Oleh: Zaimuddin Ahya’
Dampak fitnah qubra yang terjadi pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib masih terasa sampai sekarang. Perseteruan antar kelompok dalam Islam masih terjadi sampai sekarang. Dari dulu hingga sekarang, penyebab perseturuan itu bukan karena perbedaan akidah an sich. Intrik politik selalu mewarnai dan bahkan—dugaan penulis—menjadi penyebab utama konflik tersebut.
<>
Kalau kita flashback pada sejarah Islam masa lalu, penyebab terjadinya fitnah qubra adalah politik. Yaitu perebutan kekuasaan antara pihak Ali dan Muawiyyah. Sejarah politik tidak bisa lepas dari intrik-intrik dan manuver. Hal ini juga terjadi dalam Islam waktu itu. Dengan kecerdikan Amr bin Ash, pihak Muawiyyah bisa memenangkan arbitase (tahkim). Padahal sebelum kesepakatan tahkim diambil, kemenangan pihak Ali bin Abi Thalib sudah di depan mata. Namun karena pihak Muawiyyah mengajukan dialog damai—menggunakan Al-Qur’an—Ali pun menyetujui untuk melakukan perundingan. Tentunya persetujuan Ali dilatarbelakangi banyak faktor, baik karena desakan pengikutnya dan kesalehan pribadi Ali. (Nur Khalis Majid)
Arbitase yang diharapkan menjadi titik perdamaian justru memecah belah umat Islam semakin parah. Bermacam-macam kelompok pun muncul. Diantaranya kelompok yang mendukung Ali (kemudian bernama Syiah), kelompok pendukung Muawiyyah, dan kelompok yang membenci keduanya (yang dikenal dengan nama Khawarij). Kelompok-kelompok ini—yang sejatinya terbentuk dari benturan politik—pada perkembangannya menjelma sebagai aliran-aliran keagamaan.
Waktu itu, umat Islam terjebak dalam lembah “fanatisme”, yang berakibat menyalahkan golongan lain di luar golongannya, bahkan tak segan-segan menghalalkan darah yang berbeda. Hal ini berlangsung lama. Umat Islam terpecah belah. Namun, pada masa di mana setiap golongan terjebak dalam fanatisme masing-masing, ada beberapa orang yang memilih bersikap moderat. Mereka mengganggap bahwa perseteruan Ali dan Muawiyyah adalah perseteruan politik dan mereka memilih untuk tidak turut menghakimi keduanya. Mereka memilih menekuni jalur keilmuan yang moderat. Salah satu dari mereka adalah Hasan Basri.
Jalan yang dipilih al-Basri ini pada kemudian hari dikenal dengan Ahlusunnah wal Jama’ah (Aswaja). Namun, menurut Said Aqil Siroj, istilah Aswaja belum dikenal pada masa al-Basri. Istilah ini populer pada masa Abu Hasan al-Asy’ari. Dia adalah tokoh Mu’tazilah yang “murtad” dari Mu’tazilah dan merumuskan aliran baru yang dikenal dengan “Asy’ariyyah”. Al-Asy’ari terkenal sebagai pemersatu umat Islam saat itu. Jargon yang terkenal darinya adalah; “Ma jaro baina al-sahabat, nahnu naskutu”. Dia mengajak kepada umat Islam, tidak menjustifikasi para sahabat terkait fitnah qubra. Baginya, sekarang saatnya umat Islam “melupakan masa lalu” dan bersatu.
Di Indonesia, berbicara Aswaja tentunya tidak bisa dilepaskan dari sosok KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama’ (NU), organisasi Islam terbesar di dunia. Mbah Hasyim juga temasuk salah satu pahlawan kemerdekaan Indonesia. Ada dua perlawanan model Mbah Hasyim yang kiranya penting penulis ceritakan di sini.
Pertama, perlawanan kultural. Yaitu perlawanan tanpa mengangkat senjata. Ini terjadi pada masa pendudukan Jepang. Waktu itu Mbah Hasyim dipaksa membungkuk menghadap ke timur laut, untuk menghormati Kaisar Jepang yang bersemayam di sana, Dewa Matahari. Namun, Mbah Hasyim menolak. Bagi beliau, pembungkukan diri sebagaimana diperintahkan tentara Jepang adalah pengakuan bahwa kaisar Jepang adalah putra Dewa Matahari. Dan itu bertentangan dengan akidah beliau. Akhirnya, beliau dimasukkan penjara dan disiksa, sampai-sampai tangan beliau lumpuh. Namum perlawanan Mbah Hasyim ini menyentuh hati masyarakat. Perlawanan ini, penulis sebut dengan perlawanan pasif
Kedua, perlawanan aktif. Perlawanan ini terjadi pada tanggal 22 Oktober, yang kita kenal dengan Resolusi Jihad NU (baru diresmikan menjadi Hari Santri Nasional). Waktu itu Mbah Hasyim menyerukan Jihad untuk mengusir penjajah. Bahkan jihad ini wajib ain bagi mereka yang berada pada jarak masafatul qosri dari Surabaya.
Dua model perlawanan di atas menunjukkan kecerdasan Mbah Hasyim membaca situasi dan kondisi waktu itu. Mbah Hasyim tidak ngawur dalam melakukan perlawanaan, sehingga perlawanan yang dilakukan tidak sia-sia.
Tokoh-tokoh di atas adalah tokoh-tokoh Aswaja. Apa yang dilakukan mereka pada masa lalu adalah laku Aswaja, atau Aswaja dalam praktek. Tentunya bentuk lakunya berbeda-beda, sesuai dengan semangat zaman masing-masing. Namun pada intinya, masih dalam koridor yang berladaskan empat hal; tawassut (tengah-tengah), tawazzun (seimbang), ta’addul (keadilan), dan tasamuh (toleransi).
Menurut penulis, pengusungan tema “Islam Nusantara” dalam muktamar kemarin di Jombang, merupakan praktek dari pada kontektualisasi Aswaja.karena Islam Nusantara ini adalah bentuk dari pada sikap tengah-tengah antara Islam garis keras dan Islam liberal, sebagaimana tercermin dari penjelasan Said Aqil Siroj tentang Islam Nusantara; Islam yang damai dan berbudaya.
Setiap generasi harus merumuskan laku Aswaja sesuai semangat zamannya. Karena, zaman selalu berubah dan berbeda setiap generasi. Rintangan dan tantangannya pun berbeda. Lalu, pertanyaannya, sudahkan kita berlaku Aswaja sesuai semangat zaman kita?
* Santri Al-Fadlu Kaliwungu dan Mahaiswa Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo