Opini

Madrasah Hadramaut Habib Abu Bakar al-Adni dan Semangat Moderasi di Nusantara

Ahad, 31 Juli 2022 | 20:30 WIB

Madrasah Hadramaut Habib Abu Bakar al-Adni dan Semangat Moderasi di Nusantara

Habib Abu Bakar al-Adni mengembangkan Madrasah Hadramaut dengan semangat moderasi, sebuah paradigma yang juga mengakar di Nusantara. (Ilustrasi diolah dari alhabibabobakr.com)

Habib Abu Bakar al-Adni bin Ali al-Masyhur menyusun sebuah kitab berjudul al-Dalail al-Nabawiyah al-Mu’abbirah ‘an Syaraf al-Madrasah al-Abawiyah. Kitab ini merupakan hasil pemikiran filosofis tentang pentingnya konsep Madrasah Abawiyah dan bagaimana menerapkannya dalam lembaga pendidikan. Pada bagian akhir kitabnya, Habib Abu Bakar al-Adni menyebut bahwa Madrasah Hadramaut adalah representasi dari Madrasah Abawiyah itu.

 

Perlu ditekankan bahwa istilah “Madrasah Hadramaut” yang dirumuskan kembali oleh Habib Abu Bakar al-Adni ini tidak menunjuk langsung sebuah lembaga di Hadramaut. Namun bermula dari Hadramaut sebagai sebuah wilayah dengan segala karakteristik pendidikan yang berlaku di sana, lalu dikonsepsikan atau dirumuskan kembali dalam aplikasi pada lingkup keluarga, masyarakat, lalu lembaga pendidikan.

 

Maka pada bukunya, mula-mula Habib Abu Bakar al-Adni menyoroti model pendidikan yang berlaku di Hadramaut. Model pendidikan yang dimaksud bukanlah yang telah terpraktikkan di lembaga-lembaga resmi pendidikan di wilayah itu. Namun bagaimana konsep itu berjalan pada hubungan guru dengan murid, orang tua dengan anak, atau halaqah-halaqah yang ada di masjid atau zawiyah–suatu ruangan di pojok masjid-masjid, dipergunakan untuk belajar utamanya sebelum berdirinya lembaga-lembaga pendidikan di Hadramaut (lihat: al-Khafaya fi al-Zawaya).

 

Secara panjang lebar, Habib Abu Bakar al-Adni menarasikan karakteristik Madrasah Abawiyah tersebut. Secara ringkas karakteristik itu adalah sebagai berikut: pertama, sambungnya transmisi sanad keilmuan (al-Isnad wa al-Asanid). Habib Abu Bakar al-Adni dalam hal ini menekankan pentingnya sanad dalam pendidikan, terutama dalam hal-hal ilmu syariat.

 

Kedua, pembiasaan ibadah dan pendidikan karakter pada masa pertumbuhan (al-ta’abbud wa al-suluk fi adab al-tansyiah). Habib Abu Bakar al-Adni dalam poin ini merilis tentang beberapa dalil dan argumentasi tentang pentingnya pembiasaan ibadah dan akhlak yang baik sejak dini.

 

Ketiga, pelestarian terhadap ajaran dan tradisi baik leluhur. Poin ini merupakan hal inti dalam konsep yang beliau tawarkan, karena itulah beliau menamakannya dengan Madrasah Abawiyah (Madrasah para Leluhur). Telah maklum bahwa leluhur yang dimaksud adalah keturunan atau dzurriyah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadramaut adalah wilayah yang banyak dihuni oleh, sejak hijrahnya Ahmad bin Isa al-Muhajir dari Bashrah ke Hadramaut pada abad ke-4 Hijriah. Melalui validasi nasab, Sayyid Ahmad bin Isa adalah keturunan ke-9 Nabi Muhammad dan merupakan salah seorang naqib (ketua keluarga keturunan Nabi).

