Ketua Umum PB PMII M Abdullah Syukri saat berbicara dalam webinar. (Foto: Tangkapan layar YouTube TVNU)
Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) M Abdullah Syukri mengatakan, kader PMII harus memposisikan diri sebagai key opinion leader (pemimpin kunci opini publik), bukan sebagai pengikut suatu isu.
Hal tersebut dikatakannya dalam webinar nasional bertema ‘Cerdas Bermedsos, Menangkal Konten Radikalisme dan Hoaks’ yang diselenggarakan secara virtual oleh Pengurus Rayon Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Ma'arif (STAIMA) Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, Sabtu (10/7).
Menurut dia, hal itu jika yang memproduksi wacana dan isu di publik adalah kader PMII, maka yang akan dinaikkan adalah isu yang positif, bukan bersifat hoaks, terorisme, ataupun radikalisme.
“Kader PMII adalah kader yang sudah tuntas ideologi kebangsaannya, dan tidak akan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan UUD 1945,” kata Abe, sapaan akrabnya.
Menurut Abe, era Revolusi 4.0 menuntut seluruh lapisan masyarakat yang hidup di dalamnya harus produktif dan menghasilkan karya. Salah satunya melalui platform digital. Namun, di satu sisi ini menunjukkan satu peluang atau dimensi yang dapat memunculkan dampak negatif.
“Seringkali platform digital ini dimanfaatkan untuk menyebarkan hoaks, paham radikalisme, dan terorisme, yang mana hal itu tentu sangat bertentangan dengan cita-cita NKRI dan sangat mengganggu stabilitas kesatuan bangsa Indonesia,” tandasnya.
Magister Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Duisberg Essen, Jerman, itu menegaskan bahwa PB PMII saat ini memiliki peran yang sangat strategis. Karena saat ini PMII memiliki tidak kurang dari 250 pimpinan cabang di kabupaten/kota seluruh Indonesia.
“Selain itu, juga memiliki 1.000 komisariat yang tersebar di berbagai macam perguruan tinggi. Hal ini tentu dapat menjadi partner strategis bagi pemerintah maupun sektor swasta,” tegas Abe.
Bagi dia, hal ini sangat penting. Karena di daerah produksi hoaks, radikalisme, dan terorisme melalui dunia digital masih sangat masif. Hal ini disebabkan rendahnya literasi digital. Sederhananya, ketika mengkroscek grup WhatsApp yang mana biasanya anggota terdiri dari lintas generasi. Mereka terkadang membagikan berita hanya membaca judul saja.
“Sehingga bisa menjadi persepsi publik tanpa kemudian membacanya dengan lengkap. Dan kita tidak bisa mengidentifikasi dengan baik kebenaran berita tersebut, apakah ia mengandung hoaks, atau justru berisi tentang radikalisme dan terorisme,” tukasnya.
Jihad jempol
Bagi Abe, hal tersebut tentu memiliki situasi yang sulit. Di awal kemunculannya, media sosial dianggap sebagai sumber informasi. Namun, belakangan justru sebaliknya, medsos sebagai disinformasi. Oleh sebab itu, ia mengajak jutaan kader PMII untuk melakukan jihad jempol.
“Mari kita selalu posisikan diri sebagai pemadam kebakaran dalam memproduksi wacana,” ajak alumnus Pesantren Al-Anwar Sarang, Rembang, Jawa Tengah ini.
Menurut Abe, jika yang melalukan produksi wacana di medsos adalah kader PMII, maka akan sangat baik dan masif, serta mengedukasi. Sebab, kader PMII selalu menjunjung tinggi ajaran Islam Aswaja an-Nahdliyah, yaitu Islam wasathiyah, moderat, yang selalu diselaraskan dengan nilai demokrasi, kebudayaan, tanpa menghilangkan substansi dan melanggar syariat yang ada.
Selain itu pula, kader PMII merupakan kader intelektual. Selain berbasis di perguruan tinggi, tentu dengan berbagai macam latar belakang ilmu pengetahuan, hal ini bisa menjadi sumber transfer pengetahuan, ilmu, pengalaman, kepada seluruh pihak dan masyarakat di seluruh Indonesia.
Kontributor: Disisi Saidi Fatah
Editor: Musthofa Asrori