Opini

Hormat NU kepada Para Habib

Selasa, 16 Oktober 2018 | 05:00 WIB

Oleh Abdullah Alawi 

Para habaib, para habaib idolane NU
Para kiai, para kiai ulamane NU 
Para habaib, para habaib idolane NU
Para kiai, para kiai ulamane NU 

Syair tersebut kerap dinyanyikan oleh seorang habib yang memiliki penggemar puluhan ribu, khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat. Mereka disebut Syecher Mania. Dialah Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf.

Ia juga kerap menyanyikan lagu lain terkait atribusi NU melalui lirik lain yang diselingi shalawat kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam.

Tahun empat likur lahire NU, ijo-ijo benderane NU, lambang jagat simbole NU, bintang songe lambange NU. Syuriyah ulamane NU, tanfidziyah pelaksana NU, GP Ansor pemuda NU, Fatayat pemudi NU. Nganggo Ushali shalate NU, azan pingdo jumatane NU, kanggo qunut subuhane NU, dzikir bareng amalane NU. Tahlilan hadiahe NU, maqiban wasilahe NU, wiridan rutinane NU, maulidan shalawatan NU. 

Pada lirik pertama, Habib Syech menggambarkan penghormatan NU terhadap para habib dengan tepat. Sejarah membuktikan hal itu hingga hari ini.  

Habib Syarief Muhammad Al-Aydarus Bandung pada pengantar buku Panggilan Selamat menyatakan, NU memiliki watak yang sangat menghormati dzuriyah (keturunan) Rasulullah atau para habib. Maka, tak heran NU Jawa Barat misalnya, menempatkan Habib Utsman Al-Aydarus (ayahanda Habib Syarief) sebagai Rais Syuriyah PWNU Jawa Barat 1960-1970 dan Ketua Paniti Muktamar NU di Bandung tahun 1967.  

Lebih dari itu, Habib Utsman pun mengajak para kiai untuk berkhidmah kepada agama dan umat melalalui NU. Jejak ajakannya bisa diketahui melalui buku Riwayat Hidup KH Muhammad Syuja’i (Mama Ciharashas) bin Haji Ghojali Singapraja. Ia pernah meminta Mama Ajengan Ahmad Syuja’i aktif di NU. 

Mama Ciharashas pun memenuhinya karena ternyata yang menganjurkannya untuk aktif di NU tak hanya Habib Utsman, tapi ada dua habib lain, yaitu  Habib Muhammad Al-Haddad, Tegal (Jawa Tengah) dan Habib Syekh bin Salim Al-Attas, Sukabumi (Jawa Barat).  

Hubungan dekat antara NU dengan habib terjadi di daerah-daerah lain hingga kini. Di Manado misalnya, ada Habib Muhsin Bilfaqih merupakan salah seorang panasihat NU di ibu kota Sulawesi Utara tersebut. Ada Habib Umar Muthohar di NU Semarang (Jawa Tengah). Di PBNU sendiri tercatat ada Habib Zein bin Smith dan KH Habib Luthfi bin Yahya. 

Khusus Habib Luthfi bahkan ia mendapatkan tempat terhormat sebagai pemimpin organisasi tarekat NU. Seorang Banser yang bertemu dengannya akan tertunduk-tunduk sembari mencium telapak tangannya. Bahkan seorang Ketua Umum PBNU pun, rela lesehan di lantai sementara Habib Luthfi di kursi. 

Penghormatan NU terhadap para habaib sejak awal NU berdiri. Tercatat misalnya, Ketua PCNU Cirebon pertama adalah seorang habib, yaitu Habib Abubakar Aidid.

Dalam kegiatan NU, tak pernah sepi dari para habib. Habib Ali Kwitang Jakarta misalnya hadir pada Muktamar NU ketujuh di Bandung. Bahkan ia berkenan berpidato pada muktamar yang berlangsung pada 12 sampai 16 Rabiul Tsani 1351 H bertepatan dengan 15 sampai dengan 19 Agustus 1932 M itu. Habib lain yang datang di muktamar tersebut dan berpidato adalah Habib ‘Alawi al-Haddad, Bogor. 

Khusus kepada para habib, Swara Nahdlatoel Oelama, majalah NU waktu itu, ketika menyebut nama habib dimulai dengan al-alim, al-alamah sayyid. Sebuah penghormatan tinggi untuk para habib terkait dengan ilmu mereka. Begitulah, sebagaimana dikatakan Habib Syarief warga NU menghormati para habib tidak semata karena keturunan Rasulullah, tapi juga karena ilmu dan amal mereka. 

Ajengan KH Amang Muhammad pengasuh pondok pesantren tertua di Cicurug menceritakan, pada masa mudanya, ia turut serta dalam pembentukan pengurus NU di kecamatan-kecamatan Kabupaten Sukabumi. Orang yang bertenaga besar dalam upaya tersebut adalah Habib Hamid Cijurei Sukaraja. 

Gus Dur Membela Habaib
Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid kerap berbeda pandangan dan sikap dengan Habib Rizieq. Namun, penghormatan Gus Dur kepada habib tak pernah kurang. Atas nama keadilan, Gus Dur pernah membela Habib Rizieq. Hal itu bisa dibuktikan melalui catatannya dalam Kepala Sama Berbulu, Pendapat Berlain-lain dalam Duta Masyarakat pada 2002

Menurut Gus Dur tindakan Habib memprotes polisi atas penangkapannya menunjukan ketundukan kepada NKRI dan UUD 1945. Sebab, sebagaimana disampaikan pengacara Habib Rizieq, penangkapan itu cacat hukum. Karena itu ia mengajukan gugatan.

Menurut Gus Dur, dengan demikian, sebetulnya Habib Rizieq menganggap kepolisian sebagai penyelenggara keamanan dan pemeriksa hukum dalam negeri yang berwenang memeriksa dirinya.

“Ia menjaga dirinya dari tindakan apa pun yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Boleh jadi ia melanggar hukum, tetapi justru hukum itulah yang melindunginya dari tindakan apa pun oleh negara atas dirinya,” begitu kata Gus Dur.

Jauh sebelumnya, pada masa Orde Baru, Gus Dur pernah juga melakukan pembelaan kepada para habib yang waktu itu dikritik terkait jasa dan peran mereka di Indonesia. Di Pondok Pesantren Al-Fachriyah di Cileduk sekitar tahun 1994, sebagaimana ditulis Muslimmedianews.com, di antara pidato yang disampaikan Gus Dur adalah sebagai berikut: 

“Hanya orang bodoh yang mengatakan batu permata dibilang batu koral. Dan yang paling bodoh batu permata kok dihargakan batu kerikil. Mereka para cucunya Rasulullah SAW datang ke negeri ini merupakan karunia Tuhan yang terbesar. Dan hanya orang-orang yang kufur nikmat kalau tidak mau mensyukurinya.”

Maka tak heran, ketika Habib Umar bin Hafidz dari Yaman dikabarkan ditangkap polisi, yang paling terusik adalah NU. Ternyata kabar itu adalah kebohongan belaka, sehingga bagi Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Hery Haryanto Azumi, itulah fitnah keji dari pihak yang menadu domba pemerintah dan ulama.  


Penulis adalah warga NU dari Sukabumi, Jawa Barat