 

Keempat, melakukan antisipasi terhadap pengaruh politik dalam dunia pendidikan (al-manhaj al-musayyas). Terdapat potensi yang dimaksud oleh Habib Abu Bakar al-Adni bukanlah pengaruh politik secara umum, namun maksudnya adalah pengaruh gesekan dan konflik politik yang bisa saja berpengaruh tidak baik terhadap dunia pendidikan. Karena yang beliau contohkan adalah pengaruh imperialisme yang berdampak pada campurnya siswa dan siswi dalam satu ruangan kelas, pengurangan materi ilmu syari’ah di sekolah-sekolah, dikotomi antara pendidikan (tarbiyah) dan pengajaran (ta’lim) dalam semua kurikulum sekolah.

 

Kelima, penguatan learning society. Pendidikan “konsep leluhur” (abawiyah) telah mengkristal menjadi tradisi baik dan menciptakan iklim pendidikan yang ideal di Hadramaut. Peran serta masyarakat dalam membentuk karakter peserta didik adalah sebuah keniscayaan dengan tetap mengantisipasi pengaruh tidak baik dari luar sebagai dampak globalisasi dan kemajuan teknologi informasi.

 

Keenam, konsep pendidikan idealnya dihubungan dengan Fiqh Tahawwulat. Habib Abu Bakar al-Adni adalah seorang pemikir muslim yang berkonsentrasi pada fiqih dinamisasi zaman atau fiqh tahawwulat. Beliau melakukan otokritik terhadap pemahaman umat Islam selama ini bahwa rukun-rukun agama terbatas pada tiga hal, yaitu rukun iman, Islam, dan ihsan. Padahal sesuai hadits Jibril, setelah Nabi Muhammad ditanya tentang iman, Islam, dan ihsan, beliau setelah itu ditanya tentang tanda-tanda kiamat. Poin-poin inilah yang selama ini “lepas” dari fokus kajian umat. Padahal semua hal yang terjadi di dunia ini tidak lepas dari dinamisasi zaman. Sementara ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi memiliki sekian penjelasan tentang dinamisasi zaman itu. Habib Abu Bakar al-Adni membagi masa umat Nabi Muhammad menjadi lima, diawali dengan masa pengabaran (istikhbar) dan diakhiri dengan masa pembuktian (istitsmar) dari hal-hal yang sudah dikabarkan oleh Nabi Muhammad.

 

Ketujuh, universalitas konsep Madrasah Abawiyah. Al-Adni menekankan bahwa konsep pendidikan ini telah terbukti diterima masyarakat global. Diawali dengan hijrahnya Ahmad bin Isa dari Bashrah ke Hadramaut untuk membawa ajaran leluhur, lalu didakwahkan di Hadramaut. Pada era berikutnya beberapa bukti mendalilkan bahwa penyebaran Islam di berbagai wilayah di dunia adalah berkat misi dakwah para da’i Hadramaut. Misalnya di kawasan Sawahil, Juzrul Qamar, Tanzania, Afrika Selatan di benua Afrika; serta pesisir India, kepulauan Indonesia, Malaysia, dan Singapura di benua Asia. Di daerah-daerah tersebut sampai saat ini terdapat jejak-jejak dakwah para da’i Hadramaut, baik berupa lembaga pendidikan, keyakinan mazhab teologi, pengamalan mazhab fiqih, dan pelestarian tradisi-tradisi pembacaan maulid, ratib, dan sebagainya.

 

Pada bagian berikutnya, al-Adni mengkaji fenomena konsep madrasah ini dari yang asalnya “da’wah ila al-dzat” menuju “al-muassasat”, terutama sejak maraknya pendirian lembaga pendidikan di Hadramaut pada 1990-an. Maksudnya adalah bagaimana menerjemahkan pendidikan dan dakwah Islam masyarakat Hadramaut itu dalam kurikulum di lembaga-lembaga pendidikan. Terdapat dua hal yang kemudian menurutnya mesti diperhatikan saat ini, yaitu (1) madrasah sebagai buah pemikiran dan strategi dan (2) metode sebagai cara dan pengajaran.

