Oleh Ahmad Zainul Hamdi
Lima tahun sebelum Reformasi ’98, tepatnya 10 Desember 1993, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerbitkan artikelnya yang berjudul “Megawati dan KLB PDI”. Artikel yang terbit empat hari setelah Kongres Luar Biasa Partai Demokrasi Indonesia (kini PDI-P), Surabaya 2-6 Desember 1993, yang berakhir kisruh itu jelas sekali berisi dukungan Gus Dur terhadap Megawati.
Artikel ini menunjukkan sikap resmi Gus Dur terhadap perlawanan Megawati bersama kelompoknya di PDI terhadap otoritarianisme rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Perlu diketahui bahwa dekade 80-an hingga 90-an awal merupakan puncak kekuasaan Orde Baru. Nyaris tidak ada tokoh dan kekuatan rakyat yang berani menantang rezim.
Awal 90-an, Gus Dur justru meletakkan dirinya sebagai pengkritik rezim yang paling keras. Ia muncul sebagai simbol perlawanan rakyat terhadap pemerintah. Ketika nyaris semua intelektual Muslim berhasil dirangkul pemerintah melalui wadah Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Gus Dur bergeming, justru semakin memperkeras kritikan-kritikannya.
Seperti sengaja menantang, setahun setelah pendirian ICMI, tepatnya tahun 1991, Gus Dur mendirikan dan memimpin Forum Demokrasi (Fordem) yang bisa dianggap sebagai embrio kekuatan civil society di Indonesia. Di dalamnya, berkumpul para aktivis dan intelektual yang selama ini dikenal sangat kritis kepada rezim. Dari sini, dimulailah kisah pencekalan Gus Dur di mana-mana. Sebagai icon kekuatan oposisi, forum-forumnya selalu dipenuhi oleh pengunjung yang hadir dengan antusiasme sekaligus perasaan takut.
Dalam konteks inilah, dukungan Gus Dur terhadap Megawati harus didudukkan. Artikulasi politik keluarga Soekaro yang telah lama direpresesi oleh rezim Orde Baru pada akhirnya muncul melalui sosok Megawati. Ketika dalam sebuah KLB yang kisruh dan penuh kekerasan, Megawati yang dikehendaki mayoritas peserta Kongres hendak dijegal pemerintah melalui intervensi yang brutal, Gus Dur menunjukkan sikapnya melalui artikel di atas.
Ketika pemerintah tampak mau menerima keterpilihan Megawati sebagai Ketua Umum PDI tapi dengan memasang “orang-orang pemerintah” di sekitarnya, Gus Dur menulis: “Dari sudut pandang pihak pemerintah ini secara objektif haruslah dikembangkan sikap untuk mengakomodasikan kenyataan faktual akan dukungan besar warga masyarakat kepada putri Bung Karno itu. Artinya tidak hanya sekedar menerima dia sebagai ketua umum, melainkan memberikan porsi dan tempat yang layak kepada para pendukungnya. Tanpa hal itu, dalam praktek pemerintah telah mengingkari konstitusi PDI dan mencoreng Demokrasi Pancasila sendiri.”
Bahkan, Gus Dur juga secara implisit mendorong Megawati agar tidak tunduk pada skenario “kompromi” yang ditawarkan rezim. Jika Megawati menerimanya, hal itu berarti “memberikan toleransi kepada oportunisme dan praktek-praktek politik kotor untuk tetap berkembang di lingkungan PDI.”
Sejak saat itu, Gus Dur-Megawati tidak hanya menjadi sepasang sahabat, tapi juga icon gerakan civil society Indonesia. Gus Dur bergerak melalui NU dan Fordem-nya, Megawati menggalang perlawanan melalui PDI-nya. Kedekatan dua orang ini tetap terjaga hingga detik-detik akhir kekuasaan rezim Orde Baru yang akhirnya tumbang oleh gelombang Reformasi 1998. Bersama dengan Amien Rais, mereka bisa dikatakan sebagai imam dari gerakan Reformasi saat itu. Sejarah akhirnya mencatat, Gus Dur dan Megawati berpasangan menjadi presiden dan wakil presiden, sedang Amien Rais menjadi ketua MPR.
Sebuah ending yang indah bukan? Sayangnya, ini bukan akhir kisahnya. Berkali-kali, Gus Dur menyatakan bahwa dalam politik, tidak ada kawan abadi, karena yang abadi adalah kepentingan. Karena kepentingan itulah pertemanan antara Gus Dur dan Megawati pecah di tengah jalan. Buku Menjerat Gus Dur yang ditulis Virdika Rizky Utama telah membuka bagaimana kepentingan oligarki yang diorkrestrasi oleh Fuad Bawazier, Akbar Tanjung, Amien Rais, Arifin Panigoro dan sisa-sisa kekuatan rezim Orde Baru lain akhirnya berhasil “membujuk” Megawati untuk hadir di MPR guna menjungkalkan sahabat yang telah lama mendukung dan melindunginya.
Huntington dalam Political Order in Changing Societies menyatakan, transisi politik pasca-reformasi penuh dengan risiko. Tidak jarang transisi politik pasca-reformasi tidak mengarah pada demokrasi, tapi justru kembalinya otoritarianisme lama dalam bentuk baru. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, kekuatan masyarakat tidak terorganisir secara baik, bahkan tidak jarang antarkelompok dalam masyarakat memiliki isu dan kepentingan politik sendiri-sendiri yang saling bertentangan. Kedua, kekuatan rezim lama beserta infrasturuktur politik yang menopangnya serta nilai-nilai politik yang menjadi basis ideologisnya masih ada. Kekuatan lama sewaktu-waktu masih bisa mengkonsolidasikan kekuatannya kembali dan kemudian membelokkan arah reformasi.
Buku Huntington yang terbit di awal 70-an itu seakan secara khusus ditulis untuk menggambarkan wajah politik Indonesia pasca-Reformasi ‘98. Kekuatan reformis menyimpan kepentingan politiknya sendiri-sendiri yang bahkan sama sekali tidak terkait dengan agenda reformasi politik. Sementara kekuatan rezim lama tidak hanya berhasil mengkonsolidasi kekuatannya kembali, namun juga bersekutu dengan sebagian kelompok reformis untuk membajak reformasi dengan iming-iming kekuasaan sekalipun hal itu berarti menoleransi oportunisme dan berbagai praktik politik kotor.
Di dalam artikel yang sama, Gus Dur menulis sebuah kalimat yang terasa sangat profetik: “Efektivitas ‘arus bawah’ dalam percaturan politik kita ternyata masih belum dapat menandingi ‘pola pembinaan’ yang diterapkan oleh aparat pemerintah atas gerakan kemasyarakatan.”
Penulis adalah dosen UIN Sunan Ampel Surabaya