Depok, NU Online
Suara air berjatuhan sudah ramai sejak jam tiga dini hari. Para santri berderet, mengantre di depan pintu kamar mandi dan pancuran air wudhu. Rutinitas hari itu akan dimulai dengan sembahyang tahajud.
<>
Pagi itu, Fitria Novianti (17) menunaikan kewajibannya sebagai koordinator bidang ubudiyah Organisasi Pondok Pesantren Terpadu al-Awwabin (OPPTA). Ia menghampiri setiap kamar putri, memastikan semua rekannya dalam keadaan bangun.
Fitria mengaku bersemangat menjalankan tugasnya. Meski kadang merasa jengkel menghadapi beberapa santriwati yang kurang mengindahkan disiplin.
“Sebel juga sih kalau ada yang nggak mau bangun. Bilangnya, nanti-nanti. Padahal jaras (bel) sudah dibunyikan,” tuturnya, Selasa (23/10).
Pondok Pesantren Terpadu al-Awwabin Putri Bedahan, Sawangan, Depok, selalu mengawali kegiatan rutinnya dengan qiyamul lail (ibadah tengah malam). Tahajud bersambung wirid baru berhenti ketika adzan shubuh dikumandangkan. Para santri pun bersiap sembahyang shubuh secara berjamaah.
Pengajian kitab kuning baru digelar setelah hafalan Al-Qur’an atau qaidah nahwiyah dilantunkan. Sang pengasuh, Abuya KH Abdurrahman Nawi, juga memiliki jadwal khusus pada pengajian pagi ini.
Pesantren al-Awwabin Putri mengkaji beberapa kitab, mulai dari gramatika Arab, hadits, tafsir, fiqih, ushul fiqih, ilmu mantiq, akhlak, hingga tauhid. Di luar jam pagi, pengajian juga dilaksanakan usai sembahyang ashar dan isya’. Bakda maghrib, para santri biasanya membaca ratib, tahlil, atau maulid.
Sabila Faiziah (14) mengatakan bahagia dapat belajar di pesantren ini. Kegiatan yang padat tak membuat semangatnya surut. Sejak awal, nyantri sudah menjadi tekad dan pilihannya pribadi, bukan dorongan orang lain.
“Pengen ndalemin ilmu agama, pengen mandiri. Soalnya di luar pergaulannya udah nggak bener,” ujarnya.
Apalagi, selain ngaji, pesantren terkemuka di Kota Depok ini juga membuka sekolah formal untuk jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA). Dari pukul 7 sampai 12.30 santri mengikuti tak hanya materi agama, tapi juga mata pelajaran umum.
Kegiatan ekstrakurikuler, seperti kepramukaan, kepalang-merahan, olahraga, seni drumben, dan penguasaan komputer turut melengkapi kepadatan jadwal santri. Secara umum, siang merupakan waktu istirahat bagi rutinitas ini.
Sebagai pengurus, Fitria memang dituntut tegas menghadapi santri malas. Namun, sebagai santri ia tak dapat menyembunyikan empatinya. Dengan rutinitas yang super padat, menjadi maklum jika beberapa santri ogah-ogahan beranjak dari tempat tidur.
“Mungkin karena kecapekan. Karena malamnya padat kegiatan, belajar, ngobrol, dan lain-lain. Tapi mereka tetap shalat jamaah kok, meskipun telat,” tandasnya.
Penulis: Mahbib Khoiron