Setahun Genoside Israel di Gaza dan Kemungkinan Perang Kawasan
Sabtu, 5 Oktober 2024 | 08:00 WIB
Israel dan Hamas sama-sama tidak mencapai tujuannya dalam perang biadab yang telah berlangsung setahun pada bulan ini. Yang dihasilkan dari perang gila ini adalah kehancuran, meluapnya permusuhan, dan jatuhnya korban kemanusiaan yang terlalu besar untuk tujuan seagung apapun. Di pihak Palestina, lebih dari 40.000 nyawa warga dan/atau kombatan Palestina melayang, ratusan ribu orang terluka, dan jutaan jadi pengungsi serta kehancuran merata dari ujung utara hingga ujung selatan Gaza.
Di pihak Israel, kendati tidak separah yang dialami pihak Palestina, Israel juga membayar ongkos yang sangat mahal dari perang ini. Sulit memang untuk memperoleh update jumlah pasti tentara Israel yang tewas di Gaza dari laporan resmi “institusi-institusi” perang Israel. Ini berbeda dengan Kementerian Kesehatan Gaza yang rajin mengupdate jumlah korban meninggal meskipun laporan ini tidak pernah membedakan jumlah korban kombatan Hamas dan warga sipil Gaza. Wartawan dan pekerja kemanusiaan saja yang biasanya disebut tersendiri.
Harian Israel, Yedioth Ahronoth, yang sering jadi rujukan menyebut setidaknya 10.000 tentara Israel tewas atau terluka pada perang Gaza sampai Agustus dua bulan lalu saja. Belum lagi korban pada serangan Hamas 07 Oktober termasuk ratusan sandera yang sebagian besar belum dibebaskan hingga sekarang.
Biaya perang dan pertahanan yang sangat besar mengancam anggaran negara itu. Pada beberapa bulan awal saja, anggaran pertahanan dalam setahun telah ludes. Sejumlah kementerian bahkan dinyatakan “ditutup” demi mendukung pembiayaan perang. Dan yang tak kalah penting adalah kebencian luas dunia terhadap negeri ini dan bahkan merembet ke warga Yahudi bukan warga Israel secara umum. Padahal membangun hubungan baik dengan masyarakat sekitarnya dan dunia Muslim adalah kepentingan strategis negara yang selama ini terisolasi di tempat tinggalnya ini.
Israel belum mencapai tujuan perang yang diprokamirkan pasca serangan 07 Oktober 2023, yaitu menghabisi Hamas dan mengembalikan para sandera. Sebagian besar infrastruktur militer Hamas di Gaza memang sudah dihancurkan dan kemungkinan organisasi perlawanan ini telah berubah jadi katibah-katibah yang bergerak sendiri-sendiri tanpa komando yang terpusat. Namun, Hamas masih mampu memberikan perlawanan secara sporadis meskipun sepertinya less-koordinasi.
Tujuan Hamas jelas juga tidak tercapai. Hamas sepertinya memang mempersiapkan diri dengan sangat detil jauh-jauh hari untuk serangan 07 Oktober dan untuk perang darat besar sesudahnya. Hamas jelas sejak awal sadar bahwa serangan 07 Oktober pasti akan dibalas oleh Israel dengan serangan skala penuh dengan menderapkan pasukan darat ke Gaza plus ofensif luas dari udara dan blokade laut. Karena itu, Hamas mempersiapkan diri sedemikian rupa dengan arena perang darat di kota padat penduduk dan sarana-sarananya. Pada awal perang, mereka terlihat sangat siap dan dari pernyataan-pernyataannya mereka terlihat begitu percaya diri menyambut tentara-tentara Israel yang berderap ke Gaza dengan luapan amarah dan dendam.
Hamas jelas punya legitimasi kuat untuk melawan Israel. Saya menolak menyebut organisasi ini sebagai teroris sebagaimana Israel, sejumlah negara Barat, dan tidak sedikit negara Arab menyebut demikian. Namun, hal itu tidak berarti Hamas halal menggunakan segala cara. Penyanderaan masyarakat sipil Israel, menjadikan warga sipil target serangan, dan menjadikan sarana-sarana sipil di Gaza seperti masjid, rumah sakit dan sekolah sebagai perisai sering dituduhkan terhadap kelompok ini dan tidak sedikit hal itu terbukti. Di samping Israel sebagai aktor utama, Hamas adalah pihak yang juga paling bertanggung jawab atas tragedi kemanusiaan di Gaza. Perintah jaksa di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada Mei 2024 untuk menangkap penguasa dua pihak tersebut, yaitu Netanyahu, Gallant, Ismail Haniyeh, dan Sinwar, jelas menegaskan kesimpulan ini.
Perluasan
Ekses lain dari perang Gaza yang tak kalah menakutkan adalah pecahnya front perang baru terutama di utara, bahkan potensial merembet jadi perang kawasan yang lebih luas, baik scope geografisnya, aktor-aktornya, isu-isu yang berkembang, maupun akibat-akibatnya. Hizbullah yang berkuasa di Lebanon Selatan semula hanya melakukan aksi “solidaritas” terhadap Hamas dengan melakukan penyerangan kecil, sporadis, dan terbatas kepada wilayah Israel atau wilayah pendudukannya di Utara. Kelompok Syiah yang berkiblat ke vilayet al-faqih Iran ini dapat dikatakan hanya melakukan “gangguan” kecil dengan sedikit merusak konsentrasi Israel yang tengah memusatkan serangannya di Gaza.
