Kesetaraan Hak Penyandang Disabilitas Belum Terpenuhi Maksimal
Jumat, 6 Desember 2024 | 08:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pada 3 Desember lalu, dunia memperingati Hari Penyandang Disabilitas Internasional. Hari itu menjadi momen penting untuk menyoroti hak-hak dan peran penyandang disabilitas dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Karenanya, Persatuan Bangsa-Bangsa dalam memperingatinya mengangkat tema “Memperkuat Kepemimpinan Penyandang Disabilitas untuk Masa Depan yang Inklusif dan Berkelanjutan.”
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Bahrul Fuad menyebutkan bahwa aksesibilitas di Indonesia belum sepenuhnya mencakup seluruh elemen kehidupan penyandang disabilitas. Hal ini terlihat pada beberapa aspek, seperti infrastruktur bangunan publik dan transportasi.
"Hanya di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta, aksesibilitas pada infrastruktur dan transportasi bagus. Misalnya bangunan dan transportasi modern, seperti MRT dan LRT, memang ada kecenderungan untuk lebih ramah disabilitas karena mereka sudah memiliki gaidens dan deadline untuk membangun infrastruktur yang inklusif," ujar Cak Fu, sapaan akrab Bahrul Fuad kepada NU Online, Selasa (3/12/2024).
Persoalan pendidikan bagi penyandang disabilitas masih sangat terbatas. Meskipun ada kemajuan dibandingkan sepuluh tahun lalu, sistem pendidikan inklusi di Indonesia belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas. Fokus pemerintah selama ini seringkali hanya pada aspek infrastruktur sekolah, sedangkan aspek non-fisik seperti kurikulum, metode pengajaran, dan penerimaan lingkungan terhadap teman-teman difabel belum maksimal, apalagi kebutuhan guru pendamping atau shadow teacher.
"Di dalam pendidikan inklusi itu sebetulnya hal yang mutlak harus ada tapi rekrutmen terhadap guru pendamping itu belum maksimal. Bahkan sampai sekarang shadow teacher itu belum masuk dalam sistem rekrutmen pegawai negeri sipil yang dibuat oleh pemerintah," kata Konsultan Nasional Disability and Inklusi Sosial Program Peduli.
Dalam hal ketenagakerjaan, Cak Fu mengungkapkan meskipun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 telah mengatur kuota penambahan tenaga kerja penyandang disabilitas—1 persen untuk sektor swasta dan 2 persen untuk sektor pemerintah—implementasinya belum optimal. Salah satu kendala utama adalah tingkat pendidikan penyandang disabilitas yang masih rendah. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan bahwa sekitar 60 persen penyandang disabilitas hanya lulusan SD atau SMP, belum sampai perguruan tinggi sehingga sulit untuk memenuhi syarat pendidikan minimal S1 yang diperlukan untuk rekrutmen CPNS.
Kendala selanjutnya masih banyak tempat kerja, baik lembaga pemerintah maupun perusahaan, yang belum menyediakan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas seperti toilet ramah disabilitas, guiding block di ruangan kantor, atau lift. Penyandang disabilitas juga kurang mendapatkan penerimaan sosial di lingkungan kerja.
Menurutnya, masih banyak rekan kerja yang belum memiliki pemahaman yang baik tentang disabilitas, yang menyebabkan stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas di tempat kerja. "Ini harus didorong meningkatkan sensifiitas kesadaran masyarakat terkait disabilitas di ranah ruang kerja,"ungkapnya.
Akses ekonomi bagi penyandang disabilitas juga masih terbatas. Banyak di antara mereka yang belum bisa mengakses pelatihan keterampilan yang disediakan pemerintah atau pihak lainnya. Keterampilan yang diajarkan masih terbatas pada keterampilan sederhana seperti membuat kue atau menjahit, sedangkan keterampilan dengan dampak ekonomi yang lebih tinggi masih belum mencakup kebutuhan mereka. Misalnya, Balai Latihan Kerja yang dimiliki oleh Kementerian Tenaga Kerja, baik dari segi infrastruktur maupun kurikulum, belum sepenuhnya dapat diakses oleh penyandang disabilitas.
"Padahal itu sangat berguna untuk meningkatkan akses ekonomi bagi penyandang disabilitas," katanya.
