Buku ini merupakan hasil tesis penulis yang kemudian digubah menjadi buku populer sehingga setiap pembaca mampu mencerna dengan renyah. Selain itu, penulis buku ini menjadi aktifis Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), dimana Gus Dur menjadi bagian dari pendiri lembaga ini. Lembaga yang lahir pada 12 Juli 2000 ini berusaha menyebarkan tradisi dialog dalam pengembangan kehidupan keberagamaan yang humanis dan pluralis di tanah air. Selain itu, misi ICRP ingin mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, berkeadilan, setara, persaudaraan dalam pluralisme agama dan kepercayaan, dan penghormatan kepada martabat manusia.
Pendidikan menjadi jembatan penting menuju hal yang ingin kita capai. Dengan perdamaian yang berorientasi pada pengurangan konflik dan mencegah terjadinya kekerasan. Maka, kita tak bisa lepas dari kurikulum pendidikan mencakup subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi dan pemahaman atas kemajemukan (pluralitas), kemanusia universal dan subjek-subjek lain yang relevan dengan kebutuhan peserta didik.
Abdurrahman Ad-Dakhil sebagai santri genuine mengawali pendidikan dasarnya di pesantren. Berbagai literaratur baik Islam hingga Barat menjadi konsumsinya sejak usia muda. Dengan bacaan yang kuat inilah Gus Dur mampu mengaktualisasikan keilmuan menjadi tindakan kongkret. Sepanjang perjalanan hidupnya, Gus Dur kemudian dikenal sebagai pembela kaum minoritas, penggerak demokrasi, mendorong terwujudnya kehidupan nirkekerasan. (hal. 138)
Tak hanya berhenti pada tataran konsep belaka banyak gerakan yang telah dikerjakan beliau, mulai pembelaan terhadap Jemaah Ahmadiyah, kelompok yang dituduh komunis, kasus tabloid Monitor, peristiwa Banyuwangi dan pembunuhan di Jawa Timur tahun 1998, persoalan etnis Tionghoa dan teorisme (hal 193-206) Pembelaan dan gerakan ini tak lepas dari orientasi kemanusiaan, kebersamaan, kesejahteraan, nilai proporsionalitas, pengakuan terhadap pluralitas dan heterogenitas dan antihegemoni dan antidominasi.
Gus Dur memahami bahwa pendidikan Islam tak bisa diejawantahkan dengan baik tanpa menggunakan strategi yang baik. Strategi politik menjadi jalan pertama yang ditempuh. Kedua, strategi kultural; yang menekankan pada basis pesantren sebagai lembaga, satuan, sistem, dan struktur pendidikan yang bisa menyelenggarakan pendidikan secara mandiri. Ketiga, strategi sosio-kultural dengan cara mengembangkan cara berfikir masyarakat dengan mempertahankan nilai-nilai keislaman.
Dalam karangan langsung Gus Dur "Islamku, Islam Anda dan Islam Kita" (2005) secara panjang lebar menerangkan tentang Islam perdamaian dan permasalahan internasional. Walaupun Gus Dur memegang teguh nilai-nilai kepesantrenan dengan kuat beliau mampu memberikan analisis yang kuat mengenai peta perpolitikan dunia internasional. Memberikan pandangan dan alternatif untuk perang Irak, memberikan jalan kerjasama antara Indonesia-Muangthai, memberikan pendapat di forum internasional dan kontribusi lain untuk perdamaian.
Perdamaian menurut Gus Dur bisa diciptakan dan dihapuskan dengan jalan penanganan secara tuntas persoalan utama berupa kesalah pahaman dasar antara ideologi negara dan aspirasi keagamaan. Bila hal pokok ini mampu terselesaikan niscaya para pemegang kekuasaan bisa mengejawantahkan dalam bentuk paket kebijakan prinsipil. Harapan inilah yang disampaikan dalam "Islam Kosmopolitan" (2007) sehingga pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah memahami hal prinsip yang perlu dipegangi dalam menjalankan sebuah kebijakan.
Melihat perdamaian tak bisa dilepaskan dari latar belakang presiden keempat ini beragama Islam. Islam berakar kata dari salam yang berarti perdamaian. Maka Islam adalah perdamaian itu sendiri. Dengan kesadaran penuh Gus Dur mampu mengejawantahkan makna Islam menjadi perdamaian dalam kehidupan sehari-hari. Bila kita ingin lebih detil menyimak kehidupan cucu pendiri Nahdlatul Ulama ini dari kecil sudah mengenal pluralitas bahkan, Gus Dur mengakui bahwa leluhurnya juga memiliki latar belakang yang beragam.
Dengan kesantrian yang mendarah daging dan referensi keilmuan kitab kuning menjadi pijakan dalam menentukan arah pembicaaan Gus Dur. Permasalahan yang menimpanya mampu diurai dan dicarikan solusi dengan berbagai macam variannya. Kemudian diaktualisasikan dalam implementasikan dalam gerakan sosial, politik dan kemasyarakatan.
Dalam menulis Gus Dur walaupun tak menggunakan footnote sebagaimana kajian ilmiah. Tulisannya menunjukkan kelas seorang yang berpengetahuan luas, banyak tokoh Islam atau non-muslim yang menjadi pijakannya dalam berargumentasi. Hal ini juga dikuatkan bahwa Gus Dur memiliki sederet gelar honouris causa dalam bidang bidang Filsafat Hukum, Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora, kemanusiaan dari berbagai universitas dunia.
Putra menteri agama pertama ini layak menjadi guru bangsa yang baik. Bila kita melihat Gus Dur secara utuh kita bisa mengambil pelajaran yang bisa kita kloning bagi masa-masa kita. Setidaknya terdapat tiga karakter kuat yang tak lepas dari Gus Dur. Pertama, gerakan sosial. Kedua, nilai-nilai luhur yang bisa menerobos apapun sebab nilai ini telah menjadi norma. Ketiga, Gus Dur sebagai seorang aktivis; dia memiliki target dan tujuan yang harus tercapai dalam tiap langkah dan geraknya.
Guru bangsa yang meninggal 30 Desember 2009 selalu memberikan kejutan dalam tingkah lakunya. Berbagai golongan membuat acara doa bersama untuk mengenang jasa dan pemikirannya. Begitu pula buku ini memberikan tambahan kekayaan referensi mengenai perdamaian. Perdamaian itu sendiri bukan sekadar menumpuk sebagai ilmu di universitas namun, menjadi ilmu aplikasi yang terus berkembang dan dikembangkan untuk meminimalkan konflik yang ada Indonesia. Semoga.
Info Buku
Judul : Peace Education dan Pendidikan Perdamaian Gus Dur
Penulis : Ahmad Nurcholish
Penerbit : Elex Media Komputindo
Cetakan : 2015
Tebal : 236 halaman dan xxviii
Peresensi
Mukhamad Zulfa
Pegiat Diskusi Rabu Sore IDEASTUDIES Semarang aktif di jaringan pesantren Jawa Tengah.