Nasional

Penguatan Legalitas Sidang Isbat dan Tantangan Teknologi dalam Rukyatul Hilal

Jumat, 4 Oktober 2024 | 09:00 WIB

Penguatan Legalitas Sidang Isbat dan Tantangan Teknologi dalam Rukyatul Hilal

Ilustrasi rukyatul hilal. (Foto: NU Online/Suwitno)

Lampung, NU Online 

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan peraturan perkumpulan (Perkum) tentang Bahtsul Masail yang dihasilkan dari Konferensi Besar NU di Yogyakarta pada 30 Januari 2024. 


Wakil Sekretaris Lembaga Falakiyah PBNU, Marufin Sudibyo, menyatakan bahwa peraturan ini menekankan bahwa masalah-masalah strategis hanya bisa diselesaikan di tingkat nasional, bukan cabang. Hal ini bertujuan agar solusi yang dihasilkan lebih komprehensif dan tidak terbatas pada pandangan lokal semata.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


“Kalau dibahas ditingkat cabang misalnya secara teknis bisa, tapi solusi dari cabang jadi sempit. Artinya sesuai dengan kapasitas dan kemampuan tersebut karena terkait bahtsul masail pertanyaannya apakah bisa menjawab masalah tersebut atau diaspek dari luar pertanyaan sehingga jaringan dari rumus komprehensif,” kata Marufin kepada NU Online, Selasa (1/10/2024).


Lembaga Falakiyah NU (LFNU) dijadikan sebagai percobaan pertama untuk menerapkan peraturan ini. Menurut Marufin, forum ini penting menyesuaikan proses pengambilan keputusan dengan perkembangan zaman dan demokrasi. Persoalan yang dibahas harus melihat konteks hukum, sosial, dan teknologi yang berlaku saat ini.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Dalam seminar istinbath hukum Islam dan Bahtsul Masail di Lampung, LFNU membahas sejumlah isu yang sudah direncanakan selama lima tahun. Hasil dari 12 titik diskusi Bahtsul Masail ini akan disampaikan ke LBM NU untuk kemudian dirapatkan dan disetujui oleh syuriyah PBNU. 


Jika keputusan bersifat internal, akan dibawa ke Musyawarah Nasional (Munas) atau Konferensi Besar (Konbes) NU, sedangkan jika bersifat eksternal akan diajukan ke Kementerian Agama.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


“Kita mengajukan 9 pertanyaan yang sudah dicollecting sejak lima sampai enam tahun lalu supaya prosesnya kemudian menjadi lebih mantap dan merangkainya sebagai satu kesatuan. Artinya kalau kita membahas semua permasalahan tersebut diawali dengan pembacaan dari seluruh naskah,” kata Marufin.


Salah satu topik utama yang dibahas adalah mengenai legalitas sidang isbat dalam konteks hukum positif Indonesia. Marufin menyampaikan bahwa keputusan sidang isbat yang hanya berlaku untuk Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah menimbulkan pertanyaan terkait sembilan bulan lainnya yang belum memiliki landasan isbat yang kuat.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


“Dari 9 pertanyaan tersebut dikelompokkan menjadi empat bagian terkait dengan bagaimana sidang isbat dari segi legal formal hukum positif Indonesia. Sidang isbat ini punya cantolan di undang-undang, peraturan pemerintah, atau peraturan presiden yang berlaku saat ini?” ungkapnya.


Pasalnya, saat ini aturan yang ada hanya berupa peraturan menteri atau keputusan menteri. Hal ini sangat teknis, dan jika suatu hari dijadikan objek gugatan hukum, misalnya ke Pengadilan Tata Usaha Negara, keputusan menteri lebih mudah dibatalkan dibandingkan dengan keputusan yang memiliki landasan hukum lebih tinggi. Ini karena keputusan menteri hanya merupakan produk kementerian dan tidak melalui proses legislasi atau telaah hukum yang komprehensif.


“Itu yang kita tanyakan dan ingin kita usulkan pada pemerintah bahwa kita ingin mengajukan supaya sidang isbat ini memiliki sebuah landasan hukum yang bisa menjadi patokan bagi semua sekaligus menjadi pegangan bagi NU ketika hendak menyampaikan ikhbar,” jelas Marufin.


Marufin mengungkapkan, isbat secara fikih sah atau pendapat jumhur ulama yang menjadi dasar pengambilan putusan adalah keputusan imam atau pemimpin dalam hal ini pengelola negara tetapi fikih perlu dilengkapi sisi legal formal. Sesuai dengan tata perundangan di Indonesia.


