Katib PBNU, KH Reza Ahmad Zahid mengatakan agar dapat dikatakan intelektual, seorang santri harus memiliki pemikiran yang kritis. (Foto: Tangkapan layar Youtube Annuqayah TV)
Sumenep, NU Online
Katib Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Reza Ahmad Zahid (Gus Reza) mengatakan, santri adalah makhluk Allah, sosok intelektual yang serba bisa, siap di segala situasi dan keadaan.
Agar dapat dikatakan intelektual, seorang santri harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya adalah memiliki pemikiran yang kritis
Ditegaskan oleh Gus Reza, santri memiliki pemikiran yang kritis dan serba bisa. Kecerdasan itu didapatkan karena di pesantren diajari membagi waktu. Hal ini dapat disaksikan oleh masyarakat bahwa pesantren program yang cukup padat yang harus dijalani oleh santri. Menurutnya, orang yang bisa membagi waktu adalah orang yang sadar dan cerdas.
"Di pesantren, santri diuji dengan berbagai macam ujian. Misalnya, ujian semester, hafalan, survive selama 20 hari saat kiriman telat, dan sebagainya. Ketika dihadapkan dengan ujian, santri akan berkreasi agar membuahkan hasil yang bermanfaat. Buktinya di Annuqayah santri bisa menjadikan sampah plastik menjadi barang yang layak dijual dan bermanfaat," ujarnya saat mengisi pengajian keagamaan di Haflatul Imtihan Madrasah Annuqayah (HIMA) Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur, yang ditayangkan Annuqayah TV diakses NU Online, Ahad (16/7/2023).
Penampilan atau kesederhanaan bukan menjadi barometer, tapi ilmu yang bermanfaat, karena mencari ilmu lebih sulit dibandingkan dengan mencari harta. Dengan ilmu, kata Gus Reza, dunia dan seisinya akan berada di genggaman santri. "Keyword-nya (kata kuncinya) adalah ilmu yang menjadi media untuk mendapatkan segala keutamaan, baik di dunia maupun di akhirat nanti," ungkapnya.
Kesulitan sebagai tirakat
Ia mengimbau kepada santri agar tidak putus asa dalam mencari ilmu, sebab kesulitan adalah bentuk tirakat. Siapa yang kuat akan menuai kesuksesan di masa depan. Sebagaimana Imam Syafi’i mengatakan, bila ada santri tidak pernah merasakan kesulitan dalam belajar, maka akan berada dalam kehinaan dan kebodohan di sepanjang hidupnya.
"Sebelum Imam Syafi’i cerdas dan hafal Al-Quran di usia dini (baligh), kebiasaannya saat membuka buku adalah menutupi halaman 8 dengan tangannya agar fokus menghafal isi kitab di halaman 9. Beliau juga pernah mengalami kesulitan dalam menghafal. Pesan gurunya Imam Al-Waqi’, tinggalkan kemaksiatan. Karena ilmu adalah cahayanya Allah dan tidak akan diberikan kepada orang melakukan maksiat," ujarnya menyitir kitab Ta’limul Muta’allim.
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mahrusiyah Lirboyo, Kediri, Jawa Timur ini mengutarakan, santri yang kecapekan dalam memahami ilmu akan mendapatkan pahala. Ia menceritakan, Nabi Musa As sebelum mendapat kitab Taurat, tirakatnya puasa 40 hari. Nabi Adam As sebelum bertemu dengan Siti Hawa di bumi kulitnya kusam. Untuk mengembalikan kulitnya seperti sediakala, Allah memberikan amalan, yaitu puasa 3 hari di dalam 1 bulan tepatnya pada tanggal 13-15.
"Syariat mengatakan puasa Nabi Adam adalah sunnah dan dikenal puasa ayyamul bidh. Nabi Adam mau bertemu Siti Hawa masih tirakat, kalian mau ketemu jodoh engak mau tirakat, engak bahaya ta?" ucapnya disambut tawa riuh para santri.