Sebagai rangkaian agenda harlah ke-102 Nahdlatul Ulama (NU) pada 16 Rajab 1446 H akan diselenggarakan Kongres Pendidikan NU, yang rencananya akan dihelat pada 18-19 Januari 2025. Kongres Pendidikan NU ini menjadi sebuah hal yang penting, mengingat lembaga pendidikan NU terus berkembang dengan pesat dan tersebar ke seluruh penjuru Tanah Air.
Saat ini, tercatat sekira lebih dari 40.000 lembaga pendidikan NU berdiri dengan rincian 13.000 Raudhatul Athfal (RA), 26.000 pesantren, 10.000 madrasah dan sekolah, serta 300 perguruan tinggi (Warta NU Online, 3 Januari 2025).
Masih dalam artikel yang sama, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyampaikan Kongres Pendidikan NU ini merupakan forum untuk mengevaluasi, mendiskusikan problematika, dan menentukan langkah-langkah solutif yang perlu diterapkan dalam pembentukan karakter generasi penerus.
Dalam catatan sejarah, lembaga pendidikan awal yang dimiliki oleh NU ataupun dikelola oleh para tokoh NU, yakni pesantren dan madrasah, yang banyak dari pesantren dan madrasah tersebut telah berdiri lebih dari seabad yang lalu, dan bahkan usianya melebihi usia organisasi NU itu sendiri. Menyusul kemudian sekolah dan perguruan tinggi.
Lembaga terakhir yang penulis sebut, yakni perguruan tinggi ataupun universitas, baru terbentuk di periode menjelang tahun 1960-an. Berdirinya perguruan tinggi di bawah naungan NU ini mewujudkan impian para tokoh NU sejak dulu. Semisal Rais Aam KH A Wahab Chasbullah, yang pernah diejek perihal minimnya tokoh dari NU yang memiliki gelar akademik.
Juga KH A. Wahid Hasyim, yang pernah menyebutkan: mencari akademisi di dalam NU (tahun 1930-1950-an), ibarat mencari orang berjualan es pada waktu jam 1 malam. Tentu, ungkapan mencari orang berjualan es juga menyesuaikan konteks zaman tersebut. Sebab di masa kini selama 24 jam pun kita bisa dengan mudah mendapatkan es.
Lahirnya Universitas NU
Seiring dengan keberhasilan NU pada Pemilihan Umum tahun 1955 (NU kala itu menjadi partai politik), tokoh NU menduduki sejumlah posisi penting, baik di MPR/DPR, Konstituante, maupun kabinet/menteri. Keadaan ini kemudian mendukung kemajuan organisasi, baik di pusat maupun daerah. Sebagai tuntutan zaman, terkait bidang pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi dan lain sebagainya juga mulai diwujudkan oleh para pengurus NU serta Banom-banomnya.
Dalam konteks berdirinya perguruan tinggi NU, pada tahun 1958 berdirilah Universitas Nahdlatul Ulama (UNNU) Surakarta. Menyusul kemudian pada tahun 1959, berdiri kampus NU di Bandung dan Malang. Tentu ada andil besar dari PBNU dalam pendirian kampus yang tersebar di tiga kota itu. Pun secara struktur, pada awalnya kampus NU di tiga daerah tersebut baru berupa fakultas-fakultas, yang pusatnya berada di Jalan Kramat Raya 164 Jakarta (kantor PBNU).
Seperti yang termaktub dalam majalah Risalah Organisasi IPNU edisi ke-3 / Tahun I (November 1961), diterangkan mengenai kegiatan rapat lengkap tentang Universitas NU yang dilaksanakan di Jakarta pada 21 November 1961. Pertemuan tersebut dihadiri Rais Aam KH Wahab Chasbullah, Ketum KH Idham Chalid, Ketua PP Ma'arif AA Dijar, Ketum PP PMII H Mahbub Djunaidi, Ketum PP IPNU H Ismail Makky, dan lain-lain.
Adapun hasil dari rapat tersebut yakni pengesahan pengurus yayasan dan pimpinan universitas, serta pengesahan nama Universitas NU. Untuk nama-nama susunan pengurus yayasan dan pimpinan Universitas NU akan penulis terangkan di lain kesempatan.
Sejak saat itulah, NU memiliki universitas yang tekoneksi ke tiga kota besar, yakni Bandung, Malang, dan Solo. Prof Drs Soenardjo memimpin sebagai Presiden/Rektor UNU, didampingi R Karnandi Wargasasmita MA, Sc.
Sedangkan Fakultas-fakultas yang telah berdiri saat itu baru ada empat, sekaligus juga menjadi nama kampus, yakni Fakultas Hukum (FH) NU Bandung, Fakultas Ekonomi (FE) NU di Bandung, Fakultas Hukum Islam (FHI) / Kulliyatul Qadla NU Surakarta, dan Fakultas Tarbiyah wat Ta'lim (FTT) NU di Malang.
