Jakarta, NU Online
Nabi Muhammad saw pernah mengungkapkan tentang orang yang benar-benar gila. Orang gila yang sesungguhnya adalah mereka yang berjalan di muka bumi dengan penuh kesombongan. Mereka memandang orang lain dengan pandangan merendahkan.
Dalam sebuah Hadits, kata dia, diriwayatkan bahwa suatu hari Nabi Muhammad saw sedang berjalan-jalan di sebuah desa. Kemudian beliau mendapati beberapa orang berkerumun di satu tempat. Melihat mereka, lalu Rasulullah pun bertanya.
“Ada apa? Kenapa kalian berkumpul di tempat ini? tanya Rasul. Sekelompok orang itu pun menjawab, ‘Ya Rasulullah, ada seorang gila yang sedang mengamuk. Karena itulah, kami berkumpul di tempat ini’,” tutur H Thobib Al Asyhar, Kasubdit Kelembagaan dan Kerja Sama Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Dit PTKI) Ditjen Pendidikan Islam Kemenag, saat didaulat menyampaikan khutbah Jumat di Masjid Al-Ikhlas Gedung Kemenag Jl MH Thamrin No 6 Jakarta, Jumat (4/8/2023).
Setelah mendengar jawaban dari para sahabat itu, maka Nabi berkata kepada mereka, “Sungguh dia tidak lah gila, dia itu adalah mubtalaa (orang yang sedang ditimpa musibah). Tahukah kalian siapa orang gila yang sesungguhnya?” Para sahabat pun menjawab, “Kami tidak tahu Ya Rasul.”
“Ketahuilah bahwa orang gila yang sesungguhnya adalah mereka yang berjalan di muka bumi ini dengan penuh kesombongan, yang memandang orang lain dengan pandangan merendahkan, yang membusungkan dada seraya memohon kepada Allah agar kelak memberikan surga kepadanya. Padahal mereka senantiasa bermaksiat kepada-Nya,” terangnya mengutip Hadits.
Thobib menambahkan bahwa orang gila sukanya berbuat buruk dan mengganggu kenyamanan orang lain. Ia tidak pernah berharap orang lain memiliki kebaikan dan ketenangan. “Itulah al-majnun haqq al-majnun (orang gila yang sesungguhnya),” sambung doktor jebolan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2013 ini.
Adapun mubtalaa (orang yang ditimpa musibah), kata Thobib, sesungguhnya adalah penderita satu penyakit yang akalnya tidak dapat menangkap objek dengan baik dan benar, sehingga menimbulkan kebingungan dan kekacauan pikiran.
“Dan mubtalaa ini adalah mereka yang sering terlihat di jalan-jalan dengan berpakaian berantakan, compang caping, bicara sendiri. Orang seperti inilah yang seharusnya dibantu, diringankan bebannya,” terangnya.
Sementara majnun dalam arti sesungguhnya adalah mereka yang akalnya masih waras, namun dikuasai oleh nafsu. Jadi, yang menonjol adalah nafsunya daripada akalnya.
“Ciri utama orang majnun ini terletak pada kesombongan dirinya. Padahal Nabi sudah mengingatkan, ‘Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi’,” tutur pria asal Cirebon ini.
Dosen UI ini mengilustrasi bahwa sombong karena memiliki kekuasaan, jadilah dia orang yang gila jabatan. Tidak rida jika jabatan tersebut berpindah kepada orang lain, maka ia kerahkan keluarganya, mulai dari istrinya, anaknya, keponakannya, atau siapa pun yang memiliki kerabat dengan dirinya untuk bisa menguasai jabatan tersebut. Padahal jabatan itu adalah amanah.
“Jika menyelewengkan jabatan, kelak pasti di hari kiamat berakhir dengan penyesalan. Baginda Nabi mengingatkan, ‘Sesungguhnya kalian akan berambisi untuk mendapatkan kekuasaan, padahal kekuasaan itu akan menjadi penyesalan pada hari kiamat. Kekuasaan itu enak di awalnya (dunia) seperti bayi yang diberi ASI ibunya. Namun, tidak bagus di akhirnya (akhirat) seperti bayi yang disapih’,” terangnya.
Dua hal yang membinasakan
Thobib menambahkan bahwa ketika orang ini sudah gila harta, maka ia akan melakukan apa pun yang dia inginkan, tidak lagi berpikir mana halal mana haram. Terpenting apa yang diinginkan dapat diperoleh.
“Maka Nabi mengingatkan lagi, ‘Kebinasaan umatku terletak pada dua hal, yaitu meninggalkan ilmu dan menumpuk harta,” terang instruktur nasional Moderasi Beragama pusat ini.
Jikalau orang sudah meninggalkan ilmu, kemudian jadilah orang bodoh. Terkadang orang bodoh itu juga berfatwa. Celakanya, banyak orang bodoh lainnya yang mengikuti fatwanya.
Begitu pun orang yang menumpuk harta. Terkadang orang ini banyak harta, rumah, kendaraan, dan sebagainya. Ia lupa ketika mati dirinya hanya membawa sehelai kain putih dan dipendam dalam tanah ukuran 2×1 meter. Itu saja yang dibawa.
“Apalagi diikuti dengan sifat pelit. Sudah menumpuk harta, pelit lagi. Dan mereka inilah yang disebut al-majnun haqq al-majnun (orang yang benar-benar gila),” tegas Thobib.
Ia berpesan agar ciri-ciri tersebut tidak sampai pada diri kita. Hendaknya diri kita sebagai Muslim menjalani kehidupan ini dengan tenang dan damai. Bersikap sopan dan santun kepada orang lain. Tidak pula merendahkan, mudah emosi, atau marah.
Thobib lalu menyitir QS Al-Furqan ayat 63 yang artinya: "Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan."
“Semoga kita bisa menjalani kehidupan ini dengan tenang. Apabila ada titik kesombongan pada hati kita, segeralah bersihkan dengan sifat-sifat kerendahan hati,” pungkasnya.