Oleh Ustadz Nurul Bayan
Kini para pemudik sudah banyak yang tiba di kampung halaman masing-masing. Mereka berharap agar pada saat Lebaran bisa merayakannya bersama keluarga, sanak famili, dan kawan lama tempo doeloe. Seolah, sebelas bulan bekerja dan berkarya di rantau orang hanya untuk merayakan momen yang sakral ini. Dan, agaknya, pijakan seperti ini mengisyaratkan bahwa mudik adalah keniscayaan dan tidak bisa dibendung lagi, karena memang sudah men-tradisi dan membudaya bagi kebanyakan Kaum Muslim di negeri ini.
Gejala serupa mudik itu sebetulnya terjadi pula di negeri lain. Di Amerika, meski saya belum pernah ke sono, konon katanya gejala serupa mudik itu sama persis dengan Thanks Giving Day yang jatuh pada setiap 22 November, yaitu suatu perayaan yang disertai dorongan kuat untuk bisa berkumpul bersama keluarga. Atau di Timur Tengah, sejak dari Bahrain di timur sampai Maroko di barat, lebih-lebih di kawasan Teluk, gejalanya sama, tetapi dikaitkan dengan perayaan Idul Adha, karena perayaan inilah yang terbesar (orang Jawa bilang: Rayagung). Mereka punya keinginan kuat untuk bisa menuju Tanah Suci, di Haramayn, berhaji dan berumrah, sekaligus berziarah ke makam Nabi Saw. Ini adalah simbolisasi bahwa kembali ke Tanah Suci membawa kebahagiaan tersendiri. Jadi, gejala mudik dan yang serupa dengan itu muatan maknanya universal.
Mengapa mesti mudik? Apakah ada makna terdalam dibalik mudik yang lahiri itu?
Dalam perkamusan, mudik ialah berlayar ke hulu; pulang kampung/desa. Artinya, setiap kita punya asal-usul, dan mudik adalah gerak kembali ke asal, ke kampung halaman. Ke mana pun kita pergi pasti ada dorongan kuat untuk kembali ke asal. Kerinduan ini tidak bisa ditebus dengan apa pun. Asal adalah tempat kembali yang membahagiakan. Jadi, kembali ke asal itu alamiah, natural. Sederhananya, ketika ada seekor anak ayam (Jawa:pitik) yang baru ditetaskan satu atau dua hari tersesat dan tertinggal jauh dari induknya maka ia akan terus berteriak sekencangnya (Jawa: pating creyak). Namun, begitu bisa kembali kepada sang induk lalu didekapnya erat-erat maka akan dengan sendirinya merasa tenang dan nyaman. Jadi, sekali lagi, kembali ke asal adalah alami dan itu membahagiakan. Kaitannya dengan puasa yang tengah kita lakoni, kembali ke asal itu adalah Idul Fitri. Id artinya kembali, dan fitri artinya kesucian asal. Idul Fitri berarti kembali pada kesucian asal.
Pada mulanya, ketika masih dalam alam ruhani, Tuhan mengambil Perjanjian Primordial (al-Mitsaq al-Awwal) dari manusia tentang Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini sebagaimana interpretasi Syekh Isma'il al-Haqqi dalam Ruh al-Bayan, (Toronto: Mathba'ah al-'Utsmaniyyah, 1330 H), jld iii, hlm. 275, berkenaan dengan Q al-A'raf [7]: 172. Secara bebas, terjemahan ayatnya terbaca demikian.
Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan dari anak-anak Adam keturunan mereka dari sulbinya dan menjadikan saksi atas diri mereka sendiri (dengan pertanyaan): "Bukankah Aku Tuhan kalian?" Mereka menjawab: "Ya! Kami bersaksi!" (Demikianlah) supaya kalian tidak berkata pada hari kiamat: "Ketika itu kami lalai."