Keberadaan kampus-kampus tersebut juga menjadi sebuah jawaban bagi NU, untuk menyongsong tantangan menjelang pengesahan Undang-Undang No 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi, yang sebelumnya belum banyak terakomodir dalam UU No 4 tahun 1950 tentang Tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah.
Hal lain tentu terkait kebutuhan profesi dalam beberapa lembaga yang lambat laun, akan membutuhkan para lulusan dari kalangan perguruan tinggi Islam. Semisal hakim agama, guru agama, dan lain sebagainya. Ini yang kemudian membuat tingginya animo warga NU untuk berkuliah. Penulis mencatat, di FHI UNNU Surakarta, mahasiswa yang kuliah di sana tidak hanya warga dari Surakarta dan sekitarnya, tetapi juga ada yang berasal dari daerah luar wilayah tersebut, termasuk dari luar Jawa.
Ini yang membuat kota-kota tersebut juga dibanjiri calon intelektual muda NU dari berbagai daerah. Seperti yang kita ketahui, lahirnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) juga didukung kader dari ketiga kampus tersebut, yang menariknya kebanyakan bukan asli dari kota tersebut. Seperti Nuril Huda dan Laily Mansyur. Keduanya bukan dari Solo, tetapi Lamongan dan Kalimantan Selatan. Kemudian salah satu wakil dari Malang, M Cholid Narbuko yang merupakan putra KH Zubair Salatiga.
Singkat cerita, kala itu Universitas bak NU menjadi kawah candradimuka bagi para intelektual ataupun akademisi NU, selain tentunya kampus-kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang juga telah berdiri di berbagai daerah. Beberapa dari kader NU, meskipun kala itu masih minim, adapula yang kuliah di kampus Perguruan Tinggi Negeri favorit seperti UI, UGM, dan lain sebagainya yang makin melengkapi aneka sumber daya manusia yang dimiliki NU.
Sayangnya, seiring waktu, ketika Orde Baru berkuasa sejak tahun 1968, juga berpengaruh kepada perkembangan lembaga pendidikan di bawah naungan NU, termasuk perguruan tinggi NU. Beberapa kampus tersebut, adapula yang kemudian merger dengan kampus lain dan berganti nama seperti UNNU Bandung yang menjadi Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung di tahun 1969 dan FTT NU Malang menjadi Universitas Sunan Giri (UNSURI) dan pada perkembangannya menjadi Universitas Islam Sunan Giri Malang (UNISMA). Selain faktor politik, pengembangan kampus juga jadi alasan perubahan nama.
UNU di Masa Kini
Saat NU kembali ke khittah di era 1980-an (tak lagi jadi partai politik) dan juga era reformasi yang menjadi simbol runtuhnya Orde Baru, menjadi angin segar bagi lembaga pendidikan NU. Kampus-kampus NU menjadi bergeliat dan terus berkembang pesat hingga saat ini.
Maka, yang menjadi tantangan di masa kini bagi lembaga perguruan tinggi NU adalah, pertama bagaimana meningkatkan kualitas lembaga perguruan tinggi NU yang berpedoman pada Tridharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian. Ini menjadi penting, mengingat keberadaan perguruan tinggi mestinya memberikan sumbangsih positif atau kebermanfaatan bagi masyarakat, khususnya untuk warga NU, syukur-syukur bisa menjangkau ke semua elemen.
Hal ini juga perlu didukung dengan manajemen lembaga yang apik. Bila mengacu pada good governance, dalam hal ini, kinerja birokrat universitas yang baik harus memenuhi tiga asas penting, yakni kepentingan umum, keterbukaan, dan akuntabilitas.
Kedua, terkait dengan konektivitas yang perlu dibangun, baik antar-universitas NU sendiri maupun dengan lembaga lain. Jangan sampai, ada Universitas NU namun tidak memiliki hubungan yang bagus dengan struktural NU di wilayahnya, atau bahkan justru tidak menganggap lembaganya sebagai bagian dari NU!?
Jejaring yang dibangun antar-kampus NU juga dengan pihak lain ini menjadi sebuah keniscayaan, hidup di zaman global seperti sekarang. Kerjas ama dengan pihak lain juga memungkinkan untuk mengakses program pengabdian, beasiswa, penelitian, dan lain sebagainya yang dapat menunjang kemajuan kampus.
Ala kulli hal, semoga Kongres Pendidikan NU ini berjalan sesuai yang diharapkan, dalam arti memberikan dampak yang bagus untuk lembaga pendidikan di bawah naungan NU, serta memberikan maslahat yang lebih besar untuk NU, Indonesia, dan bahkan dunia.
Ajie Najmuddin, pemerhati sejarah NU, tinggal di Pengging Boyolali