Nasional

Obsesi Mahasiswa Pascasarjana Unej, Indonesia Swasembada Pangan

Kamis, 31 Oktober 2019 | 14:30 WIB

Obsesi Mahasiswa Pascasarjana Unej, Indonesia Swasembada Pangan

Eko (kedua dari kiri) bersama sejumlah petani di lahan yang digarap. (Foto: NU Online/Aryudi AR)

Jember, NU Online 
Pemerintah begitu menggebu-gebu dalam menyosialisasikan penggunaan pupuk organik. Pasalnya kebiasaan menabur pupuk kimia di sawah sudah berlangsung begitu lama, sangat lama. Sehingga menggerus cukup banyak unsur kesuburan tanah, dan itu perlu diubah jika tanah masih diharapkan bisa memproduksi buah tanaman secara melimpah dan sehat. Jalan keluarnya adalah hentikan penggunaan pupuk kimia, beralihlah ke pupuk organik.
 
Namun keinginan pemerintah untuk mengubah kebiasaan itu, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Walaupun  pemerintah memaksa petani menggunaan pupuk organik dengan cara penjualannya dipaketkan dengan pupuk kimia, namun tetap saja petani tidak begitu merespons. Apalagi kenyataannya, banyak kios yang hanya menjual pupuk kimia, tanpa menyertakan paketannya (pupuk organik), tapi harganya lebih mahal. 
 
“Itu pernah kami temukan di sejumlah kios pupuk,” ujar Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Desa Kaliwining, Kecamatan Rambipuji, Kabupaten Jember Jawa Timur, Eko Sunu Teguh Prsasetyo. Hal itu disampaikan kepada NU Online di kediamannya, perumahan Bumi Teglbesar, Jember, Kamis (31/10).
 
Sebagai penyuluh, Eko, sapaan akrabnya, tidak pernah menyerah menyosialisasikan penggunaan pupuk organik pada petani. Sebab, ia yakin manfaat pupuk yang dibuat dari kotoran ternak itu, cukup besar baik untuk sawah maupun lingkungan. Apalagi kandungan organik tanah di Jember sudah tersisa lima persen. Sehingga penggunaan pupuk organik cukup mendesak.
 
“Jadi, kandungan organik di sawah (Jember) itu, tinggal lima persen, itu sudah lama. Mungkin kalau sekarang sudah di bawah itu,” tuturnya.
 
Menurut Eko, selain terkait dengan kebiasaan petani, juga ada masalah teknis  yang menghantui penggunaan pupuk organik. Yaitu kekuatan pupuk organik tidak ‘sedahsyat’ pupuk kimia.
 
Maksudnya, untuk menghijaukan tanaman dibutuhkan pupuk organik tiga kali lipat atau mungkin lebih dibanding pupuk kimia. Dalam satu hektar, idealnya dibutuhkan pupuk organik dua ton. Sehingga butuh tenaga tambahan untuk mengangkut dan menaburnya di tengah sawah.
 
“Jalan keluarnya kami anjurkan pupuk organik tidak diangkut sekaligus, tapi bisa dibawa sambil lalu setiap kali petani ke sawah, sedikit demi sedikit,” jelasnya. 
 
Persoalan lain yang menjadi kendala peningkatan produksi pertanian adalah jarangnya anak muda yang mau bertani, kecuali terpaksa. Mereka lebih suka memilih pekerjaan lain yang  lebih ‘bersih’. Sebab, profesi bertani dinilai masih belum menjanjikan. Sementara para orang tua, tenaganya sudah mulai kendur.
 
“Kalau anak muda sekarang malas bertani, ini persoalan serius ke depannya,” ungkap Eko.
 
Walaupun demikian, pria kelahiran Jember 21 April 1983 ini, tetap optimis bisa meningkatkan produksi pertanian di desa Kaliwining yang mempunyai luas lahan pertanian sekitar 800 hektar itu. Dan lambat-laun peningkatan produksi sejatinya telah terjadi.  Namun yang paling membahagiakan dirinya adalah saat hasil pertanian (padi) melimpah diiringi dengan harga yang bagus.
 
“Sebab, kadang terjadi hasil melimpah tapi harga jual padi menurun,” jelasnya.
 
Eko hanya satu dari sekian penyuluh yang  nyaris tak kenal lelah untuk memberi pencerahan dan pengertian tentang bertani yang benar. Sebab, jika bertani dilakukan secara benar dengan pemupukan yang benar, dan irigasi yang memadai, hampir dipastikan produksi pertanian akan meningkat.
 
Mahasiswa pascasarjana Universitas Jember (Unej) itu mempunyai obsesi yang kuat untuk menjadikan Indonesia swasembada pangan. Namun ia sadar bahwa swasembada pangan tidak cukup hanya dengan obsesi, tapi butuh tindakan nyata. Dan tindakan nyata itu telah ia mulai dari Jember, kampung halamannya.
 
 
Pewarta: Aryudi AR 
Editor: Ibnu Nawawi