Secara harfiah berasal dari kata Suro, salah satu nama bulan dalam penanggalan Jawa yang bertepatan dengan Muharram pada penanggalan Hijriyah. Istilah Suro sendiri diambil dari bahasa Arab, ‘asyaro atau ‘asyroh yang berarti “hari kesepuluh”.
<>
Suronan merupakan tradisi pesantren yang dilakukan saat tibanya hari kesepuluh di bulan Muharram.
Tradisi menghormati hari kesepuluh di bulan Muharram mempunyai sejarah yang panjang. Pada hari tersebut Allah Swt. mengampuni dosa Nabi Adam a.s.; menyelamatkan dan mendaratkan Nabi Nuh a.s. dengan kapalnya; menyelamatkan Nabi Musa a.s. dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun bersama tentaranya, dan; menyelamatkan Nabi Yunus a.s. dari ikan chuut (paus).
Masih banyak lagi peristiwa bersejarah yang terjadi pada hari ‘Asyuro. Pada hari itu, Allah Swt. memberikan ampunan (maghfirah) kepada hamba-hamba-Nya yang berdoa memohon ampunan. Oleh karena itulah seorang mukmin harus memperbanyak ibadah, mencari maghfirah-Nya, serta berpuasa dan memperbanyak sedekah kepada anak yatim.
Pada hari Suronan, para santri berpuasa mengikuti Rasulullah saw. seperti dalam hadits: “Ketika Nabi saw. tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi puasa pada hari ‘Asyuro, beliau bertanya, ‘Hari apa ini?’ Jawab mereka, ‘Hari ini hari yang baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh-musuh mereka, karena itu Musa mempuasainya.’ Sabda Nabi Saw., ‘Aku lebih berhak daripadamu dengan Musa.’ Karena itu Nabi saw. mempuasainya dan menyuruh mempuasainya.” (HR. al-Bukhari).
Dalam pelaksanaan tradisi Suronan, kalangan pesantren juga biasanya membuat bubur nasi, yaitu bubur abang (bubur merah) yang rasanya manis karena dibubuhi gula merah, dan bubur putih yang rasanya gurih. Warna-warna ini merupakan simbol dua hal yang selalu berlawanan di dunia, misalnya laki-laki dan perempuan, siang dan malam, ataupun baik dan buruk. Bulan Suro adalah bulan terjadinya peperangan antara yang baik dan yang buruk, sebagaimana tampak dalam tragedi pembunuhan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala.
Sebagian masyarakat Jawa menekankan momentum Suro pada malam tanggal satu Suro, yaitu malam tahun baru bagi penanggalan Jawa Kuno. Mereka percaya pada malam ini berbagai kekuatan spiritual turun ke bumi untuk mendatangi orang-orang yang berhati bersih dan suci.
Biasanya mereka kemudian melakukan patigeni, yaitu tirakatan selama 24 jam tanpa tidur dan tidak makan untuk mengharap datangnya pesan dari langit. Ada juga yang melakukannya dengan merendam diri di sungai dan mandi di tempat-tempat tertentu. Sedangkan orang-orang yang memiliki pusaka (keris, jimat, dan lain-lain) akan memandikan dan membersihkannya pada hari keramat ini. (Sumber: Ensiklopedi NU)