 

“Jahitan” masing-masing poin dalam konsep itu adalah kecermatan dalam menganalisis isu-isu agama, sejarah, dan politik. Dengan terus mengembangkan dan mengkaji masing-masing isu tersebut, generasi muslim akan terus tersambung dengan prinsip Islam, baik secara aqidah, akhlak, ushul, dan fiqih.

 

Habib Abu Bakar al-Adni menjelaskan, kajian tentang substansi pendidikan itu harus selalu memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

 
  1. Kajian yang memperhatikan dinamisasi zaman dan tanda-tanda kiamat (fiqh tahawwulat).
  2. Kajian yang memperhatikan sejarah dinamisasi politik umat.
  3. Kajian yang memperhatikan metode berbasis dakwah, syariah, mazhab, shufi, salaf, dan hubungannya dengan “tekanan” politik luar, baik dalam bentuk penjajahan fisik atau lainnya.
 

Setelah melalui penelusuran dan kajian panjang, baik tentang tantangan penerapan konsep pendidikan ini, percobaan pada lembaga pendidikan dan bidang-bidang keilmuan yang dipelajari, Habib Abu Bakar al-Adni menutup kajiannya dengan logo atau syi’ar bagi konsep Madrasah Hadramaut yang beliau kembangkan. Beliau sekaligus menjelaskan makna masing-masing bagian dari logo tersebut.

 

Hubungannya dengan Nusantara

Filosofi Madrasah Hadramaut adalah moderasi itu sendiri. Suatu tema yang sedang makin dikampanyekan dalam dunia pendidikan di Nusantara. Sementara pendidikan dan dakwah di Nusantara erat kaitannya dengan Hadramaut, baik secara nasab keturunan pegiatnya maupun nasab keilmuannya.

 

Pertama, nasab keturunan pegiat pendidikan dan dakwah di Nusantara, jauh sejak era Wali Songo di Jawa hingga semangat dakwah dan pendidikan ala Wali Songo yang dikembangkan di pondok-pondok pesantren dan oleh para kiai di Nusantara.

 

Membicarakan Wali Songo di Indonesia tak akan lepas dari nama Sayyid Abdul Malik. Beliau adalah keturunan ke delapan dari al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa, seorang sayyid keturunan kesembilan Nabi Muhammad yang berhijrah dari Bashrah, Irak ke Hadramaut, Yaman pada abad ke empat Hijriah.

 

Sayyid Abdul Malik bergelar al-Muhajir al-Tsani atau orang kedua dari keturunan Nabi yang berhijrah – setelah Imam Ahmad bin Isa. Apabila Imam Ahmad bin Isa berhijrah dari Basrah, Irak ke Hadramaut sehingga di salah satu wilayah Yaman ini banyak terdapat keturunan Nabi Muhammad, maka di masa berikutnya Sayyid Abdul Malik berhijrah dari Hadramaut ke India, sehingga di India lalu Asia Tenggara banyak terdapat keturunan Nabi Muhammad, termasuk para dai di Nusantara yang dikenal dengan nama Wali Songo.

 

Sebab menikah dengan putri bangsawan Naserabad (Nashr Abad) yang bermarga Khan, Sayyid Abdul Malik berhak digelari Khan. Namun mengingat Sayyid Abdul Malik berasal dari keturunan al-Husain putra Fathimah binti Rasulillah, maka mereka menambahkan kata “Azmat” sebelum “Khan”. Dalam bahasa Urdu India, “Azmat” sama dengan “Syarif”, yaitu mulia. Maka terbentuklah sebuah kalimat “Azmatkhan”.

 

Sayyid Abdul Malik Azmatkhan sendiri merupakan penyebar Islam di India. Beliau memiliki banyak putra. Putra sulungnya, Abdullah, pernah menjadi menteri dan delegasi Kerajaan Naserabad ke negeri-negeri timur. Bahkan beliau sempat bersaing dengan Marcopolo di daratan China. Abdullah Azmatkhan memiliki seorang putra bernama Ahmad Jalaluddin.

