Kementerian Agama mengirimkan tenaga pengajar ke sekolah-sekolah di daerah 3T (Foto: NU Online/Siti Nur Syamsiyah)
Pentingnya pendidikan selanjutnya juga dapat dilihat pada prestasi kejayaan Muslim abad keempat di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Hasan 'Abd al 'Al dalam kutipan Suwendi menuturkan bahwa pada masa Dinasti Abbasiyah berdiri tujuh lembaga pendidikan yang masing-masing memiliki karakteristik dan spesifikasi kajian tersendiri. Ketujuh lembaga tersebut adalah: a) kuttab, b) masjid, c) toko kitab, d) rumah, e) sanggar seni dan sastra, f) perpustakaan, dan g) madrasah. (Suwendi, 2004: 21).
Philip K Hitti dalam History of the Arabs menjelaskan bahwa pada masa Bani Abbasiyyah situasi akademik pengalami peningkatan yang sangat menjulang. Dalam bidang keagamaan, kitab Al-Qur'an pernah menjadi kurikulum utama dalam mempelajari kisah-kisah Nabi (terutama hadits-hadits Nabi Muhammad saw.), aritmatika, tata bahasa, politik hingga puisi dan sastra. (Philip K Hitti, 2005: 512).
Kongsi-kongsi pendidikan itu diselenggarakan di rumah Ibnu Sina, al-Abu Sulaiman al-Sijistani (w 390 H), al-Ghazali, 'Ali ibn Muhammad al-Fasihi, Ya'kub ibn Killis seorang Wazir Khalifah al-'Aziz al-Fathimy, Ahmad ibn Muhammad Abu Thaher (w 576 H). Sedangkan disiplin ilmu yang dipelajari di institusi ini meliputi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum sesuai dengan tempatnya sendiri-sendiri. Sejauh perkembangan pendidikan dalam dunia Islam, pendidikan agama selalu menjadi prioritas utama (Charles Michael Stanton, 1994: 163).
Hal serupa juga tentang pentingnya pendidikan serta keberhasilannya membangun peradaban manusia dapat dijumpai pula di tanah Nusantara. Terhitung sejak abad 16 M akhir pendidikan keagamaan (khususnya) Islam mengalami peningkatan yang signifikan. Lahirnya sosok seumpama Hamzah Fansuri (w 1590), Syekh Nuruddin Al-Raniri (w 1658), Syekh Nawawi al-Bantani (1813-1897), hingga Syaikhona Kholil Bangkalan (1820-1925) merupakan masa keyajaan pendidikan berbasis keagamaan. Tradisi ini selanjutnya dilanjutkan oleh tokoh seumpama Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari (1871-1947), Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah (1888- 1971) hingga pada cucunya, Gus Dur (1940- 2009) merupakan masa-masa keemasan pendidikan nunasatara di tangan para tokoh agama.
Namun demikian, ada satu catatan penting yang mesti diingat sebagai suatu koreksi atas perkembangan pendidikan di tangan pemuka agama. Yaitu pendidikan yang hanya bekembang pesat di daerah yang notabene dekat dengan perkotaan, bagian tangah. Sementara kondisi pendidikan di daerah pinggiran—yang bisa dikatakan di daerah pedalaman—kurang mendapat progres yang baik. Hal menjadi suautu koreksi terhadap seluruh pihak. Mengingat pendidikan adalah hak segala bangsa, yang termasuk didalamnya adalah mereka (warga Idnonesia) di pelosok desa.
Kesenjangan pendidikan ini secara teoritis telah mengotori amanat Undang-Undang Dasar 1945 tentang pendidikan pada Pasal 31 ayat 1 yang menjelaskan bahwa, 'Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan'. Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 Pasal 4 ayat 2 berbunyi, 'Setiap peserta didik pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama' telah jelas menunjukkan bahwa Pendidikan Agama di semua jenjangnya berhak mendapatkan pendidikan yang sama.
Selain itu, dalam rangka menyikapi ketertinggalan pendidikan, utamanya Pendidikan Agama yang menjadi fokus peneltian ini, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur tentang peningkatan pendidikan di daerah pedesaan. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan menyamarataan tingkat pendidikan di suleuruh masyarakat Indonesia baik yang ada di daerah pedesaan dengan mereka yang ada di daerah perkotaan.
Sehingga dengan itu, Renstra Badan litbang dan Diklat Kementrian Agama tahun 2015–2019 memutuskan untuk melakukan perluasan akses pendidikan agama pada seluruh warga Indonesia khususnya yang berada di daerah 3T tersebut.