Di era 80 dan 90-an, Muammad ZA dikenal sebagai “jawaranya” qari nasional dan internasional. Lelaki kelahiran dusun Pamulihan, Warungpring, Kecamatan Moga, Pemalang, Jawa Tengah, ini pelopor seni mengaji dengan berduet dan membaca saritilawah.
<>Di era-era itu suara merdunya lazim menghias banyak masjid-masjid di Indonesia sebelum Magrib, menjelang Subuh, atau menjelang shalat Jum’at, lewat kaset yang diputar via taperecorder. Kaset-kaset yang meledak juga diputar dalam acara-acara keagamaan seperti Maulid Nabi.
Lelaki kelahiran 14 Juni 1954 itu kebanjiran undangan untuk mengaji di acara-acara pengajian di kota-kota hingga ke kampung-kampung pelosok di Tanah Air. Itu dilakukannya bertahun-tahun, hingga kini. Di luar negeri, Pengasuh Pesantren Ummul Qura, Cipondoh itu pernah diundang Raja Hasanah Bolkiah, istana Yang Dipertuan Agong Malaysia, sampai istana raja-raja di Jazirah Arab untuk mengaji.
Akronim ZA di belakang namanya, kepanjangan dari H. Zainal Asykin, ayahnya, ulama terpandang di kampungnya. H. Zainal juga seorang qari. Setiap akhir malam, sebagai pengurus majid, ia biasa melantunkan tarhiman, selawat dan puji-pujian untuk membangunkan orang-orang guna mendirikan salat Subuh. Ibu Muammar ZA bernama Hj. Mu’minatul Afifah.
Sejak kecil bersama teman-temannya, Muammar belajar seni baca Al-Quran dari teman lain yang lebih besar di kampungnya. Ia juga belajar langsung kepada kakak laki-lakinya Masykuri Z.A yang kala itu masih mondok. Jadi, aktivitas itu dilakukan saat Masykuri ZA libur.
Usai SD, Muammar mondok di Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah. Kaliwungu dikenal sebagai kota santri. Di sana puluhan pesantren berdiri. Setelah mondok, Muammar belajar di PGA di Yogyakarta. Sempat pula ia belajar di IAIN Sunan Kalijaga. Selama kuliah ia masih menggeluti dunia qari. Mengikuti MTQ tingkat Provinsi DIY tahun 1967, ia berhasil menyabet juara pertama tingkat remaja. Setelah itu langganan tetap menjadi kontingen DIY di MTQ Nasional.
Dari Yogyakarta, Muammar ZA pindah ke Jakarta melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Ciputat. Pada 1981, kembali mengikuti MTQ yang digelar Banda Aceh mewakili DKI Jakarta. Ini perhelatan pertama di mana ia menggondol juara pertama tingkat nasional. Dihadiahkan sebuah televisi, pemerintah Provinsi DKI juga memberi tambahan bonus hadiah pergi haji.
Hingga kini, suaranya masih sering didengar di acara-acara pengajian dan masjid-masjid. Muammar ZA adalah ikon seni mengaji di Indonesia. Dua adiknya, Imron Rosyadi Z.A. dan Istianah mengikuti jejaknya. Imron Rosyadi, juga qari nasional. Begitupun Istianah yang kini menjadi salah satu anggota DPRD Tingkat I Yogyakarta.