 

Muhammad Mais bin Hasan dalam Keturunan Sebagian Besar Wali Songo (artikel dimuat Media Umat, Edisi 66/tahun III) menjelaskan, salah satu cucu Abdul Malik bin Alawi ini merupakan salah satu dari Wali Songo yang masyhur di Indonesia. Dari Ahmad bin Abdullah bin Abdul Malik ini pula lahir keturunan Azmatkhan di Indonesia, melalui dua orang putra beliau, yakni Husain Jamaluddin dan Sulaiman al-Baghdadi. Sayyid Jamaluddin al-Husain oleh sebagian orang Jawa disebut Syaikh Jumadil Kubra. Sedangkan saudaranya, Sulaiman, diberi nama al-Baghdadi karena diprediksi pernah tinggal lama di Baghdad

 

Al-Faqih al-Muqaddam yang masyhur itu memiliki hubungan dengan Wali Songo. Secara garis keturunan, al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Alwi Ba ‘Alawi memiliki paman bernama Sayyid Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath. Sayyid Alwi atau Ammul Faqih (paman dari al-Faqih) yang wafat di Tarim pada 613 H ini memiliki seorang putra bernama Sayyid Abdul Malik. Itu artinya, al-Faqih al-Muqaddam adalah sepupu dari Sayyid Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath, kakek kelima Sunan Ampel Surabaya; kakek keenam Sunan Bonang dan Sunan Drajat atau Sayyid Qasim, demikian pula Sunan Giri atau Muhammad Ainul Yaqin yang merupakan “dua pupu” Sunan Ampel; kakek ketujuh Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. Demikian pula anggota Wali Songo yang lain, mereka bernasab kepada Sayyid Abdul Malik bin Ammul Faqih ini, dan tentunya kepada al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

 

Hubungan ini berlanjut hingga jauh zaman pada gelombang kedua imigrasi Hadarim ke Nusantara setelah ditemukannya kapal uap. Para habaib membanjiri Nusantara dan berperan besar dalam dunia pendidikan dan dakwah di tanah kepulauan ini.

 

Kedua, nasab (baca: sanad) keilmuan. Hubungan kedua wilayah dalam dunia ilmu dan pendidikan dapat dilihat dalam ranah literasi. Beberapa kitab karya ulama Hadramaut familiar di kalangan pelajar muslim (santri) di Nusantara dan dipelajari di pesantren-pesantren. Misalnya adalah kitab Sullamut Taufiq karya Syaikh Habib Abdullah bin Thahir al-Haddad, kitab Safinatun Najah karya Syaikh Salim bin Sumair al-Hadrami, kitab Busyral Karim karya Syaikh Ba’asyin, kitab Bughyatul Mustarsyidin karya Sayyid Abdurrahman al-Masyhur, Nashaih Diniyah karya Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad, dan sebagainya.

 

Hubungan keilmuan ini telah melahirkan corak yang sama dalam moderasi ideologi, mazhab, dan tradisi masyarakat muslim Hadramaut dan Nusantara. Dalam ideologi, mayoritas umat Islam Hadramaut dan Nusantara bermazhab Asy’ari Maturidi. Dalam mazhab fiqih bermazhab Syafi’i, dengan mengakui keberadaan mazhab-mazhab lainnya. Sementara dalam tradisi dan amaliah keseharian, masyarakat Hadramaut dan Nusantara juga mengamalkan amaliah yang sama. Misalnya pembacaan maulid Nabi, baik ad-Daiba’i karya Sayyid Abdurrahman Ad-Daiba’i dari Yaman, Simtud Dhurar karya Habib Ali bin Husen al-Habsyi dari Hadramaut; pembacaan Ratibul Haddad, al-Wirdu al-Lathif yang disusun oleh al-Imam Abdullah bin Alwi al-Haddad, “hari raya” 7 Syawal yang dikenal masyarakat Hadramaut dengan istilah ‘Uwadh. Termasuk pula pembacaan tahlil sampai 7 hari kematian. Bahkan menurut salah satu kajian NU Klaten, penyusun bacaan tahlil mengerucut pada nama, yaitu al-Bushiri dan al-Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dari Tarim, Hadramaut.

