Masalah kepemimpinan adalah masalah klasik umat Islam. Di era modern ia bersinggungan dengan konsep demokrasi.
Wafatnya Rasulullah sontak membuat para sahabat bertanya-tanya tentang siapa pemimpin umat Islam ke depan. Langkah sigap diambil oleh Umar bin Khattab merespons pertemuan tertutup petinggi Anshar di pekarangan Tsaqifah bani Sa’idah. Mereka menunjuk Sa’d bin Ubadah (w. 636M) yang dahulu adalah pemimpin suku Khazraj di Madinah untuk menjadi pemimpin pasca wafatnya Rasulullah. Mendengar hal itu, Umar gusar dan serta merta menarik Abu Bakar dari kerumunan ta’ziyah Rasulullah untuk menghentikan pertemuan Tsaqifah.
Umar dan Abu Bakar mendatangi mereka dan meminta agar tidak meneruskan pembahasan itu kecuali di majelis yang tepat dan bukan di pekarangan seperti ini. Mereka menolak permintaan Umar dan meminta agar kalau tidak setuju dengan pengangkatan Sa’d bin Ubadah, maka biarkan Anshar punya pemimpin sendiri dan Muhajirin punya pemimpin sendiri. Umar pun marah, “Tidak mungkin satu pedang dimasukkan ke dalam dua selongsong!” Umat Islam satu dan pemimpinnya juga satu. Umar lantas mengajak berbaiat kepada Abu Bakar yang kemudian diikuti oleh yang lain hingga akhirnya pengangkatan Abu Bakar tidak terbendung.
Pengangkatan Abu Bakar yang mendadak mengundang reaksi dan friksi di kalangan sahabat. Atau setidaknya di kemudian hari ada yang mempermasalahkan karena ada banyak sahabat yang pernah menyaksikan Rasulullah di lembah Ghadir Khum berkata, “Barang siapa yang aku adalah junjungannya (mawla), maka Ali adalah junjungannya”. Hadits sahih ini menjadi dasar pandangan kepemimpinan jatuh ke Ali bin Abi Talib bukan ke Abu Bakar. Mereka juga berpandangan bahwa kepemimpinan Islam untuk selanjutnya ada di tangan Ahlul Bait sebagai pewaris ‘ismah rasulillah. Pandangan ini dianut oleh kelompok Syiah sedangkan yang menerima kepemimpinan Abu Bakar disebut dengan Sunni atau Ahlussunnah wal Jama’ah.
• Korelasi Islam dengan Ideologi Lain (1): Kapitalisme
• Islam dan Korelasinya dengan Ideologi lain (2): Sosialisme
Kelompok Syiah yang menetapkan kepemimpinan secara genetik di kemudian hari, di masa kini, membentuk negara Iran dengan sistem republik yang menunjuk pemimpin lewat pemilu, artinya demokratis. Sementara di kalangan Sunni berlaku sistem monarki yang mewariskan kepemimpinan kepada anak raja tanpa melalui prosedur pemilu. Sebuah anomali yang menarik.
Meski banyak berlaku sistem republik di negara-negara mayoritas Sunni kini, setidaknya dahulu mereka semua mengikuti sistem kerajaan dan masih tersisa beberapa hingga kini seperti Arab Saudi, beberapa negara teluk dan di Asia Tenggara. Kelompok Sunni yang mendukung legalitas kepemimpinan Abu Bakar dan Khulafaurrasyidin berdasarkan baiat oleh rakyat atau penetapan oleh dewan terpercaya (Ahlul hill wal aqd) yang “republik demokratis”, semenjak kekuasaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan (w. 680M) kepemimpinan tidak lagi melalui pemilihan tetapi pewarisan raja kepada anak.
Sementara Syiah yang semula melalui pewarisan Ahlul Bait hingga imam ke-11, kini di era modern melalui pemilihan umum untuk kepala pemerintahan (presiden) sedangkan kepala negara dan pemimpin agama tertinggi dipilih oleh dewan ulama.
Kepemimpinan apakah ditentukan secara genetik (ahlul bait) seperti konsep Syiah, atau pilihan rakyat menjadi bahan perdebatan. Ibnu Taymiyah mengatakan bahwa kepemimpinan ditentukan oleh lembaga berwenang (ahlus syaukah) yang dengan mandatnya sang terpilih memiliki kapasitas (qudrah) dan kekuasaan (sultan) yang wajib ditaati oleh rakyat. Pandangan ini sejalan dengan demokrasi yang mengharuskan keberadaan lembaga berwenang untuk mengangkat pemimpin. Dukungan harus dari mayoritas tokoh bukan dari kelompok pendukungnya semata, kata Anwar Qasim al-Khudari dalam islamicsham.org.
