Feminis Sufistik, Mendobrak Patriarki Pesantren: Telaah Novel Masriyah Amva
Kamis, 18 Februari 2016 | 09:44 WIB
Oleh Abdul Malik Mughni
Perkembangan gerakan feminisme di Indonesia telah berlangsung sejak abad 18-19 M. Hal ini ditandai dengan lahirnya semangat kesetaraan pendidikan yang digerakkan oleh sejumlah tokoh, diantaranya Raden Dewi Sartika yang membuka Sekolah Istri pada tahun 1904 di Jawa Barat; KH Bisri Syansuri yang mengawali pendirian pesantren khusus putri di tahun 1917, serta heroisme yang ditampilkan sejumlah tokoh dari abad ke-18, seperti Cut Nyak Dien (1848-1908) dari Aceh dan Raden Ajeng Kartini (1879-1904) dari Jepara yang tercatat sebagai pemantik dan pejuang gerakan perempuan di Indonesia.
Hingga
abad ke-21, perkembangan gerakan perempuan dengan semangat feminisme yang
beragam, semakin massif di Indonesia hingga melahirkan tindakan affirmative
action yang muncul menjelang pemilu 2004 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 tentang Pemilihan Umum, yang memberi ruang lebih bagi kaum perempuan untuk
terjun di dunia politik praktis.
Merujuk
pada Wiyatmi (2012; 12-13) gerakan
perempuan yang terus berevolusi di Indonesia sejak abad ke-18 tersebut
merupakan pertanda suksesnya pengaruh feminisme di Indonesia. Wiyatmi memaknai
feminisme sebagai doktrin-doktrin tentang persamaan hak bagi kaum
perempuan yang kemudian berevolusi
menjadi gerakan massif dan terorganisir.
Gerakan
feminisme di Indonesia mengalami sejumlah benturan kultural, sosial hingga spiritual.
Belum lagi benturan di kalangan sesama penganut dan pejuang feminisme yang
terkotak-kotak dalam perbedaan antara feminis liberal, feminis radikal, feminis
moderat dan feminis marxis. Menariknya,
feminisme di Indonesia yang berkultur religius, dengan didominasi oleh agama
Islam melahirkan model feminism baru yang bercorak Islami.
Dinamika
feminisme Islam di kalangan pesantren di Indonesia, ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah
pesantren putri pada masa prakemerdekaan hingga pascareformasi. Hal serupa
terjadi dalam semangat berkumpul dan berorganisasi hingga semangat kajian
keilmuan yang menggugat kemapanan kultur patriarkal pada teks-teks keagamaan.
Selain
secara kelembagaan dan organisasi, para tokoh pesantren juga tampil secara
personal dengan karya tulis yang menggugat kemapanan lelaki dalam kajian fiqh
klasik. Mereka menawarkan alternatif
pembaruan fiqih pro perempuan, seperti yang dilakukan oleh KH Masdar Farid Mas’udi, melalui bukunya Islam
& Hak-hak Reproduksi Perempuan, Dialog Fiqh Pemberdayaan (1997); KH. Husein
Muhammad, Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (2001);
Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan dalam Fikih Perempuan (2001); Siti
Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (2004); Maria Ulfah Anshor, Fiqih
Aborsi, Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, (2006);
Di
luar wacana kritis terhadap teks-teks keagamaan, sebagian tokoh pesantren
melakukan pembelaan terhadap hak-hak perempuan melalui karya sastra seperti
yang dilakukan Masriyah Amva yang mendobrak kemapanan kultur patriarkal di
Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, melalui kemampuannya memimpin dan memenej pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin Cirebon, sepeninggal suaminya, KH
Muhammad. Masriyah juga mengkritisi dominasi kultur patriarkal melalui sejumlah
kumpulan puisi serta novel sufistiknya ; Ketika Aku Gila Cinta (2007), Setumpuk
Surat Cinta (2008), Ingin Dimabuk Asmara (2009), Cara Mudah Menggapai Impian
(2008) dan Si Miskin Pergi ke Baitullah (2010), Bangkit dari Terpuruk (2010), Matematika
Allah (2012) dan Umrah Tiap Tahun (2012).
