Pembunuhan Brigadir J, Pakar Hukum Sebut Ferdy Sambo dkk Dihukum Setara
Sabtu, 13 Agustus 2022 | 20:15 WIB
Dosen Hukum Pidana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Setya Indra Arifin. (Foto: dok. pribadi)
Jakarta, NU Online
Kasus pembunuhan berencana yang dilakukan eks Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, Bharada Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan saudara KM terus mengalami perkembangan dan pendalaman. Kabar mutakhir, dugaan pelecehan Brigadir J terhadap istri Ferdy Sambo seperti pada pemeriksaan pertama dihentikan oleh Bareskrim Polri. Artinya tidak cukup bukti dan tidak terbukti sehingga ditepikan.
Namun, fakta lain yang menjadi perhatian insan hukum ialah bahwa Ferdy Sambo memiliki mulitperan dalam pembunuhan berencana tersebut. Ia memerintahkan Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E untuk menembak Brigadir J, lalu merusak tempat kejadian perkara (TKP), dan membuat skenario palsu dari peristiwa yang sebenarnya. Kasus ini juga menjerat sekitar 31 personel polisi.
Menanggapi hal itu, Dosen Hukum Pidana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Setya Indra Arifin menyoroti obstruction of justice dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Menurut dia, patut diduga telah terjadi dua tindak pidana sekaligus. Pertama, membantu seseorang menghindari proses penyidikan (medeplichtigheid). Kedua, menghalang-halangi atau mempersulit proses penyidikan itu sendiri.
“Dengan dua dugaan ini, yang dikenal juga dengan istilah obstruction of justice, semestinya sejumlah anggota Polri yang tergabung dalam proses olah TKP awal, secara bersama-sama (complicity) juga diproses secara hukum, tidak hanya etik, tapi hukumannya sama atau setara seperti yang diterima Ferdy Sambo," terang Indra, sapaan akrabnya, dalam keterangan yang diterima NU Online, Sabtu (13/8/22).
Bahkan, Indra menduga keterangan pers yang menyampaikan informasi awal adanya tembak-menembak antar-anggota Polri di tempat kejadian perkara (TKP) rumah dinas Ferdy Sambo kemungkinan mengarah kepada informasi bohong lantaran obstruction of justice.
"Dan bahkan keterangan pers di awal itu dapat saja kemudian mengarah ke berita bohong atau hoaks dan memiliki konsekuensi hukum tersendiri," terang Indra.
Dijelaskan Indra, sejumlah anggota polisi yang melakukan penyelidikan hingga olah TKP awal kasus tersebut bisa dijerat dengan dua tindak pidana sekaligus. "Justru dilakukan dengan dugaan tindakan melawan hukum berupa penghilangan alat bukti, bahkan merusak TKP. Ini patut diduga telah terjadi dua tindak pidana sekaligus," jelasnya.
Apa pentingnya motif?
Indra mengatakan, dalam konteks Pasal 340, motif tidak termasuk dalam unsur-unsur tindak pidananya, artinya tidak ada konsekuensi bagi penegak hukum untuk secara wajib membuktikan adanya atau pun menerangkan motif tersebut.
Namun, secara konstruksi hukum yang dibangun, fakta terkait motif dapat memperkaya dan melengkapi bangunan struktur hukum yang ada, termasuk memenuhi prinsip publisitas.
“Misalkan supaya masyarakat tahu karena bagaimana pun, kasus sudah menyedot perhatian publik,” katanya.
Hukuman sesuai peran
Indra menjelaskan, jika terbukti masing-masing tersangka adalah melakukan penyertaan (pasal 55 KUHP), maka hukuman untuk seluruh pelaku atau tersangka adalah sama. Namun, imbuh Indra, jika yang terbukti sebatas pembantuan (pasal 56 KUHP), maka hukuman maksimal bagi pembantu adalah sepertiga ancaman maksimal hukuman pelaku utama.
“Dengan kata lain, motif tidak harus dibuktikan secara aktif dalam kasus ini, namun sangat mungkin berkembang dalam uraian-uraian fakta hukum selama proses penyidikan hingga persidangan,” jelas Indra.
Melansir Cornell Law School, obstruction of justice adalah segala tindakan mengancam (lewat kekuasaan, komunikasi) mempengaruhi, menghalangi, menghambat sebuah proses hukum administratif. Singkatnya, obstruction of justice adalah segala bentuk intervensi atau menghalangi sebuah proses hukum.
Bentuk intervensi yang dilakukan bisa dalam bentuk memberikan keterangan palsu, menyembunyikan bukti atau tersangka, atau pun mengintimidasi para saksi dalam proses pemeriksaan dan penyidikan.
Pewarta: Syifa Arrahmah
Editor: Fathoni Ahmad