Opini

Upaya Meluruskan Salah Urus Pertanian di Indonesia

Senin, 25 Maret 2019 | 20:45 WIB

Oleh Ahmad Rozali

Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keagamaan yang memiliki puluhan juta anggota. Tepatnya, berdasarkan sensus tahun 2010 masyarakat Indonesia yang mengaku terafiliasi dengan organisasi yang genap berusia 96 tahun ini berjumlah lebih dari 91 juta. Tipikal anggota NU sendiri merupakan golongan kelas menengah ke bawah yang mayoritas berada di pedesaan dan pesisir pantai. Jika dipresisi menurut pendapat Wakil Ketua Umum PBNU, Prof KH Muhammad Maksum Mahfudz, mayoritas Kaum Nahdliyin berprofesi sebagai petani.

Sayangnya, kendati jumlahnya yang menggunung, kelas petani bukan kelompok yang sejaktera secara ekonomi di negara ini. Bahkan, kelompok ini masuk ke dalam kelompok miskin di tanah air. Jika disandingkan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang teranyar, akan makin nyata betapa jauhnya kelas petani dari kesejahteraan.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Memang benar bahwa tingkat kemiskinan untuk pertama kalinya menyentuh di bawah 10 persen pada 2018. Namun sayangnya penurunan angka kemiskinan ini tak justru mempersempit tingkat kesenjangan antara desa dan kota yang justru meningkat. Di tahun 2018, tingkat kemiskinan di desa mencapai 13 persen, berbanding 7 persen dengan kemiskinan di kota. Makin nyata bila dilihat dari jenis pekerjaannya; sebanyak 53 persen orang miskin bekerja di sektor pertanian. Artinya sebagian besar kemiskinan di desa berasal dari pekerja di sektor pertanian.

Jelas sekali bahwa sebagian besar warga NU yang berada di pedesaan yang berprofesi sebagai petani berada di dalamnya bayang-bayang kemiskinan di atas. Apa sebab terjadinya kemiskinan yang sedemikian buruk pada sektor pertanian (dan warga NU) padahal kebutuhan akan hasil tani tak kunjung habis?

Kiai Maksum Mahfudz menuding bahwa mismanagement yang berjalan puluhan tahun-lah yang menjadi biang kerok dari keadaan buruk sektor pertanian ini. Sumbernya ada pada ketidakberpihakan strategi ekonomi nasional pada sektor agro bisnis.

“Masalah pertanian dimulai sejak dulu. Sejak lama macroeconomic policy atau kebijakan nasional kita arahnya menuju pada industrialisasi non-pertanian. Pemerintah lebih suka pada investasi non-agro seperti otomotif, dirgantara, IT (teknologi informasi), elektronika, dan yang lain,” kata Kiai Maksum.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Penjelasan sesungguhnya sejatinya bukan pada industri lain itu sendiri, tapi lebih kepada bahwa kita tidak memiliki modal dalam pada industri lain tersebut. Dengan demikian investasi pada industri non-agro melahirkan ketergantungan semata. Karena semua kebutuhan yang berkenaan dengan itu harus didatangkan dari luar negeri.

“Padahal kita tahu bahwa sektor non-agro wataknya bagi Indonesia adalah high capital intensive. Basisnya teknologi tinggi dan high skill labor atau tenaga kerja yang berkeahlian tinggi. Semuanya itu ya uangnya ya tenaga kerjanya ya labornya itu malah sampai pada bahan bakunya itu tidak punya atau impor. Contohnya industri otomotif seperti Astra, yang mana kita hanya bisa assembling saja di sini, tapi tidak bisa mengembangkan teknologi dasarnya,” kata Kiai Maksum.

Contoh lain seperti industri komputasi, Informasi Teknologi di mana Indonesia hanya bisa melakukan proses perakitan atau assembling saja tanpa bisa mengembangkan basis teknologinya. “Ini sudah ketinggalan sejak masa lalu, karena industrialisasi kita sangat bias ke Industrialisasi yang non-pertanian. Padahal itu semua wataknya berbasis import. Modalnya impor, tenaga kerjanya juga impor, teknologinya impor dan bahan bakunya impor,” katanya.

Ketidakberpihakan pada industri pertanian yang notabenenya memiliki potensi besar di tanah air makin disuburkan dengan perlindungan kebijakan moneter dan fiscal. Upaya menstabilkan harga dolar atas rupiah yang terjadi di masa lalu di Era Orde Baru adalah salah satunya. Subsidi tersebut selain membutuhkan biaya yang sangat besar, juga berdampak buruk pada industri pertanian, karena harga barang produk pertanian dari luar negeri sebanding atau bahkan bisa lebih murah dibanding harga produk dalam negeri.

Singkatnya, serangkaian kebijakan mulai kebijakan moneter berupa stabilisasi harga dolar, kebijakan fiscal seperti industri berbasis impor, lalu Kebijakan perdagangannya sejak lama tidak berpihak pada industri agro atau pertanian. Serangkaian ini, menurut Kiai Maksum tampak sangat mendukung industri berbasis impor yang melahirkan kebergantungan.

Kondisi demikianlah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998 yang berujung pada lengsernya Presiden Suharto. Namun kemudian berakhirnya Orde Baru tidak lantas membuahkan perekonomian membaik terutama kualitas perekonomian petani.

Untuk meningkatkan kesejahteraan petani, tidak ada cara lain yang bisa ditempuh kecuali dengan memberikan investasi yang besar di sektor itu. Sebab bagaimanapun sektor pertanian merupakan salah satu sektor terpenting yang harus dijaga kedaulatannya. Sejauh ini, Kiai Maksum Mahfudz menilai bahwa pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah Jokowi sudah tepat sasaran untuk menggairahkan kembali sektor pertanian.

“Walaupun belum terasa sampai sekarang, tapi pembangunan infrastruktur seperti waduh itu sangat strategis, karena yang paling penting dalam pertanian adalah air. Begitu pula jalan dan infrastruktur lain,” ungkapnya.

Jika pembangunan berpihak kepada industri agrobisnis, maka tidak hanya petani secara umum yang akan mendapat berkahnya, namun juga warga NU yang berada di pedesaan yang berprofesi sebagai petani. Kita tunggu...

Redaktur NU Online


Terkait