Inspirasi dari Pengakuan Tabu
Salah satu karya fenomenal Masriyah Amva adalah sebuah novel berjudul Bangkit Dari Terpuruk: Kisah Sejati Seorang Perempuan tentang Keagungan Tuhan, yang diterbitkan Kompas Gramedia pada tahun 2010. Meski berbentuk roman, narasi yang ditawarkan Masriyah dalam Bangkit Dari Terpuruk, boleh dikatakan berisi dokumen sosial yang merupakan mimesis atau cerminan kondisi pesantren Babakan Ciwaringin, di tahun 1980-an sampai awal tahun 2000-an. Meskipun, jika merujuk pada konsep A. Teew (2003: 180-196), bahwa berbeda dengan jurnalisme yang faktual dan menjadi gambaran realitas, setiap roman dan karya sastra selalu berisi jalin-kelindan antara kenyataan dan rekaan si pengarang, namun dalam Bangkit Dari Terpuruk, nampaknya Masriyah lebih mengedepankan realitas dalam tulisan romannya.
Sastra
sebagai sebuah karya fiksi kerap diidealkan sebagai refleksi dari sebuah
realitas sosial masyarakat, yang merepresentasikan kehidupan yang dilihat,
dirasakan dan diimajinasikan penulisnya. Semangat perlawanan perempuan terhadap
budaya patriarkal pesantren sangat terasa dalam novel berbentuk semi
autobiografi yang ditulis oleh peraih Anugerah SK Trimurti Award 2014 tersebut.
Meski tak berisi teori bertakik-takik tentang feminisme dan dalil-dalil Islam
soal kesetaraan gender, namun efek multiplyer dari kehadiran novel Bangkit dari
Terpuruk dan kiprah penuh Masriyah di pesantren Babakan Ciwaringin mampu
menggulirkan semangat pembaruan dan perubahan mindset kalangan pesantren
tentang perempuan. Menyimak sejumlah ulasan biografi Masriyah yang murni
dididik dari kalangan tradisional, pengaruh novel yang -boleh jadi- merupakan curahan hati yang
jujur dari seorang putri kiai kharismatik Cirebon itu menginspirasi para
perempuan. Tidak hanya perempuan pesantren, tetapi juga mengubah pandangan
stereotip dunia terhadap citra perempuan muslim (tradisional), khususnya di
Indonesia. Keputusan Masriyah untuk memimpin pesantren yang dihuni sekitar
1.200 santri seorang diri, tanpa menikah lagi sepeninggal suami keduanya, KH
Muhammad, tentu mengagetkan bagi sebagian kalangan tradisional.
Produktifitasnya menulis buku serta aktivismenya di bidang pemberdayaan
masyarakat bersama organisasi Muslimat NU dan sejumlah organisasi lain, di
tengah statusnya sebagai 'Nyai yang janda', tentu bukan pilihan mudah. Tak heran
jika kemudian majalah Time membuat ulasan khusus tentang sosok Masriyah pada
September 2009 silam.
Meskipun
telah banyak tokoh feminis di Indonesia, namun pilihan putri dari pasangan KH
Amrin Hannan dan Ny. Hj Rariatul Aini untuk menggerakkan kesetaraan gender di
lingkungan tradisional pesantren, tentu mendapat tantangan yang lebih berat
ketimbang menggerakkan wacana yang belum sepenuhnya diterima kalangan pesantren
itu, dari pusat kota. Terbitnya novel Bangkit Dari Terpuruk juga mengagetkan
bagi sebagian kalangan. Lantaran Masriyah mengungkapkan sebagian perjalanan
hidupnya yang penuh rintangan, sekaligus juga membuka 'aib kultur' patriarkal
di lingkungan pesantren tradisional. Di sisi lain, ia juga mengubah stigma
negatif masyarakat Indonesia terhadap status janda yang memilih mandiri, tanpa
menikah lagi. Padahal, dalam posisinya sebagai pemimpin pesantren, ditambah
statusnya sebagai trah ‘ningrat’ keturunan dari tokoh-tokoh pendiri pesantren
di Cirebon, bukanlah hal sulit untuk memilih pendamping hidup berikutnya.
