Jakarta, NU Online
Penanganan wabah virus Corona atau Covid-19 harus dilakukan dengan mengandalkan sains dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, diperlukan tekat pemerintah untuk mendahulukan pendapat pakar kesehatan, epideminolog, dan saintis lain dalam menentukan strategi penanganan yang tepat.
“Kita harus menang dengan mengandalkan setiap resources yang kita miliki, dan mengandalkan sains sebagai ujung tombak,” ujar akademisi Universitas Paramadina Hendri Satrio di Jakartaa akhir pekan lalu. Oleh karenanya, menurut dia, setiap langkah penanganan yang diambil harus berdasarkan kalkulasi medis, sosiologis dan di saat yang bersamaan mempertimbangkan faktor ekonomi.
Sebab, sebaliknya, langkah dan strategi yang tidak berdasarkan pada pertimbangan sains hanya akan mengakibatkan kesalahan dalam penanganan wabah yang tingkat penularannya sangat cepat ini. “Keabaian terhadap sains akan menjerembabkan kita pada fatalisme,” tukasnya.
Hendri menambahkan, dalam melawan corona Indonesia bisa belajar dari keberhasilkan dan kesalahan dari negara lain. Seperti contoh Korea Selatan yang melakukan pengetesan massal kepada masyarakat dalam jumlah yang signifikan setiap hari untuk menentukan jumlah penderita. Cara itu kemudian dilanjutkan dengan menelusuri penyebaran wabah tersebut dari satu individu ke individu lainnya.
Selain itu, jika berkaca pada Italia, karantina wilayah terbukti berhasil menekan jumlah korban. Kendati banyak pihak meragukan pada awalnya, namun cara yang di lakukan Italia cukup berhasil, walaupun efeknya tertunda 2 sampai 3 minggu menyesuaikan masa inkubasi.
“Kita bisa lihat grafik eksponensial peningkatan jumlah korban di Italia menunjukkan perbaikan, ada harapan mereka akan berhasil mengontrol penyebaran dan pertambahan jumlah korban Covid-19,” jelasnya.
Terkait penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia, Hendri menilai, cara itu efektif bangsa Indonesia belajar dari apa yang dilakukan oleh Cina dan Italia, termasuk memertimbangkan kesalahan yang dilakukan negara lain seperti tidak mematuhi peraturan karantina kewilayahan yang mempercepat persebaran Covid-19 di Italia.
Pada konteks tersebut, kata Hendri, PSBB di Jakarta dan di beberapa wilayah lain di Indonesia harus diterapkan dengan disiplin, agar efeknya semakin cepat kita rasakan. Selain juga dengan kampanye kesehatan yang masif. Kampanye ini mestinya bisa menggunakan sendi pemerintahan, misalnya dari kepala daerah turun ke kecamatan, kelurahan lalu RW, RW yang kemudian harus dapat mengimbau dan menjamin warganya untuk patuh terhadap anjuran pemerintah. Hal tersebut hanya bisa dilakukan bila koordinasi di dalam pemerintahan bekerja dengan baik.
Di sisi lain, ada konsekwensi yang harus disiapkan seperti ketersediaan pangan dan pemerataan distribusinya. “Kita juga harus belajar dari India, di mana pemerintahnya tidak cukup matang dalam mempersiapkan diri khususnya terkait distribusi pangan. Pemerintah daerah dan pusat harus bisa berkordinasi dengan baik, agar masalah ini dapat teratasi,” ungkapnya.
Namun Hendri menilai, PSBB tidak dapat diterapkan sendiri dan menjadi bagian dari strategi besar pemerintah dalam penanganan Covid-19. Tapi peningkatan kuantitas tes serta kapasitasnya laboraturiumnya juga harus ditingkatkan, juga fasilitas kesehatan lainnya, termasuk perlindungan terhadap dokter dan petugas medis.
Akurasi data diperlukan
Epideminologi Unoversitas Indonesia, Dr Pandu Riono PhD mengatakan, salah satu tantangan utama penanganan wabah Covid-19 saat ini perlunya data yang akurat dan cepat. Data yang diperlukann ini, kaya Pandu, tidak bisa berdasarkan data yang dirilis pemerintah, karena data tersebut bukan data ‘baru’.
“Problem dari data pemerintah adalah underreported dan underestimated, kalau kita hanya mengadalkan data dari kemenkes dan pemerintah. Data yang diumumkan juru bicara adalah data yang dihasilkan 5 hari sebelum diumumkan,” kata Pandu Riono dalam sebuah wawancara di Narasi.
Ia bahkan mengatakan, dalam analisanya, virus Covid-19 telah lebih dulu masuk ke Indonesia dari pada tanggal yang diumumkan oleh pemerintah. Analisanya ini berdasarkan temuan dari sejumlah laporan medis yang menemukan gejala-gejala Covid-19 yang ditemukan sejak Februari 2020.
“Namun laboratirum kita belum bisa diandalkan untu mendeteksi covid-19. Tapi gejala-gejala Covid-19 semacam itu sudah ditemukan. Di DKI awal Februari sudah ada,” ujarnya. “Sistem surveilance pemantauan penyakit sudah mencatat ada orang dengan keluhan demam batuk yang yang tidak bisa diobati dengan pengobatan biasa, ini kecuriagaan pertama, ini tercatat Suspect Covid-19. Namun suspect itu karena lab kita belum mampu mendeteksi,” lanjutnya.
Ia menambahkan, jika data yang dipakai oleh saintis adalah data dari pemerintah saja yang notabenenya underreported dan underestimated, maka strategi penanganan yang akan direkomendasikan juga akan keliru.
“Kita baru bikin kurva antara laporan dan yang seharusnya, hasilnya, gapnya antara laporan pemerintah dan temuan kami makin lama makin besar. Laporan pemerintah underestimasinya luar biasa. Padahal yang di Indonesia yang sudah tertular jauh lebih banyak. Sebenanya yang sudah terinveski 10 atau 20 kali lipat,” pungkasnya.
Editor: Ahmad Rozali