Nasional

Sumber Lisan Bisa Jadi Penyempurna Dokumen Usulan Gelar Pahlawan Nasional Kiai Abbas Buntet

Jumat, 21 Februari 2025 | 21:00 WIB

Sumber Lisan Bisa Jadi Penyempurna Dokumen Usulan Gelar Pahlawan Nasional Kiai Abbas Buntet

Potret lukisan KH Abbas Abdul Jamil Buntet. (Foto: dokumentasi Buntet Pesantren)

Bandung, NU Online

Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Provinsi Jawa Barat, Prof Ajid Thohir, menyatakan bahwa selain sumber primer tertulis, peneliti dapat menggunakan oral histori dalam menunjukkan kelengkapan gelar pahlawan.


"Ketika tidak ada fakta-fakta primer, bisa melalui wawancara generasi ketiga. Tradisi hadits kan ada sanadnya. Kita juga menggunakan oral histori, tapi berdasar sanad. Harus kita akui tradisi lisan atau oral histori dapat menyempurnakan dari kekurangan-kekurangan fakta yang tertulis atau dokumen," sanggah Prof Ajid dalam acara Seminar Nasional Usulan Gelar Pahlawan Nasional Kiai Abbas Abdul Jamil, di Universitas Islam Nusantara (Uninus) Bandung pada Jumat (21/2/2025).


Menurut Prof Ajid, jika hanya mengacu sumber tertulis pasti akan terbatas. Baginya, sangat perlu mengangkat sumber-sumber lokal semaksimal mungkin. Ia meyakini bahwa jika tidak ada sumber tulis pasti ada berita.


"Tradisi lisan ini tradisi Islam juga. Cerita tidak akan manipulatif, substansinya itu ada materinya. Saya ingin mendobrak metodologi historiografi penelitian sejarah terhadap historiografi biografi pahlawan," tegas Guru Besar Sejarah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Jawa Barat itu.


Sebagai tim T2PGD, Prof Ajid mengaku sering kesulitan jika dituntut dengan kelengkapan fakta-fakta primer. Dalam ilmu intelejen, kata Prof Ajid, ulama tarekat banyak yang menutup diri karena ada kekhawatiran orang sufi dikenal colonial sehingga mereka memilih menghilangkan jejak. Berbeda dengan pahlawan revolusi nasional yang modern, ada rekaman pidato dan sebagainya. 


"Kalau orang-orang sejarawan menuntut sumber-sumber yang harus primer, primer sudah ada, tapi kalau kelengkapan primer itu agak sulit karena memang ingin menghilangkan jejak bahkan ingin tidak dikenal sama sekali," tambahnya.


Baginya, hal tersebut adalah alasan Kiai Abbas Buntet tidak punya foto dan hanya ada lukisannya. Sebab, Kiai Abbas selalu menghilangkan jejak karena ingin menghindar dari mata-mata kolonial sehingga menyebabkan dokumen akan sulit ditemukan. "Paling ada bakiak, rumah, dan tempat tirakatnya," ujar Prof Ajid.


Hal tersebut merupakan respons Prof Ajid terhadap statemen Ketua Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD), Prof Usep Abdul Matin, yang menyampaikan bahwa meski perjuangan Kiai Abbas sangat nyata dalam peristiwa 10 November 1945, tetapi pengajuan Kiai Abbas sebagai pahlawan nasional ini masih kekurangan sumber data primer. 


"Bab 2 pasal 6, untuk memenuhi syarat umum dan syarat khusus. Pasal 6 harus dikaitkan dengan pasal 20. Artinya semua daftar riwayat hidup, uraian perjuangan termasuk biografi CPN itu sama halnya harus menggunakan sumber primer. Memang ada sumber primer, tapi tidak dibunyikan bagaimana sumber itu dalam narasinya," ujar Prof Usep.


Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu berharap agar nantinya ada pihak yang membantu menarasikan perjuangan daftar riwayat hidup KH Abbas Abdul Jamil dengan sumber primer yang banyak.


"Intinya, mari kita bantu Kiai Abbas ini dengan menyediakan sumber-sumber primer. Nanti kita baca sama-sama sehinga kami bisa menarasikannya dengan rinci secara kronologis singkat, padat dan sangat menukik. Sehingga target kita Kiai Abbas Abdul Jamil menjadi pahlawan nasional bisa tercapai," pungkas Prof Usep.


Sementara itu, sejarawan, Aguk Irawan, dalam penelitiannya menemukan fakta dalam Makhtuhot KH Umar bin Burhan, Bendahara Pertama PBNU, bahwa Komandan Panglima Hisbullah Pusat adalah Kiai Abbas Buntet. "Ini hilang. Ketika pahlawan revolusi, yang muncul cuma versi Orde Lama dan Orde Baru. Kiai Abbas itu tidak muncul," ujar Aguk.


Selama ini, kata Aguk, sejarah yang dimunculkan pada perang 10 November itu tidak ada komandannya. Bahkan nama Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari juga baru muncul ketika Hari Santri. Ia lantas berpendapat bahwa Kiai Abbas ini tidak hanya kiai yang di balik dzikir dan tasbihnya, tetapi adalah seorang arsitektur negara dan arsitektur bangsa . 


"Dia salah satu pejuang yang punya andil sangat-sangat besar. Kita sepakat bahwa kita merasa mengingatkan bahwa negara punya utang pada Kiai Abbas," tuturnya.