Nasional

Sebagai NU, Menjadi NU, Pengurus NU

Ahad, 24 Maret 2013 | 11:55 WIB

Jakarta, NU Online
Kiai Muchith Muzadi pernah bercerita, untuk masuk dalam pengurus organisasi ulama bernama NU, syaratnya teramat sulit. Seseorang, siapapun itu, harus menguasai kitab-kitab tertentu di bidang fiqih, tasawuf, dan lainnya. Tes ketat seperti itu ketika Mbah Hasyim masih sugeng.

<>

Tapi, untuk “menjadi (orang) NU”, kata Kiai Muchit, tidaklah sulit. Pedagang es cendol di bawah pohon saat pengajian umum yang diisi oleh kiai NU, saat itulah pedagang es cendol tersebut sudah masuk NU. Jika di rumah si pedagang cendol tersebut ada almanak NU, wah, itu orang menjadi NU betulan.

Tapi, ketika saya di Lakpesdam “menjadi NU” itu sulit. Sebab, mereka juga, Lakpesdam, memiliki kategori Nahdliyin yang “sebagai NU”. 

Menjadi NU, kata Lakpesdam, itu harus sesadar-sesadarnya bahwa dirinya adalah bagian dari Nahdliyin. Tidak berhenti di tingkat kesadaran, namun juga harus mengetahui, mengerti, dan memahami ihwal NU secara lengkap.

Sebagai seorang Islam yang baik, santri yang tahu diri, tidaklah cukup mengetahui, mengerti, dan memahami NU, namun juga harus mengamalkan, memperjuankan, dan menyebarkan pengetahuan, pengertian, dan pemahaman NU, pada orang lain. Wajib ada transfer ilmu pengetahuan, tidak boleh diletakkan di bawah kasur.

Sementara sebagai NU itu tidak memiliki beban “ilmu pengetahuan NU”, apalagi hingga mengembangbiakkan. Tidak mengerti dalil qunut Shubuh, tidak masalah, yang penting qunut. Tidak mengetahui asal usul Talqin, tidak berbahaya, yang penting yakin bahwa seyogyanya ada Talqin. Cukup bagi dia, mengaku “sebagi orang NU”. 

Berat ya kategori NU menurut Lakpesdam? Ya, berat. Tak kalah beratnya dengan seorang Pandam atau Kasdam. Tapi itu memang tugas dan kewajiban Lakpesdam. Namanya saja Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jadi, harap maklum.

Tapi ada yang lebih berat lagi, yakni pengurus NU. Seperti yang diriwayatkan Kiai Muchith, berat menjadi pengurus NU, dari zaman Mbah Hasyim hingga sekarang. Ketika zaman Mbah Hasyim harus mengetes langsung pemahaman orang-orang atas literatur-literatur Islam klasik, maka pengurus NU sekarang berat juga, karena harus mencari orang-orang yang bersedia, punya waktu, dan mampu menjadi pengurus NU. Meski amat berat, pengurus NU punya ganjarang yang istimewa, yakni "boleh" tidak datang ke kantor NU. (Hamzah Sahal


Terkait