Oleh: Bowo Leksono
“Anda itu kiai bagi dunia Anda,” begitu kata seorang kawan, aktivis muda Nahdlatul Ulama Purbalingga, Jawa Tengah."Ah, saya masih belum berbuat apa-apa. Sekedar, menyalurkan dan berbagi kesenangan kepada kaum muda," begitu kata saya.
<>
Ya, film pendek. Sebuah kesenangan atau hobi ‘baru’ bagi anak muda di beberapa daerah di Indonesia, yang merebak pasca reformasi 1998. Meskipun sebenarnya film pendek itu sendiri bukanlah hal baru, karena beberapa orang seperti Gotot Prakosa, sudah lebih dulu berkarya pada tahun 1970-an yang juga diakui secara internasional.
Merebaknya karya film pendek yang didominasi kaum muda bukan hanya karena kebebasan berekspresi buah dari reformasi, namun revolusi teknologi juga memiliki pengaruh besar. Teknologi digital yang relatif murah telah mempermudah kaum muda mengaksesnya.
Film di Purbalingga
Film pendek saya perkenalkan pada segelintir teman-teman muda di Purbalingga di tahun 2004. Perkenalan anak muda di kota kecil di kaki Gunung Slamet Jawa Tengah saat itu dengan cara memproduksinya.
“Modal dengkul”. Itulah frase yang tepat untuk gairah baru anak-anak muda Purbalingga dalam memproduksi sebuah film pendek. Bagaimana tidak, berbekal kamera video analog dan pengetahuan produksi film seadanya nekat membuat film.
Hanya berbekal pengalaman panggung teater, sebuah film pendek berjudul “Orang Buta dan Penuntunnya” hasil adaptasi cerpen “Mata yang Enak Dipandang” karya budayawan Banyumas Ahmad Tohari lahir.
Selang beberapa bulan, karya kedua bertajuk “Peronika” dengan dialog Banyumasan (ngapak) pun terselesaikan. Konon, film ini menjadi tonggak sejarah film ‘ngapak’. Diluar dugaan para pembuatnya, film berdurasi 13 menit itu disukai banyak orang di luar Banyumas.
Kedua karya film ini menjadi modal besar bagi kami untuk dipertontonkan pada sebanyak-banyaknya generasi muda. Kami keliling ke sekolah-sekolah setingkat SMA dan SMP. Itu karena ketiadaan kampus di Purbalingga.
Hanya dibutuhkan waktu dua tahun, beberapa kelompok pelajar telah melahirkan karya film pendek. Ini menjadi semacam virus yang terus menyebar ke kaum pelajar lain di Purbalingga hingga saat ini. Waktu dua tahun sudah bisa dibilang panen padahal belum merasa siap betul menghadapi kondisi seperti itu.
Sejara berjama'ah, anggota-anggota komunitas dan antarkomunitas, memfasilitasi kerja-kerja kreatif. Ketika kata "komitmen" belum cukup, kata "jama'ah" hadir. Kemudian, strategi menghadapi dan menyelesaikan beragam persoalan dipersiapkan teman-teman yang menyediakan komitmen dan ikhlas berjama'ah. Proses lumayan berjalan. Tapi bagi teman-teman yang mengukur proses tersebut dengan ekonomi jangka pendek, segera luntur dengan sendirinya.
Maka, pada 4 Maret 2006, kelompok pembuat film dan pembuat video manten bersepakat mendirikan Cinema Lovers Community (CLC). CLC ini sebuah komunitas para pecinta film yang di dalamnya tergabung kreator-kreator film muda Purbalingga. Program-program mulai dijalankan, kendala terus menghadang. Namun semangat berkarya tak pernah padam.
Sejak mula berdiri, CLC komit sebagai komunitas bersama yang menjadi payung bagi komunitas film kebanyakan di Purbalingga. Komitmen ini terjabarkan pada fasilitasi produksi (alat dan materi), pengumpulan karya, pendistribusian dan pemutaran.
Setahun kemudian, 2007, 30 karya film pendek fiksi dan dokumenter terdata. Cukup untuk kemudian diputar dan diapresiasi masyarakat dalam gelaran Festival Film Purbalingga (FFP). Tiap tahun, puluhan film pendek lahir di kota buruh bulu mata palsu ini. Setiap tahun pula, sejak 2007, Festival Film Purbalingga digelar menyuntik semangat kaum muda Banyumas Raya.
Meregenerasi
Kesuksesan dalam menjalankan satu organisasi atau komunitas atau apapun namanya, bukan bagaimana menjadikan komunitas itu besar atau dikenal masyarakat luas. Namun bagaimana para pemangkunya mampu menciptakan regenerasi yang berkesinambungan. Bila pada suatu masa sebuah komunitas itu berhasil menyandang nama besar, tapi di masa berikutnya malah mati suri atau mati sama sekali, berarti itu gegagalan terbesar yang penah disandang komunitas itu.
Para pemangkunya bisa dikatakan egois karena tak memberi kesempatan dan jalan bagi generasi selanjutnya untuk mempertahankan kesuksesan atau bukan tidak mungkin menjadikan lebih berjaya. Kebanggaan terhadap kejayaan meskipun sah, menjadi hal yang kurang bijak. Jelas tak ada komunitas yang menginginkan mati di tengah jalan apalagi dalam masa kejayaan. Semua berusaha terus berjaya. Apalah daya, masalah klasik terbesar yaitu dana, kerap menjadi alasan yang selalu termaafkan. Dan memang demikian adanya. Namun dari semua itu, yang terpenting adalah bagaimana komunitas itu tetap berguna dan berdaya guna bagi komunitas dan masyarakatnya.
Dari sini, bisa disimpulkan bahwa meraih kejayaan lebih mudah dibanding terus mempertahankan. Meregenerasi menjadi jawaban bagaimana sebuah komunitas atau organisasi mampu terus berjaya. Kesabaran, ketelatenan, dan kerelaan menjadi syarat tak terbantahkan.
Festival Film Purbalingga menjadi pintu gerbang melangkah bagi kreator-kreator film di Purbalingga. Dan CLC Purbalingga dengan segenap kerelaan, memfasilitasi kebutuhan para kreator tersebut. Saat ini, dari tahun 2004, sedikitnya 120 karya film pendek Purbalingga tercatat dan tersebar dimana-mana.
Dengan film, kami, kaum muda desa, ingin bangkit. (Bowo Leksono, Direktur Cinema Lovers Community dan Festival Film Purbalingga)