Pustaka

Kidung Sastra dari Pesantren

Senin, 18 Januari 2010 | 06:33 WIB

Judul : Sekutum Nyawa untuk Sahabat; Antologi Cerpen Santri
Penulis : Aleyo Sas Melas, dkk.
Editor : Rijal Mumazziq dan M. Husnaini
Penerbit : Imtiyaz Surabaya
Cetak : I, Desember 2009
Tebal : xv + 148 halaman
Peresensi : Abd. Basid*


Istilah sastra secara harfiah berarti huruf, tulisan, atau karangan. Kata sastra ini kemudian diberi imbuhan su-(dari bahasa Jawa) yang berarti baik atau indah. Artinya baik isinya dan indah bahasanya. Selanjutnya, kata susastra diberi imbuhan gabungan ke-an sehingga menjadi kesusastraan yang berarti nilai hal atau tentang buku-buku yang baik isinya dan indah bahasanya.<>

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti sastra adalah: (1) bahasa (kata-kata/gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.

Dari sini, maka tidak semua bentuk karagan termasuk dan bisa dikatakan karya sastra. Yang termasuk dalam kategori sastra seperti novel, cerita (cerpen) (tertulis atau lisan), syair, pantun, sandiwara (drama), lukisan (kaligrafi) dan sejenisnya. Terus, sampai di mana sebuah karya akan dinamakan sastra? Menuru Plato, batasan sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis).

Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide. Aristoteles murid Plato memberi batasan sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Menurut kaum formalisme Rusia, sastra adalah sebagai gubahan bahasa yang bermaterikan kata-kata dan bersumber dari imajinasi atau emosi pengarang.

Buku antologi cerpen “Sekuntum Nyawa Untuk Sahabat; Antologi Cerpen Santri” termasuk kategori di atas. Buku antologi yang ditulis oleh 12 santri pondok pesantren al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan ini menyiratkan karya kesusastraan (cerpen) yang berlatar belakang pesantren. Mereka (para penulis) merupakan insan pesantren yang biasa dikenal dengan sebutan kolot dan jauh dari peradaban. Jangankan bicara sastra, mau ngotak-atik benda eletronik pun insan pesantren terkesan tabu.

Namun, semua itu, sekarang sudah tidak pantas lagi untuk dicitrakan pada mereka. Mereka sudah tidak dan bukan yang dulu lagi. Banyak kita temukan santri juga bisa Facebook-an, YM-an, nge-Blog, Twitter-an dan bahkan juga mewarnai dunia tulis menulis termasuk sastra. Salah satu contoh kecilnya buku antologi cerpen ini.

Isi dan pesan buku ini menggambarkan kehidupan yang memang jamak terjadi pada dan di masyarakat. Indahnya di dalamnya berisi banyak pesan moral, hikmah, dan kritik sosial—termasuk pada pejabat dan pemimpin negara—dengan setting religiutas. Jika kita kesulitan untuk menemukan cerpen-cerpen yang settingnya islam(i), maka buku ini hadir untuk mewarnainya. Sebut saja seperti cerpen Ika Nur Ridiawati. Jika kita membacanya kita akan menemukan pesan moral-keagamaan di sana.

Diceritakan bahwa di balik perjuangan sang bapak untuk membiayai Ana untuk tetap bersekolah ternyata sang bapak diam-diam menjadi copet. Mengetahui hal itu, Ana memberanikan diri untuk lebih baik putus sekolah dari pada harus melanjutkan dengan biaya uang haram. Semua itu oleh Ika Nur Ridiawati digambarkan degan penggambaran yang begitu menyentuh apalagi ditambah lagi sang bapak mati dengan meninggalkan senyuman penyesalannya (hal. 37-46).

Aleyo Sas Melas lewat cerpennya yang berjudul “Maafdkan Kakak Dik!” menceritakan fenomena trafficking dalam kehidupan masyarakat miskin yang tidak mampu dilawan karena sudah menjadi sindikat yang kuat yang tak segan melakukan kekerasan dalam melancarkan aksinya. Tidak itu saja, kritik terhadap pemerintah pun juga Aleyo Sas Melas selancarkan.

Di salah satu perjalanan mencari adiknya sang kakak—dalam cerpen itu—melihat anak-anak kecil lagi ngamen di jalanan, yang tentunya mereka putus sekolah (hal. 7). Hal ini, merupakan adegan cerita yang bisa dimaksudkan supaya para pemimpin negara ini memperhatikan anak-anak miskin putus sekolah di jalan sana.

Bertolak pada kekritisan isi seperti yang telah digambarkan di atas, maka tidak salah kalau kiranya saya prediksikan—dari segi pesan—bahwa buku ini sealiran dengan karya tokoh sastra masa kini seperti Emha Ainun Najib, KH. M Dahlan Saleh, Mustofa Bisri (Gus Mus) dan Haiburrahman el-Shirazy (Kang Abik), di mana tokoh-tokoh itulah yang sampai sekarang melanjutkan sastrawan pesantaren terdahulu seperti Buya Hamka, Yoesoef Soe’b, dan Bahrun Rangkuti.

Buku ini cocok untuk dibaca semua kalangan, seperti pelajar, guru, pendidik, tokoh, dan termasuk (juga) mereka para pemimpin daerah/kota maupun pusat. Di dalamnya kita akan menemukan cerita-cerita konstruktif. Bahkan buku ini juga cocok untuk bahan bacaan cerita pengganti dongeng anak sebelum tidur untuk orangtua. Bahasanya datar gampang dicerna dan sekali lagi isinya kaya makna. Inilah nilai plus buku ini.

* Penikmat buku dan pustakawan pesantren IAIN Sunan Ampel Surabaya


Terkait