Jakarta, NU Online
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid Matraji menyayangkan pernyataan Kemendikbudristek yang menyebut bahwa Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahal karena pendidikan tinggi dianggap sebagai kebutuhan tersier.
Pendidikan, kata Ubaid, seharusnya dikembalikan ke public good sebab menyangkut hajat hidup dan kebutuhan seluruh warga negara yang harus dipenuhi. Sebagaimana amanat dalam pembukaan UUD 1945 alinea 4, yang menyatakan bahwa salah satu tujuan utama berdirinya NKRI ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Kemendikburistek harus mengembalikan posisi pendidikan tinggi sebagai public good, dan jangan letakkan PT sebagai kebutuhan tersier, karena menyalahi amanah UUD 1945,” kata Ubadi dalam keterangan tertulis yang diterima NU Online, Jumat (17/5/2024).
JPPI juga meminta DPR RI, Kemendikbudristek, bersama masyarakat sipil melakukan evaluasi total kebijakan Kampus Merdeka yang mendorong perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH).
“PTNBH yang jelas berperan besar dalam melambungkan tingginya biaya UKT, karena pemerintah tidak lagi menanggung biaya pendidikan, lalu dialihkan beban tersebut ke mahasiswa melalui skema UKT,” terang Ubaid.
JPPI mendesak Kemendikbudristek menarik Permendikbudristek No 2 tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi, karena ini dijadikan landasan kampus dalam menentukan tarif besaran UKT.
Selanjutnya, pimpinan kampus harus melindungi hak mahasiswa untuk bersuara dan bisa melanjutkan kuliah. Jangan persekusi dan intimidasi mahasiswa yang sedang berpendapat di muka umum.
Pimpinan kampus harus memperbaiki data KIP Kuliah supaya tepat sasaran dan Menyusun Kembali besaran UKT disesuaikan dengan kemampuan bayar mahasiswa. JPPI juga meminta para guru besar di kampus untuk tidak diam dalam menyikapi protes dan polemik soal UKT.
“Jangan hanya ketika hajatan politik saja, para guru besar ini bersuara, tapi saat mahasiswa butuh dukungan, para guru besar di kampus harus bersuara dan mengembalikan marwah kampus sebagai tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sebagai lahan bisnis,” tandasnya.
Sebelumnya, Sekretaris Lembaga Pendidikan Tinggi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LPT PBNU), M. Faishal Aminuddin memberikan rekomendasi yang dapat dilakukan sebagai upaya penyelesaian polemik UKT.
Pertama, Faishal menyarankan agar PTN dikembalikan ke peran sebagai bagian dari pelayanan pemerintah yang menyediakan pendidikan tinggi terjangkau dengan standar mutu yang tetap tinggi.
Kedua, jika model PTN-BH tidak bisa direvisi pengelolaannya, Faishal menyarankan agar pemerintah mengatur penetapan UKT dengan mempertimbangkan latar belakang dan kondisi keluarga mahasiswa, serta lokasi kota atau wilayah PTN berada.
Ketiga, Faishal mengusulkan agar pemerintah membuka kesempatan lebih luas bagi perguruan tinggi swasta (PTS) agar bisa berakselerasi kembali dengan memberikan batasan dan kuota jumlah mahasiswa yang bisa diterima oleh PTN serta menentukan besaran maksimal UKT.
“Hal ini penting agar masyarakat juga memiliki alternatif untuk melanjutkan pendidikan di PTS. Jika PTN-BH tidak mau menerima mahasiswa KIP Kuliah dalam jumlah besar, maka peruntukannya bisa dialihkan lebih banyak kepada calon mahasiswa yang melanjutkan studi di PTS kecil,” jelasnya.