Dalam
novelnya tersebut, Masriyah tanpa tedeng aling-aling menguraikan dilema
hidupnya sebagai putri kiai yang harus mengalami beratnya tantangan hidup
berumah tangga dengan dua kiai ternama, yang masing-masing memiliki problema
yang tak ringan. “Aku ingin punya makna! Keinginan inilah yang mendorongku
menuliskan pengalaman hidupku dalam menulis buku ini. Keinginan inilah yang
mendorongku menelanjangi diri dan orang-orang terkasih. Cerita-cerita
kehidupanku yang sangat pribadi, kutumpahkan untuk dikonsumsi publik. Rasa
sakit, malu dan beribu rasa lain berbaur menjadi satu. Harga diri menjadi tiada
arti,” kata Masriyah dalam pengantar novelnya.
Sebagai
putri kiai yang mendapatkan pendidikan pesantren klasik lalu mengikuti
pendidikan formal (sekolah dan perguruan tinggi) Masriyah merasakan betul
dilema dan tekanan lingkungan terhadap dirinya. Tekanan terhadap Masriyah
digambarkan semakin meningkat ketika ia menikah dengan seorang pelaku sufi yang
mengalami ‘jadzab’ atau ekstase kecintaan tertinggi kepada Ilahi, sehingga
‘mengabaikan’ kebutuhan keluarganya. Dalam kondisi tersebut, Masriyah sebagai
putri kiai yang sangat dihormati oleh lingkungannya harus rela ‘turun kelas’
berjualan krupuk demi memenuhi hajat hidupnya. Konflik batin yang dialami
Masriyah semakin meningkat ketika harus bercerai dari sang sufi. Ia semakin
terasing dari lingkungannya.
Uniknya,
Masriyah justru memuji sang sufi sebagai sosok yang mengajarkan kemandirian
bagi dirinya. Masriyah merasa dicintai sekaligus dijadikan murid oleh sang
suami yang secara kasat mata terkesan abai pada kebutuhannya.
Ia
juga menggambarkan bagaimana proses
transformasi semangat feminisme dan kesetaraan gender di lingkungan pesantren
Babakan Ciwaringin, yang pada masa itu (tahun 1980-1990-an) masih benar-benar
tradisional, bahkan masih kental dengan dikotomi antara pendidikan formal dan
pendidikan pesantren.
Saya
teringat, ketika mondok di pesantren Assalafie, salah satu pesantren dari
puluhan pesantren di Babakan Ciwaringin, di awal tahun 1998-an, sejumlah
pengajar dan santri di pesantren masih gemar menyindir para santri yang sekolah
formal, sebagai santri yang tak sepenuhnya berniat mencari ilmu agama. Hal itu
terjadi di lingkungan pesantren putra. Tetapi dalam hal isu kesetaraan
pendidikan bagi perempuan dan lelaki, di lingkungan pesantren saat itu sudah
relatif ramah. Hal itu ditunjukkan dengan diperbolehkannya santri perempuan
mengikuti sekolah formal di luar pesantren dan persamaan jenjang pendidikan
madrasah diniyah (madrasah khusus kajian pesantren) yang kurikulumnya tak jauh
berbeda dengan kurikulum di madrasah putra.
Namun,
dalam kajian-kajian fiqih klasik, tren kajian fiqih ramah perempuan belum bisa
diterima oleh kalangan kiai. Wacana politik kepemimpinan perempuan dan gugatan
terhadap kitab ‘uqudulujjain’ yang ramai diperbincangkan di Jakarta saat itu
mendapat penolakan dari kalangan kiai. Para kiai dan asatidz mengajarkan fiqih
klasik dengan perspektif yang patriarkal, bahwa lelaki lebih kuat dan lebih
tinggi kuasanya dari perempuan. Karenanya, perempuan tak berhak memimpin di
ranah publik. Paradigma tersebut, ternyata selaras dengan hasil Musyarawah
Nasional NU tahun 1998 di Lombok, yang (masih) menolak wacana presiden
perempuan. Jika akhir tahun 1990-an saja
masih terdapat dikotomi dalam hak domain publik antara lelaki dan perempuan,
maka dapat dibayangkan bagaimana stigma dan pandangan masyarakat pesantren di
tahun 1980-an terhadap perempuan.