Dalam hal politik, sistem multipartai yang berbiaya tinggi membuat peluang penyandang disabilitas untuk duduk sebagai legislatif sangat kecil. Sistem yang tidak representatif ini lebih menguntungkan mereka yang memiliki dana besar untuk maju sebagai calon legislatif, sehingga sangat tertutup bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam proses legislatif.
Masalah lainnya muncul pada hak untuk memilih. Dalam Pilkada Serentak 2024, terdapat laporan bahwa beberapa tempat pemungutan suara (TPS) tidak menyediakan template braille untuk tuna netra dan tidak menyediakan kursi roda, yang menjadi masalah besar bagi aksesibilitas pemilih difabel.
"Ini tentu sangat tertutup bagi kami penyandang disabilitas untuk duduk di legislasi," jelasnya.
Upaya advokasi terus dilakukan oleh aktivis gerakan disabilitas, baik yang berada di dalam maupun luar pemerintahan. Mereka mendorong agar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 beserta aturan turunannya, termasuk peraturan menteri, dapat diimplementasikan secara konsisten. Bappenas, misalnya, telah memiliki Rencana Induk Penyandang Disabilitas (RIPD), yang merupakan rencana strategis pemerintah untuk menerjemahkan UU tersebut.
"Ini semacam action plan (rencana aksi) yang dimiliki pemerintah untuk menerjemahkan UU Nomor 8 Tahun 2016 beserta turunannya ke dalam program yang sifatnya teknis dan ini dikerjakan oleh lintas sektor misal pembangunan infrastruktur dengan Kementerian PUPR, akses komunikasi dengan Kominfo," ujarnya.
Advokat disabilitas Antoni Tsaputra dkk (2024), dalam risetnya berjudul Indonesia’s Disability Policy Reform under the Jokowi Government: Progressive Legal Framework versus Half-hearted Inclusion, mengungkapkan bahwa kebijakan dan aturan yang ada saat ini belum memberi pengaruh signifikan dalam menyejahterakan penyandang disabilitas. Mereka bahkan masih menghadapi hambatan dalam mendapatkan hak dasar, seperti hak untuk hidup mandiri dan kebebasan dalam menentukan pilihan hidup.
"Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara regulasi dan implementasi di lapangan, yang diakibatkan antara lain oleh kurangnya pemahaman bahwa penyandang disabilitas memiliki hak asasi yang sama dengan masyarakat yang tidak memiliki disabilitas," tulisnya.
Antoni mengatakan meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) dan menerapkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang menjadi dasar bagi pembangunan inklusif, pelaksanaannya masih sangat terbatas. Indonesia menghadapi kesenjangan besar antara regulasi yang ada dan implementasi di lapangan, yang disebabkan oleh kurangnya pemahaman bahwa penyandang disabilitas memiliki hak asasi yang setara dengan warga negara lainnya.
Di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, ada kemajuan legislatif yang penting, tetapi pelaksanaan program dan kebijakan tersebut menghadirkan tantangan tersendiri. Kurangnya koordinasi antara lembaga pemerintah, kementerian, dan pemangku kepentingan, serta terbatasnya anggaran dan kesadaran publik, memperlambat upaya untuk mewujudkan inklusi yang sejati.
Pemerintah Jokowi telah menerapkan program pendidikan inklusif yang memungkinkan siswa dengan dan tanpa disabilitas untuk belajar bersama. Namun, sistem untuk mengevaluasi dan memantau sekolah ramah disabilitas harus ditetapkan, karena saat ini belum ada data komprehensif untuk menilai penyediaan akomodasi yang wajar bagi siswa penyandang disabilitas.
"Kebijakan pemerintah untuk membuka lebih banyak sekolah inklusif harus disertai dengan peningkatan kapasitas bagi guru dan staf sekolah untuk meningkatkan sumber daya manusia yang diperlukan. Siswa penyandang disabilitas harus memiliki akses mudah ke akomodasi yang wajar," ujarnya.
Idealnya, semua sekolah harus didorong dan didukung untuk menjadi inklusif. Lebih jauh, meskipun pendidikan inklusif menjadi kebijakan nasional, implementasinya juga harus didanai oleh pemerintah daerah. Selain itu, lebih banyak unit layanan disabilitas harus didirikan di lembaga pendidikan, termasuk sekolah dan universitas, untuk mempromosikan lingkungan belajar yang inklusif.
