Pustaka

Kata-kata Kunci dalam Al-Qur’an yang Disepakati Ulama

Sabtu, 11 Maret 2017 | 02:00 WIB

Al-Qur’an adalah kitab suci yang berbahasa Arab. Siapa saja yang ingin memahaminya maka harus menguasai bahasa Arab. Meskipun demikian, ini adalah kompetensi dasar dan minimal. Tidak semua lafadz-lafadz di dalam Al-Qur’an bisa dipahami dengan menggunakan kaidah dan makna umum bahasa Arab. Hal ini menjadi salah bukti bahwa kemukjizatan Al-Qur’an yang menegaskan bahwa ia bukanlah produk kreatifitas nabi Muhammad SAW sebagai orang Arab yang berbahasa Arab. Ia adalah kalam Allah SWT. Ia adalah wahyuNya.

Atas dasar itulah maka para ulama yang memiliki otoritas dalam menggali makna dalam ayat-ayat Al-Qur’an merumuskan tafsir ayat-ayat tersebut. Mereka mengarang kitab-kitab tafsir Al-Qur’an dengan berberbagai pendekatan. Ada yang menggunakan pendekatan tafsir bil ma’tsur, yakni menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan al-Hadits. Ada juga yang menggunakan pendekatan tafsir bir ra’yi, yakni menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendapat-pendapat rasional berdasarkan ilmu pengetahuan tertentu.

Para ulama juga menulis kitab-kitab tafsir dengan model yang beragam. Ada yang menulis kitab-kitab tafsir itu dengan mengikuti urutan turunnya Al-Qur’an (tartiibun nuzul). Ada juga yang menulis menulisnya secara tematik dengan mengumpulkan ayat-ayat memiliki kesamaan atau kedekatan lafadz dan makna untuk disimpulkan benang merahnya.

Karena Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang hanya disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, maka untuk bisa memahaminya maka mengikuti pemahaman ayat-ayat yang beliau sampaikan kepada para sahabat adalah langkah yang paling aman dan tidak terlalu berisiko salah. Dalam hal ini maka ayat-ayat yang langsung ditafsirkan oleh Rasulullah dan dikembangkan dalam kitab-kitab tafsir oleh para sahabat yang mendapat penjelasan langsung dari beliau tentu memiliki otoritas paling tinggi. Apalagi, Nabi Muhammad SAW telah mengancam siapa saja yang memahami dan menafsirkan Al-Qur’an semata-mata karena hawa nafsunya, bagi tiapa tempat kembali yang paling layak baginya kecuali neraka.

Agar kita tidak gagal paham atas ayat-ayat atau lafadz-lafadz Al-Qur’an atau merasa lebih tahu daripada Allah SWT dan Rasulullah SAW dengan slogan kebebasan memproduksi pemahaman atas teks dan konteks, maka perlu mengetahui penafsiran baku yang telah menjadi kesepakatan. Hal ini menjadi rambu-rambu bagi siapa saja yang ingin memahami kandungan dan maksud kitab suci Al-Qur’an. Tanpa ini, maka potensi liar dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an menurut kemauan sendiri pasti tidak akan terbendung. Tentunya, hal ini harus dihindari, karena telah menabrak ancaman Rasulullah SAW.  

Salah satu cara cepat dan mudah memahami ayat-ayat dan lafadz-lafadz Al-Qur’an agar selamat dari ancaman Rasulullah SAW adalah dengan mengetahui kesepakatan (ijma’) para ulama ahli tafsir (mufassir) dalam menafsirkan ayat-ayat atau lafadz-lafadz tertentu di dalam Al-Qur’an. Ini adalah kebutuhan pokok dan mendesak karena ada beberapa lafadz pokok yang tidak bisa dimaknai secara harfiah. Jika makna lafadz-lafadz tersebut dihentikan atau tidak digali (mauquf), maka kebermaknaan ayat-ayat tersebut sebagai petunjuk manusia tentu menjadi berkurang. Hal ini pasti tidak mungkin terjadi pada Al-Qur’an yang berfungsi sebagai petunjuk.

Untuk memudahkan para pelajar pemula dalam memahami makna ayat-ayat dan lafadz-lafadz kunci yang telah disepakati oleh para sahabat nabi dan para mufassir yang otoritatif, Gus Awis, panggilan populer Dr. Muhammad Afifuddin Dimyathi, MA menyusun buku berbahasa Arab dengan judul Irsyaadud Daarisiin ilaa Ijmaa’il Mufassirin (Petunjuk bagi Pelajar Menuju Ijma’ Para Ahli Tafsir). Materi buku ini dipaparkan secara objektif dengan mencantumkan referensinya pada setiap paparan tafsir ayat atau lafadz, sehingga pembaca bisa merujuk langsung kepada kitab-kitab primer yang membahas tafsir tersebut.

Dalam karyanya ini dosen UIN Sunan Ampel Surabaya ini menghimpun 121 ayat yang didalamnya terdapat lafadz-lafadz yang maknanya telah disepakati (ijma’) oleh para mufaasir dalam berbagai kitab tafsir mereka. Ayat pertama yang dihimpun adalah ayat ketujuh surat al-Fatihah. Di dalamnya ada dua lafadz al-maghdhuub ‘alaihim yang tidak bisa diterjemahkan secara bahasa sebagai ‘orang yang dimarahi’, dan adh-Dhaallin yang juga tidak bisa diartikan sebagai ‘oran-orang yang tersesat’. Akan tetapi para mufassir telah sepakat bahwa yang dimaksud lafadz pertama adalah orang-orang Yahudi dan lafadz kedua adalah Nasrani.

Ayat terakhir yang dihimpun oleh alumnus MAPK/MAKN Jember angkatan kedelapan dalam bukunya ini adalah ayat kedua dan ketiga surat At-Tiin. Dia menuliskan bahwa para mufassir menyepakati bahwa yang dimaksud dengan lafadz siiniin adalah sebuah gunung yang ada di kota Syam yang menjadi saksi percakapan Nabi Musa as dengan Allah SAW. Menurutnya, secara ijma’ maksud lafadz al-Balad dalam ayat ketiga surat At-Tiin adalah kota Makkah. Oleh karena itu tidak sepatutnya bagi pembaca Al-Qur’an mengartikan lafadz tersebut sebagai ‘kota atau negeri’ secara umum.   

Buku karya keenam pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Quran Rejoso Jombang yang ditulis berbahasa Arab ini sangat cocok dimiliki oleh para santri, mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam atau siapa saja yang ingin mempelajari kandungan Al-Qur’an. Karya-karyanya menjadi simbol kebangkitan kembali tradisi literasi berbahasa Arab dari pesantren di Nusantara ini. Meskipun berbahasa Arab, namun tetap mudah dibaca dan dipahami oleh siapa saja yang telah menguasai dasar-dasar bahasa Arab.


Data Buku:
Judul          : Irsyaadud Daarisiin Ilaa Ijmaa’il Mufassirin
Penulis       : Dr. Muhammad Afifuddin Dimyathi, MA
Penerbit      : Lisan Arabi
Alamat Penerbit : Perum Bumi Mondoroko Raya GH. IV 28 Singosari, Malang
Cetakan Pertama: 2017 M / 1437 H                              
Jumlah Halaman : 136 halaman

Perensensi    : Nine Adien Maulana, guru SMA Negeri 2 Jombang Jawa Timur



Terkait