Mengubah Stigma Tanpa Menghancurkan Tradisi
Dari paparan novel tersebut, terungkap begitu kuatnya dominasi patriarkal di lingkungan pesantren yang didobrak oleh Masriyah. ‘Pemberontakan’ terhadap tradisi dengan tetap bertahan di tengah lingkungannya. Meski kemudian ia berhasil ‘menaklukkan’ dominasi patriarkal, dengan menunjukkan kesuksesannya memimpin pesantren tanpa didampingi suami, namun tetap menjunjung citra kepesantrenan melalui sufisme yang dilakoni dan ditunjukkannya dalam karya sastra. Masriyah tampil sebagai pemenang dan membalik dominasi patriarkal. Sehingga mampu ‘berkuasa’ di atas para lelaki (santri dan pengurus pesantren) yang tetap taat dan hormat kepada sang Nyai.
Dalam
keberhasilannya itu, seraya tetap besikap rendah hati – dengan mengakui peran
para lelaki di lingkungannya- Masriyah telah melahirkan genre feminisme baru,
yakni feminisme pesantren. Meskipun tidak frontal dan cenderung mengalah, namun
pada akhirnya, feminisme pesantren yang
dilakoni Masriyah melampaui feminisme
liberal yang berorientasi pada kesejahteraan dan kesetaraan perempuan di segala
bidang, sekaligus membantah teori feminisme psikoanalisis Freud, yang
mengidentifikasi kelemahan perempuan sebagai akibat dari ‘ketiadaan penis’.
Dalam biografinya, Masriyah juga tidak masuk dalam kelompok feminisme radikal
yang meyakini bahwa patriarki ideologi harus dilawan dan dihapuskan sepenuhya,
juga berbeda dengan feminsime marxis yang berorientasi menyamakan kelas antara
lelaki dan perempuan (ragam teori feminisme ini bisa dibaca di Wiyatmi (2012:
19-23). Feminisme pesantren ala Masriyah justru mempertahankan tradisi ketaatan dan penghormatan terhadap lelaki, yang
terkesan mengalah pada tradisi patriarkal, namun justru disertai sikap mandiri
dan kemampuan bangkit menunjukkan eksistensi yang setara dengan kiai (lelaki)
tanpa mendapat resistensi berlebihan dari lingkungannya. Karena dilakukan
dengan berlandaskan ajaran Islam, khususnya perilaku sufistik.
Perilaku sufistik yang ditampakkan oleh Masriyah, seperti dalam pengakuannya, diinspirasi oleh suami pertamanya, KH Syakur Yasin yang mengajarinya sikap mandiri selama mereka ‘berkelana’ di Tunisia dan mendorong Masriyah untuk ‘berkelana’ lebih jauh hingga ke Roma, Italia. Puisi-puisi cinta yang dibubuhkannya dalam novel Bangkit Dari Tepuruk, –bisa jadi- merujuk pada laku sufistik perempuan yang ditelurkan oleh tokoh tabiít tabiín (generasi ke tiga setelah sahabat Nabi Muhammad Saw) Sayyidah Rabiáh Al-Adawiyah (94 H- 185 H) yang pertama kali meruaikan konsepsi cinta Ilahiah, cinta yang platonik di kalangan muslim. Namun begitu, dilihat dari sejumlah ‘tips’ menghadapi rintangan hidup yang ia uraikan dalam Bangkit Dari Terpuruk, konsepsi dan laku sufistik Masriyah Amva lebih lekat dengan ajaran sufi Imam Al-Ghazali (450-505 H./1058-1111 M). Sufisme yang mensyaratkan keseimbangan antara kehidupan duniawi dengan ukhrawi, menyelaraskan aturan syariat dengan hakikat, thariqah dan ma’rifat, serta mewajibkan proses berupa penempuhan keilmuan dan amaliah dalam laku riyadhoh (latihan) dan mujahadah (tekad yang bersungguh-sungguh) untuk meraih pencerahan (ma’rifat).
Pengaji di Wisdom Institute, Sekretaris Lembaga Kajian Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PWNU Banten, Ketua Lembaga Penerbitan, Pers & Kajian Strategis (LPPKS) PB PMII. Alumni Pesantren Assalafie, Babakan Ciwaringin, Cirebon. Bisa dihubungi melalui email: malikmughni@gmail.com dan twitter @tanmalika