Kendala berikutnya yakni ketenagakerjaan. Hanya 20,7 persen penyandang disabilitas yang bekerja secara formal, sedangkan sisanya menganggur atau bekerja di sektor jasa dan industri kecil. Dibandingkan dengan tingkat partisipasi ketenagakerjaan nasional tahun 2021, tingkat partisipasi penyandang disabilitas 44 persen lebih rendah.
Berdasarkan mandat kuota, organisasi publik dan daerah milik pemerintah harus mempekerjakan penyandang disabilitas minimal 2 persen dari total tenaga kerjanya, sedangkan bisnis swasta diharuskan mempekerjakan minimal 1 persen.
"Untuk memenuhi target kuota ini, diperlukan insentif pemerintah yang kuat untuk menyalurkan pasokan dan permintaan tenaga kerja (dan bahkan menciptakan permintaan), khususnya dari Kementerian Ketenagakerjaan. Namun, mengandalkan Kementerian Ketenagakerjaan saja akan membatasi cakupan cakupan program, khususnya bagi penerima manfaat lokal," tulisnya.
Oleh karena itu, desentralisasi proses pencocokan pekerjaan sangat penting untuk mempercepat pencapaian target kuota, khususnya bagi lembaga pemerintah dan bisnis daerah. Selain percepatan kuota melalui penempatan kerja, pemerintah pusat dan daerah harus memastikan adanya proses antidiskriminasi dalam seluruh proses rekrutmen tenaga kerja, termasuk pelatihan kerja, penempatan kerja, keberlangsungan pekerjaan, dan pengembangan karier.
"Untuk mendukung fungsi ini, pemerintah daerah perlu membentuk unit layanan disabilitas yang melekat pada instansi ketenagakerjaan daerah sebagaimana diamanatkan dalam PP 60/2020 tentang Unit Layanan Disabilitas di Bidang Ketenagakerjaan untuk menangani kebutuhan sehari-hari penyandang disabilitas," jelasnya.
Selain masalah internal, Indonesia juga menghadapi tantangan dalam kerja sama internasional. Meskipun Indonesia aktif dalam banyak kerja sama subregional dan regional, seperti Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) dan Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA), isu disabilitas belum menjadi prioritas utama dalam perjanjian-perjanjian tersebut. Hal ini menghambat penyandang disabilitas untuk mendapatkan manfaat dari kolaborasi internasional.
Namun, ASEAN telah mengambil langkah penting dengan mengadopsi dokumen seperti Deklarasi Bali 2011 dan ASEAN Enabling Master 2015. Meskipun ini adalah dokumen yang tidak mengikat, perjanjian-perjanjian ini menawarkan harapan untuk memperkuat inklusi disabilitas di kawasan Asia Tenggara dan menciptakan kesempatan untuk berbagi praktik terbaik antar negara anggota.
Indonesia, yang berada di peringkat ke-103 dunia dalam indeks inklusivitas, masih tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya seperti Filipina dan Vietnam. Indeks inklusivitas ini mengukur sejauh mana suatu negara memperhatikan keberagaman, termasuk disabilitas, dalam kebijakan sosial dan ekonomi mereka.
Oleh karena itu, meningkatkan indeks inklusivitas Indonesia menjadi hal yang sangat penting untuk memberikan perlindungan yang lebih baik bagi penyandang disabilitas dan memastikan bahwa Indonesia memenuhi komitmen globalnya, seperti yang tercermin dalam slogan PBB "Jangan tinggalkan seorang pun."
Langkah-langkah menuju inklusi yang lebih baik
Dalam penelitian itu, Antony mengatakan untuk mencapai inklusi disabilitas yang sejati di Indonesia, diperlukan upaya yang lebih besar dari semua pihak. Pemerintah harus meningkatkan koordinasi antara kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Selain itu, kesadaran tentang hak-hak disabilitas harus diperkuat di sektor publik dan swasta. Mengingat pentingnya peran sektor swasta dalam inklusi disabilitas, pemerintah perlu memberikan insentif yang lebih besar bagi perusahaan yang mempekerjakan penyandang disabilitas.
Selain itu, organisasi penyandang disabilitas (OPD) dan masyarakat sipil harus lebih terlibat dalam proses perencanaan dan implementasi kebijakan, serta dalam proses pemantauan dan evaluasi.