Contoh dukungan mayoritas adalah pengangkatan Umar bin Khattab. Abstainnya Sa’d bin Ubadah tidak menggugurkan legalitas Umar karena sudah terpenuhi dukungan mayoritas. Ibnu Taimiyah tidak mempermasalahkan sistem kerajaan karena hal itu (pewarisan) didukung oleh mayoritas tokoh masyarakat atau ulama dan bukan sekadar kelompok loyalis semata (al-muwalun). Sebab jika demikian dia kehilangan kapasitas memimpin.
Bagi orang Syiah, pewarisan tahta hanya untuk Ahlul Bait bukan untuk penguasa yang mampu menaklukkan lawan politik dan menundukkan rakyat di bawah kekuasaannya. Apa yang dilakukan oleh Mu’awiyah dengan mengawali pewarisan tahta kepada Yazid anaknya dan memulai monarkisme dalam Islam, tertolak dengan sendirinya. Selain bukan dari Ahlul Bait yang berhak atas kepemimpinan umat Islam, dia juga mengabaikan aspek prosedur musyawarah dalam pengangkatan pemimpin.
Masalah kepemimpinan adalah masalah klasik umat Islam. Di era modern ia diatasi dengan demokrasi yang intinya adalah mengatur perkara kepemimpinan. Bagi Fahmi Huwaidi, penulis buku al-Islam wad Dimokatiyyah asal Mesir, demokrasi adalah keharusan dalam menata kehidupan kini. Inti atau padanan dari demokrasi adalah musyawarah yang diperintahkan oleh Islam. Sebagaimana kita tidak bisa hidup tegak tanpa Islam, pengelolaan kehidupan gagal tanpa demokrasi (bighayr Islam tuzhaq ruh ummah, bighayr dimuqratiyyah tuhbatu ‘amaluha). Demokrasi adalah keharusan: ma’lumun bid darurat, kata Huwaydi dalam pengantar bukunya.
Penolakan terhadap demokrasi lantaran menganggapnya ideologi yang menjadikan manusia tunduk pada keputusan manusia dan bukan pada keputusan Tuhan. Oleh Yusuf al-Qardawi, pemimpin ulama dunia dan pemuka Ikhwanul Muslimun, anggapan itu diluruskan: tidak tepat membandingkan keputusan manusia dengan Tuhan. Yang tepat adalah membandingkan keputusan pemimpin demokratis dengan pemimpin otoriter. Siapa pun Muslim tidak boleh melanggar perintah agama. Demokrasi Islam tidak untuk menghalalkan yang jelas-jelas dilarang agama tetapi untuk mengatasi masalah dan mengelola kehidupan melalui musyawarah bersama.
Masalah kehidupan 90 persen lebih adalah perkara ijtihadiyah yang melibatkan banyak pihak. Untuk itu demokrasi menjadi niscaya karena ia memberi ruang bagi semua untuk terlibat. Demokrasi mengatur proses pergantian kepemimpinan secara damai dan menjadikan yang terpilih tunduk pada pengawasan. Keduanya tidak hanya maslahat tetapi juga sesuai perintah agama. Keberadaan parlemen yang merepresentasikan rakyat yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu tidaklah berbeda dengan Ahlul Hill wal ‘Aqd di zaman sahabat. Saat khalifah Umar sakit, dia menunjuk 6 orang untuk bermusyawarah dalam penentuan penggantinya kelak. Penunjukan saat itu mungkin dan pada zaman dahulu mungkin karena jumlah manusia sedikit dan mereka saling kenal dan hafal kualitas satu sama lain. Sedangkan sekarang, penunjukan tidak mungkin karena tidak tampak siapa yang paling unggul secara ilmu dan moralitas. Untuk itu pemasrahan lewat pemilu adalah prosedur yang bisa diterima.
Demikian juga dengan pembatasan kepemimpinan dalam 2 periode juga sesuai dengan asas maslahah. Tidak ada dalam Al-Qur’an dan hadits yang menetapkan lama masa kepemimpinan. Dengan demikian ia perkara yang dasarnya adalah boleh (al-asl fi al-ashya al-ibahah). Ia bukan perkara tawqifi meski baik Nabi maupun Khulafaurrasyidin memimpin seumur hidup. Apa yang berlaku saat itu sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Secara khusus, kepemimpinan Rasulullah tidak bisa disamakan dengan yang lain. Beliau adalah nabi utusan Allah yang tidak mungkin diganti oleh yang lain dalam memimpin umat Islam. Sepanjang hidupnya selalu menjadi imam shalat kecuali saat sakit di akhir hayatnya diganti oleh Abu Bakar atas permintaan beliau. Maka kepemimpinan beliau hingga akhir hayat ada kaitannya dengan posisi beliau sebagai utusan Allah dan penerima wahyu sepanjang hidup. Berbeda dari kepemimpinan urusan duniawi yang bisa dibatasi, diubah, diperpanjang, dan dipersingkat sesuai kebutuhan dan kesepakatan. Pembatasan masa berkuasa adalah tepat sesuai kaidah masalih mursalah dan kebanyakan perkara politik ada di bawah kaidah itu.
Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya