Pustaka

Agar Terorisme Tidak Mengancam Remaja

Senin, 25 April 2011 | 01:01 WIB

Judul: Peaceful Jihad For Teens
Penulis: Radinal Mukhtar Harahap
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I, 2011
Tebal: 202 halaman
ISBN: 978-979-22-6678-8
Peresensi: Abd. Basid
<>

Salah satu kejadian besar dan merobek citra negeri ini di mata publik selain praktik korupsi adalah praktik jihad yang kerapkali disalahtafsirkan dengan kekerasan oleh kalangan tetentu di negeri ini—yang tidak jarang sampai merengkut jiwa tak berdosa. Lihat saja, seperti teror Bom Bali, Bom Marriott I, Bom Marriot II dan lainnya, berapa banyak saudara kita yang menjadi korban teror bom tersebut, yang juga terdiri dari anak di bawah umur yang tidak tahu apa-apa. Ironisnya, tragedi tersebut diatasnamakan agama (Islam), padahal Islam itu adalah agama damai dan kasih sayang.

Kenapa semua itu terjadi? Semua itu terjadi tidak lain karena adanya salah tafsir akan makna jihad yang mereka pahami. Mereka beranggapan bahwa aksi teror merupakan bentuk dari praktik jihad yang dibenarkan oleh agama (Islam). Padahal makna jihad tidaklah sesempit yang mereka pahami. Karena sejatinya, jihad itu ada tiga tingkatan; melawan hawa nafsu, melawan setan, dan melawan musuh. Tingkatan ketiga inilah yang seringkali disalahfahami oleh mereka. Untuk itu, perlu ditegaskan bahwa terorisme itu bukanlah jihad dan teroris bukanlah mujahid.

Teroris tidak bisa dikatakan mujahid, setidaknya bisa ditemukan pada tiga titik perbedaan mendasar, sesuai dengan praktik yang terjadi dan kita ketahui. Pertama, mujahid itu akan melindungi agama Allah dengan cara melakukan perbaikan atau islah, sedangkan teroris lebih pada sifat merusak fasilitas yang telah ada. Kedua, mujahid akan melindungi hak-hak yang lemah dan terdzalimi, sedangkan teroris menimbulkan ketakutan dan kehancuran pada pihak lain yang sebagian besar tidak berdosa. Ketiga, mujahid melakukan jihad dengan aturan yang telah ditentukan oleh syariat Islam dengan sasaran musuh yang jelas dan nyata, sedangkan teroris melakukan aksinya tanpa melihat aturan dan sasaran musuhnya tidak jelas.

Selain itu, hal di atas semakin jelas titik terangnya kalau kita padukan dengan definisi teror yang telah disepakati seluruh warga dunia bahwa suatu tindak kejahatan akan disebut teror jika memenuhi unsur-unsur berikut; a) suatu tindak kejahatan yang dilakukan dengan sangat jahat, b) kejahatan yang dilakukan dalam kondisi negara damai (tidak sedang berperang), c) kejahatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil, d) kejahatan yang dilakukan tanpa memandang dan memilih korban, dan d) tindak kejahatan yang menimbulkan efek atau dampak ketakutan yang meluas di masyarakat.

Dari tiga perbedaan mendasar dan pemaduan dengan definisi umum teror di atas tidak dielakkan lagi bahwa aksi teror itu adalah perbuatan amoral yang tak terpuji.

Penjatuhan hukuman mati bagi tersangka pelaku teror di negeri ini pun sampai saat ini belum menimbulkan efek jera. Coba kita lihat eksekusi hukum mati pelaku Bom Bali (Amrozi cs), yang dieksekusi akhir tahun kemarin. Hukuman mati yang dijatuhkan pada pelaku Bom Bali tersebut ternyata tidak membuat aksi teror di negeri ini lenyap. Aksi teror terus terjadi pasca eksekusi Amrozi cs., bahkan dengan langkah pastinya mereka mengkader bawahannya untuk tetap dalam lingkaran ideologi terorismenya. Salah satu kader yang ditargetkan para pelaku terorisme tersebut adalah bagaimana sekiranya mereka bisa menggaet para remaja untuk dipengaruhi dan bisa melanjutkan ideologi amoralnya di atas. Seperti kalau kita melihat pada tragedi ledakan bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton 17 Juli 2009 lalu, yang ternyata salah satu pelakunya adalah remaja berusia 18 tahun yang baru saja lulus SMU.

Sekarang, bagaimana agar remaja kita tidak terpengaruh dan terjebak oleh ideologi terorisme mereka? Ada beberapa tips agar remaja kita tidak terpengaruh rayuan para teroris. Yaitu, remaja kita harus memperdalam ilmu agamanya, bersikap lebih terbuka, berpikir lebih matang, tidak mudah terpengaruh, dan menemukan jati dirinya. Selain itu, perlu diingat bahwa makna jihad itu lebih luas dari pada sekedar berperang. Ada juga beberapa perbuatan yang bernilai jihad tanpa harus merugikan orang lain sama sekali, yang mana hal itu memang selayaknya dilakukan para remaja, yaitu dengan cara menjadi remaja muslim haus ilmu, berbakti kepada kedua orangtua, bersedekah, dan selalu meningkatkan (kwalitas) dirinya.

Beberapa gambaran dan penawaran di atas, terbabat habis dalam buku “Feaceful Jihad for Teens”, yang ditulis oleh Radinal Mukhtar Harahap. Buku dengan tebal  202 halaman ini bisa menjadi jawaban atas semua permasalahan teror yang ada di negeri ini, khususnya teror yang mengancam remaja, agar terorisme tidak mengancam remaja (lagi).

Buku ini sangat penting dibaca khususnya oleh para remaja dan para orangtua. Penting dibaca remaja agar tidak kehilangan masa depannya dan bagi para orangtua agar lebih memahami peran penting putra-putrinya di masa depan.

Dengan bahasa yang ringan, tanpa harus mengernyitkan dahi—meski tema pembahasannya berat, menegaskan bahwa penulis buku ini sangat lihai dalam meracik dan membaca kebutuhan pembaca.

Namun, layaknya tidak ada sesuatu yang sempurna, dalam buku ini saya menemukan dua kelemahan yang keduanya mengarah pada kesan mempertebal halaman. Pertama, dalam buku ini tidak jarang ada kutipan tidak terlalu penting dari sumber tertentu yang banyak memakan halaman. Lihat saja halaman 105-110, yang mana kutipannya sampai memakan 6 halaman. Kedua, 59 halaman terakhir buku ini dipenuhi dengan lampiran fatwa dan undang-undang teroris. Hemat saya hal itu tidak perlu ada pada sebuah buku nonformal, seperti buku ini. Lampiran fatwa dan undang-undang itu wajarnya ada pada sebuah buku mata pelajaran atau mata kuliyah, yang bentuknya formal.

Kontributor buku “Islam dan Terorisme”, Grafindo Litera Media (2010)


Terkait