Opini

Menjaga Reputasi Global NU dan Etika Tabayun di Era Disrupsi

Jumat, 5 Desember 2025 | 12:06 WIB

Menjaga Reputasi Global NU dan Etika Tabayun di Era Disrupsi

Bendera NU di antara Nahdliyin (Foto: NU Online)

Kisruh internal yang mencuat di Nahdlatul Ulama (NU) dalam beberapa pekan terakhir—meliputi perbedaan pandangan, perdebatan tata kelola, hingga polemik yang beredar di ruang digital—menunjukkan bahwa dinamika organisasi besar tidak lagi berada di ruang privatnya sendiri.

 

NU kini diperhatikan bukan hanya oleh Nahdliyin, tetapi juga oleh jejaring internasional yang selama ini memandangnya sebagai model Islam moderat. Karena itu, setiap riak internal, sekecil apa pun bentuknya, dengan cepat memasuki percakapan yang lebih luas tentang arah nilai NU dan masa depannya di panggung global.


NU kini menapaki abad kedua perjalanan organisasinya—sebuah fase yang oleh para kiai disebut sebagai “abad kedua khidmah”. Pada fase ini, ekspektasi publik terhadap NU semakin besar. Organisasi yang sejak 1926 menjadi jangkar moderasi Islam Indonesia kini juga menjadi rujukan etika di tingkat internasional. Reputasi moral ini tidak lahir dari strategi komunikasi, tetapi dari kontinuitas nilai yang diwariskan para ulama, dipraktikkan pesantren, dan dihidupi masyarakat.


Namun, reputasi yang bersifat moral juga rawan mengalami distorsi. Dalam era ketika persepsi bergerak lebih cepat daripada klarifikasi, dinamika internal yang wajar dapat ditafsirkan secara berlebihan. 


Dalam kajian komunikasi global, fenomena ini dikenal sebagai interpretive signal—sinyal yang membentuk persepsi meski belum tentu mencerminkan kenyataan. Di sinilah tabayun menjadi relevan, bukan hanya sebagai etika personal, tetapi sebagai mekanisme menjaga kesehatan epistemik organisasi.


Dalam tradisi Aswaja, tabayun adalah adab ilmu sekaligus adab sosial. Ia menuntut kesabaran, verifikasi, dan kehati-hatian sebelum menilai. Dalam perspektif Jürgen Habermas, tabayun dapat disejajarkan dengan prasyarat “rasionalitas komunikatif”, yakni kondisi di mana keputusan publik dihasilkan melalui dialog yang jernih, bukan tekanan emosional. Tabayun mencegah organisasi terseret dalam simpul simpang siur yang memperkeruh nilai dasar NU.


NU sendiri memiliki fondasi historis kuat dalam etika kehati-hatian ini. KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU, menempatkan akhlaq al-jam’iyyah—adab kehidupan organisasi—sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari keulamaan. Dalam risalah dan fatwa-fatwanya, beliau menekankan bahwa kemuliaan organisasi bukan terletak pada besarnya massa, tetapi pada kejernihan akhlak, ketertiban syura, dan disiplin sanad keilmuan. 


Kiai Hasyim juga mengingatkan bahwa setiap keputusan yang tergesa-gesa adalah pintu bagi fitnah, sedangkan kehati-hatian adalah “penjaga keberkahan jamaah”. Pesan historis ini relevan hari ini ketika dinamika internal mudah terekspos dan ditafsirkan secara luas.


Sejarah perjalanan NU memperlihatkan bagaimana warisan nilai itu menjaga stabilitas organisasi di tengah guncangan zaman. Pada 1950-an, NU menjaga akar sosialnya meski memasuki gelanggang politik parlementer. Pada masa Demokrasi Terpimpin, NU menegosiasikan ruang geraknya dalam tekanan ideologi negara. Sepanjang Orde Baru, pesantren menjadi benteng nilai ketika ruang formal dibatasi. Pascareformasi, NU kembali hadir pada ruang publik yang semakin plural. Ketangguhan itu berasal dari moral traditions—istilah MacIntyre—yang menjadi jangkar moral organisasi.


Pesantren menjadi ruang paling penting dalam kontinuitas tersebut. Di sana, generasi demi generasi belajar menata diri sebagai subjek moral. Dalam kerangka Hannah Arendt, pesantren adalah “ruang kemunculan”, tempat manusia menghadirkan dirinya dalam percakapan publik dengan integritas. Tradisi ini menjadi inner compass NU ketika menghadapi turbulensi sosial.


Untuk memahami posisi NU hari ini, komparasi global menjadi relevan. Ikhwanul Muslimin Mesir mengalami erosi legitimasi internasional karena ketegangan internal yang tidak terkelola sehingga mendelegitimasi pesan moralnya. Jamaah Tabligh, ormas transnasional besar lainnya, mengalami perpecahan antara markaz Delhi dan Dewsbury akibat perbedaan visi dakwah dan tata kelola internal. 


Kedua contoh ini menunjukkan bahwa ketidakteraturan internal dapat menggerus otoritas moral, bukan hanya di mata pengikutnya, tetapi juga di mata dunia.


Sebaliknya, lembaga seperti Al-Azhar Mesir dan Darul Uloom Deoband tetap dihormati karena menjaga kesinambungan nilai, struktur epistemik yang stabil, dan mekanisme klarifikasi yang hati-hati. Mereka menunjukkan bahwa ketertiban nilai adalah syarat dasar bagi legitimasi global ormas keagamaan.


Dalam lanskap global itu, NU berada pada posisi unik: berakar dalam tradisi pesantren, terhubung dengan struktur kebangsaan modern, dan dipandang dunia sebagai representasi Islam yang ramah pada demokrasi. Namun posisi ini mengandung ekspektasi besar. Dunia memandang NU sebagai moral anchor Islam Asia Tenggara, sehingga stabilitas internalnya memiliki implikasi internasional.


Memasuki abad kedua, nilai-nilai NU menjelma menjadi soft power yang diperhatikan dunia. Namun soft power, sebagaimana ditegaskan Joseph Nye, hanya dapat tumbuh dari kepercayaan (trust). Dan trust tidak dapat dipertahankan tanpa tata kelola yang jelas, komunikasi yang jernih, serta mekanisme verifikasi internal yang kuat. Tata kelola bukan sekadar teknis administratif, tetapi praktik etis untuk merawat legitimasi.


Pada akhirnya, kekuatan NU tidak terletak pada struktur formalnya, tetapi pada integritas nilai yang telah dirawat hampir satu abad. Komitmen pada tabayyun, ta’annī, dan tawazun bukan hanya pedoman internal, tetapi kontribusi moral NU bagi dunia. Selama nilai-nilai itu dirawat, NU akan tetap menjadi referensi moderasi Islam dan pilar penting diplomasi nilai Indonesia.


Stabilitas internal bukan hanya menjaga harmoni organisasi, tetapi memastikan suara Islam Indonesia tetap jernih, moderat, dan manusiawi di tengah dinamika global. Itulah amanat nilai, dan itulah kekuatan sejati NU.


Eko Ernada, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember; fungsionaris PBNU dalam pengembangan jaringan internasional