itu. Cerita-cerita manis tentang Gus Dur tak pernah lagi saya dengar. Di Sekolah yang baru kondisinya sangat berbeda. Hampir tidak pernah saya mendengar kata Gus Dur keluar dari mulut guru-guru di sana. Akhirnya, ketidaksukaan saya semakin kuat.

Di kampung seringkali berkembang cerita miring tentang Gus Dur, misalnya: PKB, Presiden Kita Buta. Ada juga yang bilang, Gus Dur baru saja jadi presiden sudah buang-buang uang untuk jalan-jalan ke luar negeri. Kampung saya sempat heboh ketika Gus Dur membela mati-matian Inul Darastita. Padahal, menurut kacamata lahir, goyangan Inul harus dihentikan karena meresahkan sebagian umat Islam.

Bagi Gus Dur, gitu aja kok repot! Teman saya  yang fans Rhoma Irama bilang, “Ya wajarlah Gus Dur buta, jadi dia ngak liat goyangan Inul seperti apa, alias nngak nafsu.”  Dan masih banyak lagi cerita seperti itu, semakin saya ungkapkan, semakin merintih.   

Begitulah kondisi lingkungan saya dibesarkan.  Akal saya dikontruksi oleh cerita-cerita miring semacam itu. Pandangan dan sikap saya terhadap Gus Dur, hampir sama dengan mereka, tidak jauh beda.

Pada tahun 2009 saya merantau ke Jakarta. Merantau adalah bagian dari tradisi kami. Dulu anak Minang yang tak merantau dikatakan, “Udah besar masih saja nyusu sama orang tua.” Dari struktur rumah, anak laki-laki tidak memiliki kamar di rumah orang tuanya. Orang tua membuatkan kamar hanya berdasarkan jumlah anak perempuan mereka. Artinya, anak laki-laki harus keluar rumah (merantau) ketika dewasa.

Di Jakarta, pandangan saya tentang Gus Dur masih sama seperti yang dulu. Beberapa bulan di Jakarta, sesekali saya melihat papan pengumuman berisi acara-acara yang mengundang Gus Dur sebagai narasumber. “Ah, nggak penting,” bisik saya dalam hati. Alangkah angkuhnya saya dahulu. Tak lama kemudian, teman saya mengucapkan berita duka atas wafatnya guru bangsa Abdurrahman Wahid di status FB-nya. Saking dungunya, saya tidak merasakan kehilangan apapun ketika membaca kalimat itu.

Malam itu, saya menyaksikan orang-orang di sekeliling banyak yang sedih. Ada juga yang bergegas ke rumah Gus Dur untuk sekadar menengok paras terakhir sang Guru Bangsa. Teman-teman di tempat saya biasa diskusi semuanya meluapkan memori mereka ihwal Gus Dur, rata-rata memuji. Saya tengok televisi, semua siaran membicarakan Gus Dur. Bukan hanya orang Islam yang menangis, tapi juga orang Budha, Kristen, Hindu, dan Tionghua.

Sambil merebahkan badan di lantai musola, saya merenung: apa hebatnya Gus Dur? Kenapa banyak orang yang menangisi kepergiannya? Kalau ada orang Islam meninggal, lantas ditangisi umat Islam sendiri, saya sudah sering melihat. Tapi, ada orang Islam ditangisi jutaan umat lintas agama, saya baru kali ini menyaksikan.

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui saya, tiap hari makin penasaran. Rasa keingintahuan itu terus saya simpan. Hingga saya menemukan forum diskusi Tadarus Kolom Gus Dur yang diadakan  Wahid Isntitute sekitar dua atau tiga bulan pasca wafat Gus Dur. Di sana saya diajak untuk membaca tulisan-tulisan Gus Dur. Saya juga dipaksa menulis. Awalnya saya sulit untuk memahami isi artikel-artikel Gus Dur. Namun,  berkat diskusi dengan beberapa orang teman, saya udah agak mulai bisa memahaminya.

Gus, saat ini saya sudah mulai berubah. Saya tidak seperti dulu lagi. Meskipun engkau telah tiada, saya yakin engkau tengah mendengar suara penyelasan ini. Gus, saya minta maaf. Semoga engkau di sana menerima permintaan maafku. Kata maaf itu bukan hanya sekadar basa-basi, Gus. Saya akan buktikan lewat tindakan. Kalau ada lagi cerita-cerita miring tentangmu di kampung, saya akan berusaha meluruskannya sesuai kadar pengetahuan dan kemampuan saya. Jika mereka masih seperti itu, belum berubah, saya hanya bisa mengatakan: semoga kalian mendapat petunjuk. (Hengki Ferdiansyah)
 
Darus-Sunnah, 20 Desember 2013

Hengki Ferdiansyah adalah Redaktur Majalah Surah, santri Darus-Sunnah  


Terkait