Opini

Menggapai Haji Mabrur

Senin, 24 Oktober 2011 | 05:06 WIB

Oleh: Sudayat Kosasih

Ibadah haji adalah rukun Islam yang kelima. Ibadah ini merupakan puncak kesempurnaan seorang muslim dalam meraih derajat muttaqin. Itu pun hanya diwajibkan bagi orang-orang yang mampu menunaikannya, sebagaimana Allah tegaskan dalam firman-Nya yang artinya, “… mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (QS. Ali Imran [3]: 97).

<>Yang dimaksud mampu di sini adalah mampu dalam hal pembiayaaan, kesehatan dan keamanan dalam perjalanan menuju ke tanah suci Mekkah. Mampu dalam pembiayaan berarti calon jamaah haji sudah memiliki biaya untuk ongkos keberangkatan dan kepulangan serta biaya hidup (living cost) selama menunaikan ibadah haji. Demikian pula kesehatan, seorang calon jamaah haji harus sehat jasmani maupun rohani. Secara fisik, dia harus mampu melaksanakan semua rukun dan wajib haji.

Pertanyaannya adalah, apakah setelah seseorang itu mempunyai bekal yang cukup, kesehatan yang prima, serta perjalanan yang aman dan nyaman dan sampai ke Tanah Suci Mekkah serta telah menjalankan ibadah haji dengan sempurna, kemudian kembali ke kampung halamannya, ia pasti menjadi haji mabrur?

Selain melaksanakan rukun Islam yang kelima, ibadah haji juga bertujuan agar setelah melakukan ibadah haji atau setelah menjadi seorang haji, akan menjadi hamba Allah yang lebih baik dari sebelumnya. Tetapi dalam kenyataannya tidaklah demikian. Masih terdapat seseorang yang telah menjadi haji tetapi tidak menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Dia masih suka menjalankan kebiasaan-kebiasaan yang tidak terpuji, padahal dia sudah menjadi seorang haji. Bahkan mungkin ada yang menjadi lebih buruk perbuatannya dari pada sebelumnya. Na’udzubillah.

Seharusnya seseorang yang sudah haji itu menjadi lebih baik dari yang belum menjadi haji. Menjadi haji yang mabrur, itulah predikat yang ingin disandang oleh semua jamaah haji. Hal itu sesuai dengan doa yang selalu dipanjatkan dalam mengiringi setiap keberangkatan calon jamaah haji:

“Ya Allah, jadikanlah hajiku haji mabrur, dosa yang diampuni, sa’i-sa’i yang disyukuri dan perdaganganku adalah perdagangan yang tidak merugi”.

Itulah doa yang selalu dipanjatkan oleh calon jamaah haji. Haji mabrur menjadi harapan dan idaman setiap muslim yang menunaikan ibadah haji. Nabi bersabda yang artinya, “Haji mabrur itu tidak ada balasannya kecuali surga.” (HR. Bukhari).

Haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah SWT. Kalau memang ganjaran yang paling tepat bagi seseorang yang hajinya mabrur adalah surga, sedang dalam Al-Qur’an banyak disebutkan bahwa surga disediakan bagi orang yang muttaqin, orang yang mukminin, orang yang shalihin, shadiqin, dan seterusnya. Maka, seorang yang hajinya mabrur itu pun seharusnya juga orang-orang yang termasuk salah satu yang disebut di atas.

Adapun tanda-tanda haji mabrur itu, di antaranya adalah biaya haji tersebut dari usaha yang halal karena biaya menjadi poros penting dalam kehidupan manusia, terlebih dalam urusan haji. Bahkan disebutkan bahwa jika seseorang naik haji dengan biaya dari hartanya yang halal, maka akan ada penyeru yang berseru, “Bekalmu halal dan kendaraanmu halal, maka hajimu pun mabrur.”

Adapun jika dia berangkat haji dari harta yang haram, maka penyeru tadi akan berseru, “La labbaika wala sa’daika. Bekalmu haram dan nafkahmu haram, maka hajimu tertolak tidak mendapat ganjaran.” Jadi, di antara tanda-tanda haji mabrur adalah jika dikerjakan dengan biaya dari nafkah dan usaha yang halal.

Begitu pula, di antara tanda-tandanya adalah jika orang yang berhaji mengerjakan manasiknya sesuai dengan tata cara yang disyari’atkan dan diinginkan tanpa mengurangi sedikitpun, dan menjauhi segala larangan Allah selama mengerjakan haji.

Di antara tanda-tandanya pula adalah jika orang yang berhaji itu kembali dalam keadaan pengamalan agamanya lebih baik daripada sebelum berangkat, yaitu dia kembali dalam keadaan bertaubat kepada Allah SWT, istiqamah (konsisten) dalam menjalankan ibadah kepada-Nya, dan terus-menerus dalam kondisi seperti itu. Dengan begitu, hajinya menjadi titik tolak baginya kepada kebaikan, dan selalu menjadi peringatan baginya untuk memeperbaiki jalan hidupnya.

Memang sebenarnya tidak ada keterangan yang jelas tentang tanda-tanda kemabruran haji seseorang. Seseorang tidak dapat menyatakan bahwa dirinya mabrur hajinya, yang dapat menyatakan orang lain. Dan tentu hanya hanya Allah sajalah yang lebih mengetahui. Namun demikian, tanda-tanda kemabruran itu bisa dilihat dari ibadahnya. Apabila seorang haji itu ibadahnya lebih tekun, shalatnya lebih khusuk, zakatnya lebih teratur, infaqnya lebih banyak, akhlaknya lebih baik, dan selalu meningkatkan amar ma’ruf nahi munkar, maka orang yang melihat tadi , akan mengatakan bahwa dia hajinya mabrur.

Jadi, kemabruran seorang haji bukan dia yang dapat menyatakan tetapi orang lain. Tentu saja Allah yang lebih mengetahuinya. Karena itu, untuk menggapai haji yang mabrur itu pertama-tama harus tanamkan niat semata-mata karena Allah.

Kedua, persiapkan biaya haji dari usaha dan sumber yang halal. Ketiga, persiapkan ilmu manasik haji dengan berlatih secara maksimal. Keempat, apabila seseorang telah menunaikan ibadah haji, maka tingkatkanlah ibadah kepada Allah.

Apabila seseorang setelah menunaikan ibadah haji, kemudian sedikit banyak merasakan adanya perubahan yang positif, maka hal itu merupakan tanda-tanda kemabruran hajinya. Wallahu a’lam bishshawab.*

Penulis aktif di PP LAZISNU


Terkait