 

Hubungan jalur sanad pendidikan ini sebenarnya telah diwujudkan di Nusantara dengan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan “bernuansa” Hadramaut, baik yang telah lama berdiri maupun masih relatif baru. Misalnya yang telah lama berdiri adalah ratusan pesantren al-Khairat di Palu, yang didirikan oleh Sayyid Idrus bin Salim (SIS) al-Jufri, seorang pria kelahiran Taris, Hadramaut dan pernah diusulkan menjadi pahlawan nasional Indonesia pada era Mensos Salim Segaf al-Jufri. Termasuk pula pesantren Darul Hadits al-Faqihiyah Malang, pesantren yang telah berusia hampir satu abad, didirikan oleh Habib Abdul Qadir Bil Faqih, alumni Rubath Tarim, Hadramaut. Sementara yang bersifat formal adalah lembaga pendidikan al-Khairiyah yang berafiliasi kepada Alawiyin dan lembaga pendidikan al-Irsyad yang berafiliasi kepada masyayikh.

 

Sementara lembaga pendidikan yang relatif baru adalah pesantren-pesantren yang didirikan oleh masyarakat Arab keturunan Hadramaut atau alumni lembaga pendidikan di Hadramaut. Misalnya adalah pesantren Darul Lughah wa ad-Da’wah yang kini diasuh oleh Habib Zein bin Hasan Baharun, pesantren al-Fachriyah Bogor pimpinan Habib Jindan bin Jindan alumni Darul Musthafa Hadramaut, dan pesantren al-Bahjah Cirebon yang dididirikan oleh Ustadz Yahya Zainul Ma’arif (Buya Yahya) yang merupakan alumni Universitas al-Ahgaff Hadramaut.

 

Menurut Zainal Abidin Bil Faqih (2018), di STAI Dalwa Bangil Pasuruan, pemikiran pendidikan Habib Abu Bakar al-Masyhur memang menjadi salah satu unsur pembangunan epistemologi keilmuannya, digabungkan dengan pemikiran pendidikan lainnya, yaitu Sayyid Naqib Alatas dan Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki.

 

Lembaga-lembaga pendidikan tersebut telah mengkaji kitab-kitab ulama Hadramaut dan mengamalkan tradisi khas masyarakat Hadramaut. Meski – sejauh pengamatan penulis – lembaga tersebut belum secara resmi menyebutkan “Madrasah Hadramaut” sebagai pijakan kurikulumnya. Hal ini berpotensi karena kurikulum Madrasah Hadramaut ini meskipun telah lama dipraktikkan di negerinya, namun belum secara akademis dikaji dan dikembangkan.

 

Adalah Dr. Habib Abu Bakar al-Adni al-Masyhur yang lalu mengenalkan Manhaj Ta’limi Madrasah Hadhramaut (Kurikulum Madrasah Hadramaut) yang beliau istilahkan pula dengan al-Madrasah al-Abawiyah (Madrasah Para Leluhur). Secara filosofis dan akademis, peraih gelar honoris causa dari Universitas Aden Yaman ini meneliti dan mengkaji kurikulum tersebut, lalu men-diseminasi pada sekitar 80 lembaga pendidikan di Hadramaut yang dia asuh.

 

Menurut Ahmad Jamal Thoha Ba’aqil (2022), dalam rumusan manhaj Hadramaut, Habib Abu Bakar al-Adni mengerucutkan pendidikan moderasi itu dengan tiga kalimat kunci, yaitu lisan yang tak mencaci (salamatul lisan minadz dzam); tangan yang tak ‘berlumur darah’ (salamatul yad minad dam); hati yang tidak untuk selain Allah (salamatul qalb minal hamm).”

 

Wallahu a’lam bishshawab.

 

Faris Khoirul Anam, Wakil Ketua Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Koordinator Bidang Pendidikan Aswaja LP Ma’arif NU Kabupaten Malang. Tulisan ini diadaptasi dari artikel penulis berjudul “Model Pengembangan Kurikulum Madrasah Hadramaut di Pondok Pesantren Darul Faqih Malang”, Jurnal Pemikiran dan Pendidikan Islam Fikroh (2020)