Jadi, secara keruhanian, kita terikat oleh Perjanjian Primordial. Dan dalam 'keadaan' mengakui akan Ketuhanan Yang Maha Esa itulah kita sebagai manusia tercipta. 'Keadaan' yang demikian itu disebut dengan 'fitrah,' artinya asal mula pertama manusia tercipta (al-khilqah), atau kesucian asal. Menyikapi ayat di atas, para mufassir mengaitkannya dengan Al-Qur'an Surat al-Rum [30]: 30, terjemahannya:
Maka hadapkanlah wajahmu benar-benar kepada agama; menurut fitrah Allah yang atas pola itu Dia menciptakan manusia. Tiada perubahan pada ciptaan Allah; itulah agama yang baku; tetapi kebanyakan manusia tidak tahu.
Asal kita semua adalah fitri, jauh sebelum kita terlahir ke alam dunia ini. Kefitrian kita yang berdimensi ruhani itu kemudian terus terbawa sampai kita lahir. Tentang ini, ada penegasan hadits: "Setiap jabang bayi itu dilahirkan dalam keadaan fitrah."
Allah berfirman (hadits qudsi): "Bahwa Aku ciptakan hamba-Ku dalam keadaan hanif (cenderung merindukan dan memihak pada yang baik dan benar)."
Tetapi, sebagaimana halnya kecenderungan alami bayi untuk makan dan minum itu butuh bimbingan orang tuanya agar tidak salah ambil, maka kefitrian dan kehanifan kita juga perlu bimbingan agar tidak salah. Sebab, kita pun tercipta dalam keadaan lemah (Q al-Nisa' [4]: 28). Kelemahan kita ialah gampang tergoda. Pada saat kita lemah setan mendekat, dan di saat kita kuat setan menjauh. Inilah gambaran al-Khannas dalam Q Al-Nas [114]: 4. Maka, setiap kita punya dua kecenderungan, yang jahat dan yang baik (Q al-Syams [91]: 8). Agar tidak salah arah, lalu, dengan Rahmat Tuhan, diutuslah para nabi dan rasul. Namun kini tidak akan ada lagi nabi dan rasul karena sudah ditutup oleh kenabian dan kerasulan Muhammad SAW. Yang tersisa hanyalah ajarannya yang terus diteladankan oleh mereka yang layak dan wajar sebagai pewarisnya. Dan di antara ajaran para nabi dan rasul itu ialah tentang keharusan berpuasa.
Sampai batas ini berarti puasa adalah media untuk mengembalikan kesadaran kita tentang kesucian asal itu. Karenanya, selesai Ramadan kita merayakannya dengan ber-idul fitri, kembali ke asal kesucian. Tetapi, oleh karena kemampuan masing-masing akal kita berbeda satu sama lain maka tidaklah terlalu mengada-ada bahwa makna Idul Fitri itu disimbolisasikan dengan mudik.
Entah siapa yang pertama kali memulai tradisi mudik lebaran itu. Yang jelas, kita harus menaruh hormat pada juru dakwah tempo doeloe yang mengenalkan Islam begitu rupa, sampai-sampai kita tak tahu lagi bahwa ternyata tradisi mudik itu simbolisasi dari gerak kembali ke asal. Dan 'asal' yang hakiki adalah Tuhan Sendiri. Maka, 'mudik' yang sebenarnya ialah ketika kita bisa menginsafi akan asal dan tujuan hidup kita, yaitu Tuhan: "Bahwa kita semua milik Tuhan dan bahwa kita pun kembali kepada-Nya" (inna lillahi wa inna ilayhi raji'un, Q al-Baqarah [2]: 156). Kesadaran seperti inilah yang tersirat dari laylah al-qadr, yaitu ketika Nabi SAW sembahyang dalam keadaan basah kuyup dan belepotan dengan lumpur di Masjid Nabawi dulu. Di sini, kembali ke asal disimbolkan dengan 'tanah dan air' (lihat dalam Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, al-Jami' al-Shahih, [Kairo: al-Mathba'ah al-Salafiyyah, 1403], cet i, jld ii, No. 2016, hlm. 62). Jadi ada kesamaan makna yang saling berkaitan antara puasa, laylah al-qadr, zakat fitrah, mudik, dan Idul Fitri.
Untuk mereka yang telah mendahului kita, al-Fatihah ...
Dan untuk kita semua: Selamat Hari Raya Idul Fitri 1440 H. Mohon Maaf Lahir-Batin.
Penulis adalah alumni Ponpes Assalafie, Babakan Ciwaringin, Cirebon.