"Hanya dengan pendekatan yang inklusif dan terkoordinasi secara menyeluruh, Indonesia dapat memastikan bahwa hak-hak penyandang disabilitas benar-benar dipenuhi, dan inklusi disabilitas yang sesungguhnya dapat terwujud di seluruh aspek kehidupan," jelasnya.
Hak penyandang disabilitas sesuai ajaran Islam
Dalam buku Fiqih Penyandang Disabilitas (2019) yang disusun oleh Lembaga Bahtsul Masail PBNU, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), serta Pusat Studi dan Pelayanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya Malang disebutkan, penyandang disabilitas memiliki hak yang setara dengan non-disabilitas dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, untuk memastikan hak-hak tersebut dapat dipenuhi secara maksimal, penyandang disabilitas memerlukan pelayanan yang lebih, termasuk dukungan dari segi infrastruktur yang aksesibel. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip syar’i yang menekankan pada kemaslahatan bersama, baik bagi disabilitas maupun non-disabilitas.
Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Asybah wa al-Nadhair, bahwa kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya didasarkan pada maslahat. "Kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan seorang wali terhadap anak yatim," demikian termaktub dalam buku tersebut mengutip Imam Syafii.
Oleh karena itu, pemerintah diwajibkan untuk menyediakan sarana publik yang aksesibel bagi penyandang disabilitas. Hal ini mencakup berbagai fasilitas publik seperti kantor pemerintahan, rumah sakit, jalan, dan jembatan yang harus dapat diakses dengan mudah oleh penyandang disabilitas.
Dalam konteks ini, Sayyid Abdurrahman Ba'alawi dalam Bughyatu al-Mustarsyidin juga menegaskan kewajiban menaati peraturan pemerintah terkait hak-hak penyandang disabilitas. Pemerintah, sebagai pemimpin umat, harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil dapat membawa kemaslahatan bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik.
Lebih lanjut, pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus juga menjadi fokus penting. Pemerintah serta ormas-ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah diharapkan dapat meningkatkan kesadaran tentang hak-hak penyandang disabilitas. Edukasi ini penting untuk membangun sensitivitas sosial yang lebih baik terhadap kebutuhan mereka. Dalam ajaran Islam, disabilitas tidak dipandang sebagai suatu cela, dan kesetaraan hak antara disabilitas dan non-disabilitas ditegaskan dalam berbagai tafsir, termasuk dalam Zabratu al-Tafasir yang menjelaskan kesetaraan hak dan kewajiban bagi setiap individu, baik itu laki-laki, perempuan, disabilitas, maupun non-disabilitas.
Tanggung jawab negara terhadap penyandang disabilitas juga sangat jelas, terutama dalam menyediakan akses pendidikan, termasuk pendidikan agama. Jika negara gagal memenuhi tanggung jawab ini, maka masyarakat dan pihak terkait lainnya memiliki kewajiban untuk memberikan perhatian dan bantuan kepada penyandang disabilitas. Hal ini sejalan dengan prinsip maslahah dalam syariat Islam, yang mengutamakan kepentingan umum.
Selain itu, pemerintah juga diwajibkan untuk menyediakan tempat yang aksesibel bagi penyandang disabilitas. Untuk pihak swasta, mereka harus menyesuaikan dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Kewajiban ini dijelaskan dalam al-Marathib al-Saniyyah, yang menegaskan bahwa tindakan seorang pemimpin harus sesuai dengan syariat dan berorientasi pada kemaslahatan umat.
Dalam hal ini, umat Islam juga diajak untuk saling membantu dalam kebaikan. Imam al- Qurthubi menjelaskan dalam al-Jami li Ahkam al-Qur'an saat menafsirkan Q.S. Al Maidah: 2, mengutip Ibnu Khuwaiz Mindad, bahwa "Saling membantu dalam kebenaran dapat dilakukan dengan berbagai cara. Orang yang alim membantu dengan mengajarkan ilmunya kepada orang lain, orang kaya membantu dengan hartanya, dan orang yang pemberani dengan keberaniannya di jalan Allah.” Kesadaran ini, menurutnya, sangat penting agar hak-hak penyandang disabilitas dapat dipenuhi dengan baik, sehingga mereka dapat berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik tanpa hambatan.