Nasional

Ukhuwah

Kamis, 18 Oktober 2012 | 08:15 WIB

Nilai-nilai dan pandangan hidup yang yang bermakna menjalin persaudaraan. Kata ini berasal dari kata akha, yang artinya mempersaudarakan. Di dalam NU, makna kata ini memiliki kekhasannya sendiri dan sejarah yang panjang. 
<>
Sebagai nilai-nilai, KH Hasyim Asy'ari di dalam Muqaddimah Qanun Asasi NU pernah mengemukakan pentingnya menjaga ukhuwah di antara umat Islam. Pendiri NU itu gelisah melihat pertikaian sesama kaum muslimin, hanya karena perbedaan pendapat. Rais Akbar NU itu mengajak sesama kaum muslimin untuk saling menghormati dan berlomba dalam berbuat baik.

Tradisi menjaga ukhuwah oleh masyarakat NU, diambil dari ajaran Islam dan tradisi yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Di antara argumentasinya dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa bapak manusia adalah Adam, dan karenanya manusia adalah anak cucu Adam, jadi masih saudara. Manusia juga diciptakan berbeda-beda, ada laki-laki, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, tujuannya agar saling mengenal, seperti disebutkan dalam QS. al-Hujurat [49]: 13, jadi bukan untuk saling berperang. 

Pada intinya manusia itu masih saudara, yaitu saudara sebagai makhluk manusia yang lahir dari seorang ibu dan ayah agar saling kenal, belajar, dan bantu membantu.

Tradisi ukhuwah masyarakat NU juga didasarkan pada praktik Nabi Muhammad. Ketika sampai di Madinah pasca hijrah, Nabi Muhammad mempersaudarakan sesama kaum muslimin dari kalangan Anshar dan Muhajirin. Di dalam hadits-haditsnya, Nabi Muhammad juga banyak memerintahkan agar kaum muslimin menjalin persaudaraan, menyambung silaturahim (hubungan baik dan kasih sayang), baik kepada kaum muslimin, kepada manusia pada umumnya, dan terutama kepada tetangga dari manapun asalnya.

Nilai-nilai ukhuwah telah ada sejak lama di kalangan msyarakat NU, tetapi kata ukhuwah menjadi lebih khas di kalangan NU setelah KH Achmad Shidiq memformulasikan tradisi persaudaraan NU itu ke dalam rumusan ukhuwah an-nahdliyyah, yang dibaginya menjadi 3, yaitu: ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama kaum muslimin), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan kemanusaan). Tiga persaudaraan ini dalam sejarah NU telah dipelihara dan diperjuangkan, yang  oleh KH Achmad Shidiq diformulasikan dalam bentuk rumusan yang sangat brilian.

Ukhuwah wathaniyah disadari oleh NU, karena khususnya bangsa Indonesia berasal dari berbagai suku, bahasa, dan adat yang mereka semua membentuk satu bangsa. Oleh karena itu, meski berbeda-beda, pada intinya mereka juga bersaudara, yaitu saudara sebangsa. Sebagai saudara sebangsa, tradisi masyarakat NU tidak menganggap perbedaan dan mereka yang berbeda sebagai musuh. 

Hanya saja, hal-hal yang berkaitan dengan aupaya menjaga keutuhan bangsa yang berdasarkan Pancasila dan konstitusi, tradisi NU mengambil garis jelas, yaitu mereka yang ingin menggulingkan pemerintah yang syah dan menagganti dasar Negara dengan cara mengangkat senjata dipandang sebagai bughât (pemberontak).

Ukhuwah basyariyah disadari oleh tradisi masyarakat NU, karena diajarkan oleh Nabi Muhammad, dan adanya penghormatan Allah kepada manusia sebagai makhluk mulia. Dalam pandangan Ahlussunnah Waljam’ah, menurut Gus Dur dalam buku Islam Kosmopolitan, manusia dipandang  semulia-mulia makhluk Tuhan, kecuali mereka turun ke derajat yang paling rendah, yaitu memperturutkan hawa nafsu. Manusia juga dipandang sebagai khalîfah di bumi, dan karenanya manusia bertugas memakmurkan bumi, menjaga dan merawatnya, apapun asal usul dan agamanya. Di sinilah inti dari persaudaran kemanusiaan yang dijaga masyarakat NU, karena sama-sama makhluk Tuhan, meskipun berbeda anutan agama dan kepercayaan yamg dipilihnya.

Ukhuwah Islamiyah  juga disadri oleh tradisi masyaraat NU karena di samping menjaga ukhuwah jenis ini diperintah banyak ajaran al-Qur’an dan hadits Nabi, juga karena disadari bahwa menjaga ukhuwah itulah yang akan bisa menyatukan potensi umat Islam. Dalam sejarah Islam juga sangat jelas disadari msyarakat NU, manakala terjadi banyak perbedaan, dan umat tidak bisa menjaga ukhuwah, yang terjadi adalah kehancuran.

Oleh karena itu, masyarakat NU juga menyadari ukhuwah tidak berrarti satu kata dan melebur menjadi satu. Ukhuwah adalah siap hidup berbeda, meskipun ada dalam satu bangsa, dalam satu agama Islam, dan satu makhluk manusia. Oleh karena itu, NU tidak pernah mau memaksakaan kehendaknya, misalnya tentang dasar Negara harus sesuai dengan NU seratus persen, meskipun dalam perdebatan-perdebatan perumusand asar Negara wakil-wakil NU memeliki pandangan tersendiri, dan itu syah bagian dari pendapat. Hanya saja, sebagai kesepakatan, NU juga mempertimbangkan kenyataan pendapat-pendapat lain, karena pendapat-pendapat itu dikemukakan oleh saudara-saudara sebangsa. 

Meski begitu, NU tidak kehilangan pijakannnya dari sudut Islam, yaitu  mau menerima dan membuat perjanjian hidup damai di dalam wadah Negara Indonesia berdasarkan Pancasila. NU tetap berposisi dan memeliki sikap yang kritis  untuk mengisi, mengoreksi, dan mengembangkan kehidupan bernegara. Sikap seperti itu ditempuh oleh NU karena dibimbing oleh sikap NU yang memandang bahwa setiap mereka yang menjadi bangsa Indonesia meski berbeda asal usul adat, bahasa, dan agama, adalah tetap sebagai saudara, yaitu saudara sebangsa. 

Di sini jelas, meski NU tetap memelihara dan menjaga identitasnya sebagai masyarakat yang berpijak dan berakidah Ahlussunnah wal Jam’ah, tetapi juga menyadari dimana mereka hidup, yaitu di bumi yang dihuni makhluk manusia, dalam bangsa yang bernama Indonesia, dan bagian dari umat Islam yang berbeda-beda madzhab dan anutan kepercayaannya. Kesadaran ini memetamorfosiskan diri dalam sikap hidup yang mengembangkan persaudaran kemanusaiaan, kebangsaan dan keislaman.

Lebih ari sekadar menjaga persaudaraan dalam tiga hal itu, NU juga mengembangkan sikap yang toleran, saling mengormati, dan adil. Oleh karena itu pula, formulasi dari tradisi NU yang dilakukan dari generasi ke generasi yang kemudian diformulasikan dalam Khittah NU, memberikan bimbingan agar masyarakat NU mengembangkan ukhuwah dengan tetap berpijak pada sikap kemasyarakatan yang tawasuth dan i’tidal, tawazun, dan tasamuh. (Sumber: Ensiklopedi NU


Terkait