Sujiwo Tejo Soroti Pengabaian Makna dan Dampak Ritual Ibadah
Senin, 24 Februari 2025 | 21:00 WIB

Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah KH Ubaidullah Shodaqoh, Budayawan Sujiwo Tejo, Rektor Universitas Semarang Supari Priambodo pada Suluk Senen Pahingan edisi ke-35 yang digelar di Joglo Pondok Pesantren Al-Itqon Bugen, Semarang, pada Ahad (23/2/2025) malam. (Foto: dokumentasi Suluk Senen Pahingan)
Semarang, NU Online
Budayawan Sujiwo Tejo menekankan pentingnya memahami ajaran agama secara holistik. Ia menilai banyak orang hanya membesar-besarkan aspek ritual seperti shalat, tetapi mengabaikan makna dan dampaknya dalam kehidupan sehari-hari.
“Kalau shalat benar-benar dijalankan dengan baik, otomatis negeri ini akan baik. Artinya, kalau saya ada di forum ini, saya mendengarkan dengan sepenuh hati. Itu cara shalat saya,” ujarnya pada Suluk Senen Pahingan edisi ke-35 yang digelar di Joglo Pondok Pesantren Al-Itqon Bugen, Semarang, pada Ahad (23/2/2025) malam.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga mengajak audiens berefleksi tentang pertanyaan mendasar dalam kehidupan, yaitu "Siapa sebenarnya aku?" Menurutnya, pertanyaan ini sering diajukan, tetapi jawabannya tidak pernah menyasar pada inti masalah.
“Kita bertanya pada pemimpin di Jakarta, kita ini siapa dan mau ke mana? Tetapi jawabannya justru hal-hal pragmatis, seperti bantuan sosial dan makan gratis,” sindirnya.
Acara yang mengusung tema "Seni, Politik, dan Moral Kebangsaan" itu kian semarak dengan penampilannya yang membawakan sejumlah lagu ciptaannya serta membabar makna di balik lirik-liriknya. Kegiatan rutinan ini juga dimeriahkan oleh pertunjukan grup musik dari Figura Renata dan Kaukab.
Sementara itu, Rektor USM Supari Priambodo, dalam paparannya menyoroti dua permasalahan utama yang dihadapi bangsa ini, yakni soal kebenaran dan kemandirian. Menurutnya, di era disrupsi dan perkembangan kecerdasan buatan, kebenaran menjadi semakin subjektif karena banyak orang hanya percaya pada kebenaran yang ada di kepala masing-masing.
“Di jalan-jalan dan di mana saja, konsep benar itu hanya ada di kepala kita masing-masing. Padahal, seharusnya kebenaran didasarkan pada pendekatan ilmiah,” tegasnya.
Supari juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap dunia pendidikan. Ia menemukan bahwa hanya sekitar 30 persen mahasiswa yang benar-benar menjalani proses perkuliahan dengan sungguh-sungguh. “Dari empat mahasiswa, hanya satu yang benar-benar kuliah dan memahami konsep benar secara ilmiah,” katanya.
Ia juga menyoroti rendahnya kemandirian bangsa dalam bidang ekonomi, di mana masyarakat lebih bangga menggunakan produk asing dibandingkan produk dalam negeri.
“Kita bangga bisa berkomunikasi dengan orang lain, tapi alat komunikasinya produk luar negeri. Kita lebih suka mengimpor daripada menciptakan produk sendiri. Kita justru menjadi pasar bagi negara-negara maju,” tambahnya.
KH Ubaidullah Shodaqoh, sebagai sahibul bait, menegaskan bahwa keberadaan manusia di dunia ini merupakan nikmat yang harus disyukuri.
“Setiap manusia memiliki potensi untuk naik ke alam spiritual yang lebih tinggi. Dan seluruh eksistensi manusia itu semata-mata karena cintanya Allah kepada makhluk-Nya,” ujarnya.
Rais Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah itu juga menambahkan bahwa taufik dan hidayah akan diperoleh setiap insan sesuai dengan amal dan perbuatannya.
Dewasa ini juga moral kebangsaan runtuh dan berdampak pada berbagai sektor, mulai dari seni, budaya, pendidikan, hingga ekonomi dan politik. “Fenomena ini terlihat dalam berbagai kasus korupsi, suap, penurunan indeks demokrasi Indonesia, serta pemangkasan anggaran yang mengarah pada sentralisasi,” ujar Lukni Maulana, pegiat Nairaloka.
Dalam konteks budaya, Sekjen Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Pusat Teguh Haryono menekankan pentingnya menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur Nusantara di tengah derasnya arus globalisasi.
Sebagai pendiri Daulat Budaya Nusantara (DBN), ia menjelaskan bahwa DBN menginisiasi program Kenduri Budaya di 99 titik lokasi berbeda di seluruh Indonesia guna merawat tata nilai budaya bangsa.
“Kalau ingin berpolitik, ya, berpolitiklah ala Indonesia. Kita berekonomi dengan cara yang mencerminkan budaya kita sendiri,” ujarnya.
Sebagai informasi, Suluk Senen Pahingan sendiri merupakan acara rutin yang diinisiasi oleh komunitas Santri Bajingan, sebuah kelompok pengajian yang dibimbing oleh KH Sholahudin Shodaqoh. Nama "Santri Bajingan" merupakan akronim dari "Bar Ngaji Mangan", yang berarti setelah mengaji, kegiatan ditutup dengan makan bersama.