Penulis: John L. Esposito
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Desember 2010
Tebal: 344 halaman
Peresensi: Supriyadi*)<>
Peristiwa pada 11 September 2001, yakni serangan teroris yang meluluhlantakkan gedung World Trade Center (WTC) dan Pentagon, mengingatkan kepada kita bahwa mulai sejak itu, Islam dan umat Islam dikecam oleh dunia Barat. Mulai saat itu, Islam diasumsikan sebagai agama terorisme yang melegitimasi aksi kebrutalan (terorisme) dan umat Islam (muslim) dianggap sebagai komunitas yang berbahaya. Orang-orang Barat mengalami islamofobia sehingga segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam dicurigai.
Dari peristiwa 11 September 2001 tersebut, dalam beberapa jam sejumlah teroris telah mengubah abad kedua puluh satu menjadi sebuah dunia yang didominasi oleh perang, yang dipimpin oleh Amerika melawan terorisme global. Mereka juga memperkuat citra Islam dan Muslim sebagai sebuah agama dan masyarakat yang harus ditakuti dan dilawan. Sebagian orang berbicara tentang perang peradaban (hlm. 19).
Dalam hal itu, Samuel Huntington dalam bukunya berjudul The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order memperkirakan terjadinya benturan antarbudaya (antara Islam dan Barat), seperti yang kemudian terjadi setelah peristiwa 11 September 2001 tersebut. Berbekal dari buku tersebut, banyak orang yang melihat perbenturan budaya antara Islam dengan Barat yang kemudian memunculkan gerakan penumpasan terorisme yang dilakukan oleh Islam ekstremis dengan dipimpin oleh Amerika.
Prof. Esposito adalah salah seorang yang berada di garda depan dalam menjelaskan Islam kepada dunia Barat yang telah menganggap Islam itu sebagai agama teroris. Buku yang berjudul “Masa Depan Islam; Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat” merupakan hasil dari pengalamannya selama beberapa dekade tentang Islam dan politik Muslim. Belakangan ini, pasca serangan teror 11 September 2001 tersebut, citra Islam dan Muslim sangat buruk di mata Barat. Islam dianggap sebagai agama yang harus dilawan karena keberadaannya di dunia ini menjadi ancaman bagi terciptanya perdamaian.
Selain terorisme, Islam juga dianggap oleh Barat sebagai agama yang tidak bersifat manusiawi terhadap perempuan (masalah gender), anti modernitas, anti pluralisme dan pluralitas, dan lain sebagainya. Fitnah-fitnah terhadap Islam tersebut sangat memperburuk citra Islam di mata dunia internasional umumnya dan di Barat khususnya. Hal itu telah memosisikan Islam sebagai pemeran antagonis yang menjadi musuh utama dari peran protagonis (Barat).
Dalam kasus terorisme pada 11 September 2001 tersebut, teroris sering dikaitkan dengan Islam karena pelakunya adalah orang-orang Islam ekstremis. Dalam hal itu, Islam diuniversalkan menjadi agama teroris karena serangan terhadap WTC dan Pentagon tersebut. Hal ini berbeda dengan kasus-kasus kejahatan yang dilakukan oleh umat selain Muslim.
Pembunuhan PM Israel Yitzak Rabin oleh seorang fundamentalis Yahudi tidak lantas dikaitkan dengan sesuatu di dalam agama Yahudi arus utama; tidak pula skandal pelecehan seks pendeta diatributkan ke jantung Katolikisme. Kejahatan paling keji yang dilakukan ekstremis Yahudi dan Kristen tidak dilabeli sebagai cerminan Kristen atau Yahudi militan atau radikal. Individu yang melakukan kejahatan itu sering disangkal dan dianggap fanatik, ekstremis, atau orang gila ketimbang dicap sebagai fundamentalis Kristen atau Yahudi. Sebaliknya, terlalu sering pernyataan dan tindakan ekstremis dan teroris Muslim digambarkan sebagai bagian integral dari Islam arus utama (hlm. 23).
Dengan demikian perbenturan antarbudaya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuel Huntington, tidak dapat terhindarkan lagi. Padahal dalam masalah tersebut, ditumpangi dengan aksi politik dan ekonomi untuk kepentingan masing-masing pihak. Tidak dapat disangkal lagi bahwa hal itu sangat memicu dan memacu permusuhan dan kompetisi yang tidak sehat serta meresahkan masyarakat dunia, seluruhnya.
Untuk mengatasi konflik tersebut, perlu adanya saling pengertian dan sikap toleransi yang harus diinternalisasikan pada masing-masing pihak. Dialog budaya antara Islam dan Barat menjadi peredam bagi benturan antarbudaya. Jika hal itu terabaikan, masa depan dunia bisa dipastikan akan semakin suram dan hanya akan mempercepat masa “kiamat”. Perdamaian harus menjadi harga mati yang tidak boleh ditawar lagi.
Belakangan ini, Islam menjadi agama yang berkembang paling pesat di Afrika, Asia, Eropa, dan Amerika. Dalam sejarahnya, belum pernah Islam bisa berkembang sepesat ini. Sementara itu, Barat juga semakin jeli dalam mengkaji Islam sebagai sebuah disiplin kajian. Jika hubungan antara Barat dengan Islam masih saja tidak terjembatani dan masih berbenturan oleh egoisme masing-masing, maka hal itu menjadi indikasi perang berkobar dan permusuhan abadi.
Jalan baru untuk membuka ruang perdamaian dunia memang harus segera dibangun. Citra Islam yang buruk di mara Barat harus segera diperbaiki. Sementara kebijakan Barat yang meluapkan sikap kemarahan dan kebencian terhadap Islam dan Muslim juga harus segera diredam. Konflik antara Islam dengan Barat tidak boleh lagi dilanjutkan demi menempuh jalan baru untuk membuka ruang perdamaian dan saling memahami.
Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim juga harus turut berpartisipasi aktif dalam membangun jembatan perdamaian sebagai jalan baru yang harus dilewati untuk menuju perdamaian dunia.
Akhirnya, dengan membaca buku yang berjudul “Masa Depan Islam; Antara Tantangan Kemajemukan dan Benturan dengan Barat”, para pembaca diajak untuk membuka mata terhadap permasalahan internasional yang menyangkut dengan semua masyarakat dunia. Prof. Esposito sebagai penulis telah menggambarkan sketsa permasalahan dengan jelas sehingga pembaca bisa memaknai gagasan dan ide yang telah disampaikan oleh penulis dalam buku ini.
*) Peresensi adalah santri senior di Pondok Pesantren Krapyak, Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta