Mahfud MD Nilai Putusan PN Jakarta Pusat untuk Tunda Pemilu Salah
Jumat, 3 Maret 2023 | 11:00 WIB
Jakarta, NU Online
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Prima kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda Pemilihan Umum (Pemilu). Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukkam) Mahfud MD menilai putusan tersebut salah. Hal tersebut menurutnya dapat memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi sehingga ada yang mempolitisasi seakan-akan putusan itu benar.
“Saya mengajak KPU naik banding dan melawan habis-habisan scr hukum. Kalau scr logika hukum pastilah KPU menang. Mengapa? Karena PN tdk punya wewenang utk membuat vonis tsb,” katanya melalui akun Instagram resminya pada Kamis (2/3/2023).
Mahfud menjelaskan, bahwa sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil Pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa Pemilu bukan di Pengadilan Negeri. Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses administrasi yang memutus harus Bawaslu. Namun jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN.
“Nah Partai Prima sdh kalah sengketa di Bawaslu dan sdh kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara,” tulisnya.
Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil Pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakem dalam proses hukum Pemilu. Karenanya, tidak ada kompetensinya Pengadilan Umum untuk memutuskan demikian. Perbuatan Melawan Hukum secara perdata tak bisa dijadikan objek terhadap KPU dalam pelaksanaan Pemilu.
Kedua, lanjut Mahfud, hukuman penundaan Pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Tidak ada hukuman penundaan Pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN. Menurut UU penundaan pemungutan suara dalam Pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia.
Mahfud mencontohkan misalnya di daerah yang sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. “Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu,” katanya.
Ketiga, vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Hal tersebut harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekusi. Sebab, hak melakukan Pemilu itu bukan hak perdata KPU.
Berikutnya, penundaan Pemilu hanya karena gugatan perdata parpol bukan hanya bertentangan dengan UU, tetapi juga bertentangan dengan konstitusi yang telah menetapkan Pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.
“Kita harus melawan scr hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul,” kata guru besar ilmu hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Syamsul Arifin