Faktanya, saling serang antara Israel dan Hizbullah terus mengalami peningkatan intensitas, kualitas, dan levelnya dari waktu ke waktu. Seiring dengan menurunnya tensi serangan dan menguatnya perundingan gencatan senjata di Gaza, front Utara justru berkobar dan melibatkan kekuatan Syiah yang lain terutama al-Houtsi dari Yaman, Hasyd Sya’biy Irak, dan juga Iran sendiri sebagai patron. Israel sepenuhnya yakin bahwa apa yang dilakukan musuh-musuhnya didukung penuh oleh Tehran. Satu tahun perang Gaza telah melahirkan poros perang baru Israel-Hizbullah yang potensial bereskalasi jadi perang kawasan.
Dalam menghadapi front utara, setelah saling serang secara terbatas Israel kemudian memilih strategi taktis dalam menghadapi Hizbullah. Israel berhasil membunuh para pemimpin Hizbullah dalam beberapa operasi militer yang melibatkan intelejen dan teknologi canggih. Maka, deretan pemimpin dan komandan militer Hizbullah mulai dari kelas menengah hingga tokoh di puncak struktur organisasi ini jadi korban.
Hampir seluruh pimpinan teras Hizbullah tewas melalui serangan-serangan taktis ini. Fuad Syukr, orang kedua Hizbullah, Ibrahim Aqil orang ketiga, hingga akhirnya pembunuhan terhadap Sekjend Kharismatiknya Hasan Nashrallah melalui serangan bom skala yang mengerikan pada 27 September 2024. Top-top leaders Hamas sebelumnya juga jadi korban seperti Muhammad Dhif (penguasa militer Hamas di Gaza), Saleh al-Aruri (komandan Hamas di Tepi Barat), hingga kepala biro politiknya Ismai Haniyyeh yang tewas dalam serangan mengejutkan di Teheran, Iran.
Rentetan serangan ini jelas mempermalukan muka Iran tidak hanya di mata para proxi dan pengikutnya di kawasan tetapi juga di mata dunia. Persepsi Iran ternyata “tidak mampu melindungi anak-anak emasnya bahkan pemimpinnya sendiri” berkembang di ruang publik kawasan. Kesan “lemah” dan “tidak bertanggung jawab” sempat ramai dituduhkan kepada Iran, sang aktor besar kawasan. Perlu dicatat bahwa di Iran pengambilan keputusan perang dan damai berada di tangan Sang Rahbar Ali Khomenei, bukan di tangan Presiden atau parlemen. Tokoh yang berusia sangat tua itu selama ini dikenal hati-hati, sabar, dan rasional dalam pengambilan keputusan yang biasanya disebut sebagai “kesabaran strategik”.
Namun, atas semua yang terjadi, Iran akhirnya kembali melakukan serangan ofensif langsung ke Tel Aviv dan sejumlah kota-kota lain pada 01 Oktober 2024 malam hari yang diperkirakan lebih besar daripada serangan bulan April. Rudal balistik hipersonik yang digunakan Iran diwartakan banyak mengenai sasaran, bahkan Garda Iran mengklaim 90 persen tepat sasaran. Estimasi Angka itu mungkin terlalu dibesar-besarkan tetapi kantor-kantor berita Israel juga mengabarkan banyaknya target yang terdampak serangan ini.
Ketakutan dan kecemasan melanda masyarakat Israel yang semula sebagian mereka bahkan menikmati pembantaian (genosida) yang terjadi di Gaza sebagai hiburan. Ini tidak pernah dialami masyarakat Tel Aviv dan beberapa kota itu ketika diserang Hamas, Hizbullah, Hasyd Sya’biy atau Houtsi. Israel sangat sensitif dengan ancaman keamanan sekecil apapun dan jatuhnya korban Israel tetapi bisa “ignore” terhadap korban-korban lain. Kata “ignore” merujuk pada doktrin Iron Wall Ze’ev Vladimir Jabotinsky yang jadi ideologi pertahanan Israel saat ini sehingga mereka bisa seolah tutup mata dengan dampak serangan mereka terhadap Hamas yang telah menewaskan puluhan ribu orang. Apapun alasan yang dikemukakan Israel, sikap ini jelas mencerminkan pandangan diskriminasi mengerikan dalam menilai harga manusia.
Saat ini, Timur Tengah dihantui bayang-bayang pecahnya perang kawasan sebagai rentetan dari perang Gaza dan konflik-konflik sebelumnya. Semua pihak perlu menyuarakan pentingnya deeskalasi dan perundingan ke arah gencatan senjata. Indonesia yang berada jauh dari arena pun pemerintahnya perlu bersuara lebih keras lagi kepada pihak-pihak yang bertikai untuk menahan diri dan berpikir rasional bahwa perang besar tak akan mengantarkan mereka kepada tujuan, bahkan mengantarkan pada kehancuran bersama meskipun kita juga sangat sadar suara ini kemungkinan sama sekali tak didengar. Kita berdoa semoga ada sisa kewarasan para pengambil keputusan di Tel Aviv, Tehran, dan Washington sehingga perang kawasan tidak berkobar.
Ibnu Burdah, dosen UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta