Nasional

Gusdurian Kecam DPR soal Revisi UU Pilkada: Pembangkangan Konstitusi

Kamis, 22 Agustus 2024 | 09:00 WIB

Gusdurian Kecam DPR soal Revisi UU Pilkada: Pembangkangan Konstitusi

Direktur Jaringan Gusdurian, Hj Alissa Wahid. (Foto: NU Online/Suwitno)

Jakarta, NU Online

Jaringan Gusdurian mengecam tindakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang baru-baru ini mengesahkan revisi Undang-Undang (UU) Pilkada melalui rapat mendadak. Mereka menilai keputusan ini merupakan bentuk pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).


Keputusan ini diambil setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan dari Partai Gelora dan Partai Buruh terhadap UU Pilkada. MK sebelumnya memutuskan bahwa partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon kepala daerah meski tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).


Selain itu, MK juga menetapkan bahwa calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) harus berusia 30 tahun pada saat penetapan calon.


Direktur Jaringan Gusdurian Alissa Wahid, menilai bahwa syarat pencalonan yang baru berpotensi menyebabkan masalah serius dalam Pilkada 2024. Hal ini dapat menyebabkan banyaknya kotak kosong di lebih dari 150 daerah, persekongkolan politik, dan berbagai isu lainnya.


"Pilkada yang semestinya digunakan untuk memilih pemimpin rakyat hanya menjadi arena permainan elite politik yang mengabaikan kepentingan rakyat," kata Alissa dalam keterangan tertulis diterima NU Online, Kamis (22/8/2024).


Selain itu, Alissa Wahid juga menilai bahwa revisi UU Pilkada ini berpotensi merupakan upaya untuk meloloskan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang juga anak bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pengarep yang saat ini masih berusia 29 tahun. 


"Jika keputusan MK yang dijalankan, maka Kaesang tidak bisa mendaftar karena pada saat pendaftaran usianya masih 29 tahun. Sementara revisi UU Pilkada yang merujuk keputusan MA memungkinkan Kaesang mendaftar karena jika terpilih pada Pilkada mendatang, ia akan ditetapkan pada usia 30 tahun," ujarnya.


Dalam revisi UU Pilkada, DPR membuat syarat pencalonan kepala daerah bagi partai politik yang memiliki kursi di tingkat DPRD minimal harus memiliki perolehan 20% kursi atau 25% suara di Pileg. Sementara terkait usia calon, DPR menetapkan usia 30 tahun adalah pada saat pelantikan.


Alissa menyatakan bahwa tindakan DPR ini merupakan bentuk korupsi terhadap tatanan konstitusi dan berpotensi menciptakan krisis hukum di masa depan.


Dalam sistem konstitusi negara Indonesia, keputusan MK adalah final dan mengikat sesuai bunyi pasal 24C UUD 1945 yang menyatakan bahwa kewenangan MK di antaranya adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. 


"Semua elemen wajib taat menjalankan apa yang diputuskan oleh MK tanpa bisa menempuh upaya lain. Tidak menaati putusan MK adalah bentuk pembangkangan dan pengkhianatan pada konstitusi.


Sebelumnya,  Badan Legislatif (Baleg) DPR telah melakukan manuver dengan mengabaikan putusan MK. Sebagai gantinya, DPR merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang berbeda secara substansial dari keputusan MK. Dua poin penting yang diabaikan oleh DPR dari putusan MK adalah terkait pengajuan calon kepala daerah dan batas usia calon.


Jaringan Gusdurian menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Mengecam upaya Dewan Perwakilan Rakyat yang melakukan pembangkangan konstitusi dan membahayakan kedaulatan hukum.
  2. Meminta pemerintah untuk menghentikan pembahasan RUU Pilkada.
  3. Menyerukan para elite politik, para ketua umum partai dan para pimpinannya, untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan kelompoknya.
  4. Menyerukan kepada seluruh tokoh agama, jejaring masyarakat sipil, elemen mahasiswa, akademisi, buruh, dan kelompok masyarakat lainnya, untuk melakukan konsolidasi nasional terkait upaya penyelamatan demokrasi dan konstitusi.
  5. Meminta kepada seluruh penggerak dan komunitas Gusdurian yang ada di lebih dari 100 kota untuk melakukan konsolidasi dan menggalang dukungan masyarakat luas sebagai upaya menjaga tegaknya konstitusi.
 

"Tuhan yang Maha Adil bersama kita," tandas Alissa.