“Kemudian dari isbat kita menemukan masalah lain bahwa NU sejak tahun 1954 memiliki sebuah pedoman mengikhbarkan hasil isbat. Pertanyaanya adalah Isbat pemerintah saat ini hanya ada tiga terkait dengan awal Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Di luar daripada itu ada 9 bulan lain tidak ada isbatnya hanya ada surat keputusan bersama (SKB) dari menteri-menteri,” kata Marufin.


SKB ini didasarkan pada perhitungan hisab yang menimbulkan masalah bahwa NU menyatakan boleh ikhbar sesuai dengan hasil keputusan hisab atau lainnya. Kalau merujuk pada hadits, sebetulnya ada dua penentuan awal Ramadahan dengan akhir Ramadhan atau Syawal. 


Hasil Muktamar dan Munas bahkan menentukan bahwa Idul Adha boleh diselenggarakan isbat dengan alasan qiyas. “Itu yang menjadi dasar isbat tapi sembilan bulan lainnya belum jelas. Padahal bulan lainnya juga penting,” ujarnya.


Sembilan bulan lainnya belum ada landasan isbatnya, tidak diketahui alasannya apa. Kalau alasan teknis karena terbatas lain-lain itu bisa diterima tapi dari sisi lain ini adalah kebutuhan legal syariah yang diperlukan dalam kehidupan bangsa dan beragama. “Ini yang kita temukan,” ungkapnya. 


Marufin menjelaskan NU mengusulkan supaya ada isbat pada bulan lainnya, jika kemudian tidak bisa dipenuhi, NU mengajukan terobosan  lain mendasarkan pengumuman bukan ikhbar karena NU selama ini merukyat setiap bulan. 


“Kita mendasarkan pengumuman hanya pada apa yang sudah dilakukan NU selama ini yaitu mengumumkan hasil rukyat yang dipadukan hasil dari rukyat tim lain sepanjang masih dalam wilayah  NKRI. Itu yang menjadi persoalan,” terang dia.


Selain itu, penggunaan teknologi modern seperti teleskop dan kamera dalam proses rukyat juga menjadi perhatian. Pertanyaan mengenai validitas pengamatan hilal melalui layar atau menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) menjadi tantangan baru dalam konteks fiqih dan hukum.


Lembaga Falakiyah, ungkap dia, menemukan permasalahan bahwa sekarang rukyat tidak hanya menggunakan mata saja. Menggunakan peralatan seperti teleskop untuk perpanjangan mata kalau menggunakan itu saja sudah ada keputusan bahtsul masailnya. 


Permasalahannya adalah mata sudah bisa digantikan oleh teknologi dengan lensa bahkan dengan kamera yang resolusinya lebih bagus. Rukyat sekarang tidak melihat ke arah teleskop tetapi hasil yang terang oleh kamera yang dimasukan dalam TV atau sistem laptop. 


“Pertanyaan itu apakah kita sama melihat ke layar atau teleskop. Pertanyaan kedua, dari hasil perekaman bisa diperkuat dengan AI statusnya apa? Yang lebih ekstrem bagaimana kita dengan segala perkembangan teknologi bisa memunculkan penampakan yang mirip hilal siang hari sebelum matahari terbenam sampai mataari terbenam. Ini bagaimana statusnya? Itu membutuhkan jawaban untuk mengatasi ketidakpastiaan,” jelasnya. 


Marufin menjelaskan bahwa rukyatul hilal yang selama ini dirumuskan adalah berdasarkan tempat melihat atau mengalami rukyat maka itu berlaku untuk rukyat tersebut. Permasalahnnya kemudian ketika diterapkan dalam hitungan. 


“Ini menjadi problem misalnya untuk menentukan ramadhan tahun depan kita mengalami situasi imkan hanya terjadi di Aceh tempat lain tidak. Sehingga kalau ada hasil rukyat dari wilayah jawa menyampaikan melihat rukyatul hilal disampaikan kepada PBNU maka mengacu Muktamar Lampung 2021 hasilnya tidak bisa diterima karena masih di bawah imkan sementara kalau menganutnya I’adathan nazhar kapasitas terbatas karena merujuk hasil muktamar NU,” jelasnya.


Selama ini, soal rukyatul hilal selalu menimbulkan dilema. Jika laporan ditolak, satu-satunya yang diterima adalah dari Aceh. Jika tidak ada laporan dari Aceh, maka yang terjadi adalah istikmal. Istikmal untuk Ramadan memiliki konsekuensi yang sedikit namun jika sudah terkait dengan Idul Fitri atau Idul Adha, persoalan sosial menjadi lebih rumit.


“Ini yang dipertanyakan sebetulnya mau seperti apa wilayatul hukmi di Indonesia. Apakah kita merumuskannya cukup satu titik boleh, atau tengah-tengah atau seperti apa,” tandasnya.

ADVERTISEMENT BY OPTAD